Thursday, October 26, 2006

Jangan Kemaruk

Jangan rakus. Ngono yo ngono ning ojo ngono. Demikian nasihat yang sering disampaikan para orang bijak. Nasihat yang juga sangat bijak. Rakus merefer pada sesuatu yang diambil secara berlebihan sementara sebenarnya keperluannya tidak sebanyak itu; atau sementara orang lain yang memerlukan menjadi tidak kebagian.

I.
Pada suatu hari, kami diundang untuk suatu acara tahunan di awal semester, yaitu pertemuan perkenalan antara para foreign student dengan host family mereka. Fredericton adalah kota kecil yang tidak banyak penduduknya. Penduduk asli kota tersebut hanya sekitar 60 ribu jiwa (kita baru menyadari penduduk di sini kelihatan banyak ketika semua orang berkumpul di tepi sungai Saint John di tengah malam pada perayaan pergantian tahun), sementara belasan ribu lainnya adalah mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru Kanada bahkan dunia. Masyarakat Fredericton sangat menyadari pentingnya keberadaan mahasiswa yang menghidupkan kota mereka. Untuk mahasiswa asing, mereka memiliki program host family di mana setiap beberapa mahasiswa diassign satu keluarga yang kemudian bertugas untuk membantu para mahasiswa tadi dalam berbagai aspek kehidupan di kota ini, terutama yang berhubungan lintas budaya agar tidak terjadi culture shock ketika tinggal di sini. Biasanya kita diundang dinner di rumah mereka, atau sesekali diajak ke tempat wisata, atau ikut gathering bersama seperti saat ini. Saya 2 kali dapat host family karena yang pertama sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai direktur sebuah panti jompo, sehingga kemudian diganti dengan keluarga yang pernah tinggal di Indonesia - sebagai ahli kimia batuan di tambang Busang yang konon memang banyak mengandung emas itu. Meskipun saya merasa mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai host family karena hanya sesekali mengundang makan malam dan berpiknik (he.. he... maunya berapa kali :-) ), namun saya sangat mengapresiasi program tersebut karena telah menunjukkan keramahan masyarakat Kanada yang seringnya kita cap berperilaku individualistis - yang tidak ramah bahkan diskriminatif juga banyak sih tapi paling tidak ada sisi humanism yang masih tersisa - sesuai dengan pidato saya di acara program pelepasan mahasiswa asing yang telah lulus 2 tahun kemudian.

II.
Pada saat itu kami, ada 5 mahasiswa baru di UNB, diajak oleh seorang teman yang telah berada di situ lebih dahulu setahun. Setiba di venue dan mengobrol sedikit dengan koordinator panitia (yang nantinya menjadi host family saya yang kedua), sambil menunggu acara dimulai kami mengambil makanan kecil berupa kue-kue yang ukurannya memang sangat kecil. Naluri "mahasiswa kost" kami muncul dengan membawa piring besar dan mengambil banyak-banyak berbagai macam penganan yang ada. Ketika kami akan mulai menyantapnya, teman tadi mengingatkan "You shouldn't do that". Itu sama sekali tidak sopan. Seharusnya mengambil satu dulu, baru mengambil makanan lagi ketika semua orang sudah kebagian. Jangan kemaruk. Ketika saya perhatikan, memang setiap orang hanya membawa 1 penganan saja. Wah jadi malu nih, kami jadi kayak orang kelaparan saja. Rupanya itu budaya di sini, memberikan kesempatan pada orang lain ketika kesempatan mereka sudah terpenuhi, tidak mengambil semuanya untuk diri sendiri (*). Lha, ini kan sangat berbeda dengan bayangan saya sebelumnya mengenai masyarakat barat. Tapi kemudian saya menyadari itu adalah fitrahnya manusia sebagai social animals. Pengalaman lain yang membuat saya kagum adalah rupanya mereka juga orang yang sabar. Ketika suatu kali kami sedang menuju downtown, kendaraan kami terhenti oleh antrian mobil yang disebabkan oleh sebuah mobil yang berhenti ketika ada teman pengemudi menyapa dari tepi jalan dan mengajaknya mengobrol, sementara jalan terlalu sempit bagi kendaraan lain untuk mendahului mobil tersebut. Semenit, dua menit, tiga menit, tidak ada suara klakson sama sekali. Heran..... kalau di tempat kita biasanya sudah banyak kebun binatang yang keluar dari pengendara di belakangnya. Kamipun menekan diri serta mengurungkan niat untuk membunyikan klakson. Tak sampai 5 menit akhirnya mobil tersebut kembali melaju dan antrian berangsur menghilang. Dan semua orang berbahagia.

III.
Salah satu kegiatan dalam program host family yang selalu ditunggu-tunggu oleh penggemar adalah pembagian pakaian gratis. Pada setiap awal tahun ajaran, terutama menjelang musim dingin, mahasiswa peserta program tersebut disilakan untuk datang dan mengambil pakaian gratis yang disediakan oleh panitia, hasil donasi dari penduduk di Fredericton. Definisi pakaian di sini termasuk: baju, celana (kalau membeli celana di sini, saya harus ke stan pakaian remaja karena kalau ukuran dewasa meskipun panjangnya cocok tapi selalunya pinggangnya pastilah kegedhean :-) Orang-orang sini memang tidak terlalu memandang penting penampilan terutama get in shape, terbukti dengan banyak dari mereka yang cuwek saja makan banyak-banyak meskipun tubuh mereka sudah sangat gemuk tanpa ada upaya sama sekali untuk berdiet), jaket musim dingin, sweater, topi musim dingin yang menutupi telinga (tahukah anda kalau telinga kita lebih cepat menjadi dingin dibanding bagian tubuh lain, dan karena tersusun dari tulang rawan maka kalau kena udara terlalu dingin, maka telinga kita akan mudah membeku dan mudah patah jika mengalami benturan), sepatu boot untuk jalan di salju (teman saya memperoleh sepatu untuk ice skating, beruntung dia), dan lain-lain. Minggu pagi itu kami berangkat berenam untuk mengambil pakaian gratis di tempat yang telah ditentukan. Tiba di sana banyak terlihat meja dengan tumpukan pakaian di atasanya. Kita tinggal memilih-milih mana yang cocok dan disuka, boleh diambil tanpa harus bayar. Gratis tis ;-) Teringat akan teguran kawan kami di atas, maka kamipun dengan sopannya memilih jaket dan baju yang cocok dengan ukuran serta selera kami. Ada jaket yang bagus sudah kepegang tapi kok di sebelah sana ada yang lebih bagus ya; akhirnya saya batal mengambil dan mencoba yang lain lagi, hingga menemukan yang cocok. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh serombongan mahasiswa Korea yang juga datang untuk mengambil pakaian. Oh no! Lihat, mereka membawa tas plastik yang sangat besar yang biasanya digunakan untuk membuang sampah!! Dan mereka serta merta meraup pakaian yang ada di meja lantas memasukkannya banyak-banyak ke dalam tas mereka!!! Tapi.... teman saya yang menegur kami dulu tak ada di sini. Panitia yang ada di situ juga tak kelihatan berusaha untuk mencegah "penjarahan" tersebut. Tak ada yang berteriak: "Jangan kemaruk!" pada mereka. Sungguh kami terkaget-kaget dengan merasakan culture shock untuk ke sekian kalinya. Jadi kesimpulannya: di sini boleh kemaruk atau tidak? Sepertinya tak ada waktu untuk memikirkannya. Jadi kami tetap pada prinsip semula: jangan kemaruk, meski melihat orang lain kemaruk, jangan tergoda (saya sering berseloroh: saya ini taat prinsip, sayangnya prinsip saya sering berubah-ubah. He... he... just joking). Akhirnya kamipun buru-buru mengambil jaket yang kami rasa paling cocok dan beruntunglah kami masih dapat sisa-sisa pakaian yang sempat kami selamatkan.

IV.
Yang terakhir ini sebetulnya dalam mode "off the record". Ternyata kami kalah melawan godaan, hingga pada tahun berikutnya, dalam acara yang sama, pagi-pagi sekali kami berangkat sambil membawa tas besar (tak sebesar yang dibawa mereka sih), dan dengan bergas mengambili berbagai jaket dan baju. Alhasil, ketika kembali ke apartemen. Saya dapati hanya satu-dua pakaian yang cocok dengan ukuran dan selera saya, hingga banyak pakaian tersebut yang kemudian hanya menumpuk di gudang dan akhirnya dibuang ketika saya akan kembali ke negeri tercinta. Saya sangat menyesalinya :-( . Please, don't be greedy.

{1999 @ canada}

(*) Belakangan saya mendapatkan hadist yang kiranya erat berhubungan dengan kejadian itu, yaitu: "Jangan mengambil terlalu banyak bila makan bersama orang lain, kecuali jika atas izin kawan dalam jamuan itu". (HR. Al Bukhari, Muslim).

see other Culture Shocks

Sunday, October 15, 2006

Ramadhan @ Canada

Ramadhan di negeri orang, selalu menjadi topik yang menarik bagi kita; terutama di negara di mana seorang muslim adalah minoritas. Berikut beberapa kejadian yang saya alami pada saat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan di Kanada.

Selama bulan Ramadhan, mahasiswa Indonesia di sini biasa berkumpul untuk berbuka puasa bersama; dan seperti biasanya pula, tempat kumpulnya adalah di apartemen kami. Buka bersama bukan hanya diikuti oleh mahasiswa dan keluarganya yang muslim, tetapi juga yang non muslim karena itu adalah kesempatan untuk bertemu dengan semua orang Indonesia di Fredericton. Pada hari tersebut, siang harinya kami bersiap untuk menghidangkan santapan untuk berbuka dan makan malam. Biasanya saya ketiban jatah untuk membuat tempura; dengan bahan dari carrot dan spinach. Pada hari terakhir ramadhan tahun 1998, acara yang dilakukan adalah makan malam bersama, bukan buka bersama. Saat itu saya masih berada di tempat kost seorang teman yang berada di King College Road, tak jauh dari apartemen kami. Selepas berbuka seperlunya dan sholat maghrib, kami menuju Magee House. Bulan Ramadhan ini tepat di pertengahan musim dingin. Timbunan salju banyak menumpuk di tepi jalan. Kami berjalan di bawah rintikan salju yang turun dari langit lembut mengenai jaket tebal yang kami kenakan. Meskipun jarak antara King College Rd dan Magee House tak jauh, kami memilih untuk berjalan memutar melalui Regent Street. Kami bersepakat untuk bertakbir berdua di sepanjang jalan. Suara takbir kami berdua - tak begitu keras karena terpaan angin dingin yang membawa butiran salju masuk ke dalam mulut - menggema ditelan sepinya malam di jalan yang kami lalui. Mungkin tak ada yang mendengar kami. Tetapi, pepohonan dan semak-semak yang tertutup lapisan salju memutih di sepanjang Kings College Rd, Regent St, dan Montgomery St terasakan ikut bergerak diselingi suara angin yang lalu, menyambut suara takbir yang mungkin belum pernah mereka dengarkan sebelumnya di sana. Menunjukkan rasa kehilangan yang akan kami alami karena hari ini adalah hari terakhir bulan Ramadhan tahun itu di Fredericton. Sungguh, getaran suara itu, akan selalu terngiang di telinga tatkala saya teringat akan saat itu.

Saat menjelang pergantian tahun, masih dalam bulan Ramadhan juga, kami berbanyak pergi ke Prince Edward Island, provinsi terkecil di Kanada, berupa sebuah pulau di Teluk Saint Lawrence yang berbatasan dengan Samudera Atlantic dan merupakan pulau terbesar nomor 104 di dunia! ;-). Penduduk provinsi di sebelah timur New Brunswick ini kurang dari 150 ribu jiwa namun pendapatan perkapita tahun ini mencapai hampir 300 juta rupiah. Pulau ini menjadi terkenal - terutama di Jepang, terbukti dengan banyaknya wisatawan Jepang ke sana - karena Lucy Maud Montgomery menulis sebuah novel klasik yang berjudul Anne of Green Gable dengan setting pulau tersebut. Kunjungan ke kediaman sebuah keluarga Canada-Solo yang tinggal di sana adalah merupakan tradisi bagi mahasiswa Indonesia yang berada di Fredericton. Untuk mencapai Charlottetown kami melewati Confederation Bridge, sebuah jembatan sepanjang hampir 13 km yang menghubungkan mainland dengan pulau tersebut. Asyik juga melalui jembatan tersebut di mana sepanjang mata memandang di sekeliling terlihat lautan yang biru gelap membeku. Penduduk pulau tersebut banyak yang merupakan keturunan Scottish dan Irish, yang terkenal dengan alat musik fiddle, tap dance, dan peminum bir. Pada pergantian tahun, gubernur menyelenggarakan open house, kami semua hadir untuk melihat keunikan budaya Celtic di sini. Tersedia banyak makanan; namun beberapa dari kami yang muslim tidak dapat menikmatinya karena hari masih belum terlalu sore - kami masih berpuasa. Jadi, ketika orang-orang makan dengan lahap, kami hanya melihat-lihat saja, hingga orang-orang bertanya-tanya. Dengan lugas kami menjelaskan arti bulan Ramadhan dan mereka antusias sekali mendengarkannya. Saat itu, kami sering-sering menilik jam tangan; tatkala sudah menjelang waktu maghrib, kamipun bergegas mengambil piring dan mulai mengoleksi makanan - seperti biasanya kami ambil hidangan untuk vegetarian atau seafood untuk amannya. Dan saat berbuka puasapun tiba. Kami saling memberi kode dan mulailah kami menyantap setumpuk makanan di piring besar. Orang-orangpun kembali bertanya-tanya. Lho, katanya tadi puasa, kok sekarang makan. Maka, kemudian kami menjelaskan kembali bahwa sekarang sudah saatnya berbuka sehingga boleh makan. Mereka terlihat antusias lagi mendengarkannya. Kali ini, mereka yang mengalami culture shock ya ;-)

Buka puasa bersama dengan para moslem brothers dan sisters dari negara lain merupakan pengalaman yang mengesankan di sini. Setiap Sabtu, FIA (Fredericton Islamic Association) mengadakan buka puasa bersama dengan model potluck, setiap keluarga membawa makanan untuk dimakan bersama. Biasanya, untuk mahasiswa yang tidak datang dengan keluarga, cukup membawa minuman atau makanan ringan. Tempatnya berpindah-pindah, namun masih di lingkungan kampus UNB. Saat itulah kesempatan untuk menikmati hidangan dari berbagai negara, terutama yang mayoritas penduduknya muslim. Hal yang menguntungkan adalah: saya termasuk orang yang omnivora; rentang akseptabilitas rasa dan selera perut saya ini sangat lebar, sehingga saya bisa mencicip segala macam makanan yang tersedia tanpa terlalu pilih-pilih. Hal yang tidak menguntungkan: volume perut saya termasuk kecil, sehingga tidak bisa makan terlalu banyak- jika dipaksa maka akan mendesak diafragma dan terasa menyesakkan dada. BTW, dengan demikian di acara potluck tersebut saya makan tidak terlalu banyak dalam kuantitas namun banyak dalam variasinya. Alhasil, seringkali nasi jadi lauk dan lauk jadi makanan pokok ;-) Di saat lain, mahasiswa yang bersendirian di sini seringkali diundang oleh keluarga-keluarga muslim untuk berbuka puasa di rumah mereka. Pokoknya kelarisan dah ;-) Termasuk keluarga dari Maroko yang mengundang saya dan teman saya dari ITS untuk berbuka dengan beberapa mahasiswa dari negara lain. Kamipun berangkatlah ke rumahnya. Tersedia hidangan sangat banyak di meja makan. Saat buka puasa tiba, setelah makanan ringan sekadarnya serta sholat maghrib berjamaah, tibalah saat untuk makanan besar. Kok ya piring yang tersedia besar banget, kayak nampan aja ukurannya. Ya sudah, saya ambil nasi dan lauk hingga separuh piring tak sampai. Ini sudah banyak, pikir saya sambil melihat teman-teman lain mengambil makanan sepiring penuh bahkan sampai menggunung memenuhi tepinya. Tuan rumah bola-bali meminta saya untuk mengambil lebih. Dikiranya saya malu-malu untuk makan banyak-banyak. Tak lah. Ini sudah cukup mengenyangkan saya, sambil menyantap dan mengobrol bersama mereka. Habis sepiring, eh ternyata mereka go for the second round!!! Segunung lagi. Ya ampun, ini sih balas dendam ;-) Saya tidak tergoda untuk mengikuti mereka, namun masih cukuplah tersisa ruangan untuk hidangan penutup berupa buah, hingga kemudian saya tergolek kepenuhan di sofa melihat ganasnya mereka menghabiskan hidangan yang ada.

{2000 @ canada}

see other Culture Shocks

Wednesday, October 11, 2006

Disangka Orang Asing

Sudah menjadi nasib saya sering disangka bukan orang Indonesia. Dari nama saya saja, orang sering salah sangka andai belum pernah bertemu langsung dengan saya. Suatu kali di University of New Brunswick, saya ditunjuk menjadi graduate teaching assistant Prof. Sousa untuk Heat Transfer Lab (selama di sana, saya menjadi asisten 5 profesor yang berbeda) bersama dengan Jason, seorang mahasiswa graduate asli Kanada. Berhubung kami berdua belum pernah bertemu, kami saling mengirim email dan bersepakat untuk bertemu di depan kelas saat kuliah Heat Transfer. Oke. Pada masa yang telah ditentukan, saya berdiri di depan pintu kelas, melihat mahasiswa yang memasuki lecture hall untuk kuliah. Yang mana ya orang itu, pikir saya; bingung karena kebanyakan mahasiswanya berkulit putih sehingga saya tidak dapat mengira-ira yang mana teman saya tersebut. Setelah hampir semua orang masuk kelas, terlihat seseorang yang berdiri bersandar di pintu kelas, sedari tadi dia menatap ke arah datangnya massa. Ini dia orangnya, tebak saya. "Are you Jason?". Dia menatap saya lalu mengangguk, mimik mukanya terlihat bingung dan ragu. "Are you Achmed?". Demikian saya biasa dipanggil di sana. "Yes I am", jawab saya mantap sambil mengulurkan tangan. Dia menjabat tangan saya sambil tersenyum dan berkata "I was expecting an arabic guy". Tentu saja, dia mengira orang yang akan ditemuinya adalah orang Arab, that's because of my name :-)

Di kesempatan lain, saya berada di graduate computer room lantai 2 Head Hall, membaca email di komputer DEC dengan sistem operasi Unix sambil browsing membaca berita dari Indonesia. Setiap hari belasan surat kabar online Indonesia kami lahap, begitu laparnya kami akan kabar dari tanah air dan betapa rindunya kami akan ibu pertiwi. Sedang asyiknya membaca berita, tiba-tiba saja dari sebelah saya, Jeff Wong, graduate student yang berasal dari Hongkong tertawa keras sekali dan berteriak ke saya dengan bahasa yang saya sama sekali tidak dhong, sambil menunjuk-nunjuk layar monitornya yang berisi tampilan webmail. "I don't get it", kata saya ketika dia insist menyuruh saya membaca emailnya sambil terus tertawa-tawa. Apa yang saya lihat di sana hanyalah gambar huruf cina (bukan tulisan, saya selalu menganggap aksara cina adalah gambar, karena diturunkan dari gambaran benda yang diwakilinya, bukan fonem. Isn't it?). Bagian mana yang lucu, pikir saya sambil mencari gambar atau celah-celah lain yang dapat memicu syaraf tertawa saya. Jeff tertawa dan tertawa, "this email is just very funny", namun makin lama makin berubah jadi tawa kebingungan ketika melihat saya tak kunjung tertawa juga. Lalu dia bertanya: "Can you speak in chinese?". Saya menggelengkan kepala saya. Dia bertanya lagi: "Which province are you from". Dengan santainya saya jawab: "Daerah Istimewa Yogyakarta". Mendengar itu dia kebingungan mencoba merekover pengetahuan geografinya: di mana kira-kira letak provinsi ini. Rupanya dia mengira saya berasal dari daratan China. Wah, kalau begitu, sampai kapanpun gak bakalan nemuin yang namanya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di sana ;-) Setelah itu, lebih dari belasan kali orang menyangka saya berasal dari daratan China.

Sejak kedatangan saya ke Malaysia, saya selalu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan para student di kelas atau di lab. Dalam tugas saya sebagai tutor maupun lab demonstrator, saya memang tidak pernah banyak berbicara dengan lantang di depan kelas dengan dipandangi oleh semua mahasiswa. Sori saya bukan tipe seperti itu ;-) Saya mencoba menerapkan Student Centered Learning yang akhir-akhir ini saya dalami dengan teman-teman di tim pengembangan pembelajaran di UGM. Mahasiswa tidak disuapi dengan ilmu tetapi biarkan mereka mengkonstruksi sendiri ilmu yang mereka pelajari, kita hanya memfasilitasi mereka agar dapat belajar dengan baik dan memberikan temporary assistantship seperlunya. Jadi di kelas dan lab biasanya mereka diminta mencoba mengerjakan sendiri tugas mereka, lalu saya akan membantu menjelaskan jika ada pertanyaan. Jadi komunikasinya lebih bersifat individual atau dalam kelompok kecil. Suatu kali, Faizah, technician di Lab Elektronika Analog bertanya pada saya: "Where are you from?". Saya jawab kalau saya berasal dari Indonesia (kebanyakan setelah itu, pertanyaan yang diajukan adalah dari kota mana saya berasal. Dan ketika saya jawab bahwa saya berasal dari Yogyakarta, mereka kemudian berkata: "Oh, the one with earthquake!", lalu saya menjelaskan kejadian yang kami alami di bulan Mei lalu itu). Dia mengatakan kalau para mahasiswa menyangka saya berasal dari Myanmar, karena tidak pernah menggunakan bahasa Melayu maupun Indonesia di kelas. Saya tidak tahu apakah wajah saya memang mirip orang Myanmar atau tidak, tetapi suatu kali saya bertemu dengan orang Myanmar, saya ajak dia bercakap dalam bahasa Jawa karena wajahnya mirip sekali dengan orang Jawa. Tentu saja dia kebingungan :-D

Bukannya mau apa, saya memang selalu menggunakan bahasa Inggris di kelas. Pertama, karena di kelas saya yang mahasiswanya lebih dari 150 orang itu, tidak semuanya berasal dari Malaysia; banyak juga yang berasal dari negara lain seperti Iran, Sudan, India, Pakistan, Vietnam, dan lain-lain. Jadi saya tak boleh menggunakan bahasa Indonesia meskipun kebanyakan mahasiswa Malaysia memahaminya. Kedua, beberapa kata dalam bahasa Indonesia ternyata memiliki arti yang sangat berbeda dalam bahasa Melayu. Bahkan banyak kata dalam bahasa Indonesia yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari backhome, ternyata kata tersebut sangat tidak sopan untuk diucapkan di sini. Parahnya, makin berusaha untuk tidak mengucapkan kata-kata tersebut, makin sering keluar dari mulut kita, sehingga seringkali kemudian kita menyadarinya - atau ada teman yang mengingatkannya - dan kita hanya bisa ber-oooops saja sambil menutup mulut dengan tangan. Akhirnya asal saya ketahuan juga ketika suatu saat saya sedang memesan makanan di kantin desasiswa V5, tempat saya tinggal di UTP. Saya memang suka makan di kantin ini karena kokinya berasal dari Jawa Timur, jadi nasi gorengnya sangat cocok di lidah saya. "Saya pesan nasi goreng ayam satu", kata saya. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara: "Aaa, dari Indonesia ya". Ternyata di belakang saya banyak student saya yang beratur (antri) untuk memesan makanan di kantin tersebut. Sejak itu, saya sering menggunakan kata-kata dalam bahasa Melayu ketika memberikan penjelasan kepada mahasiswa tempatan (lokal), meskipun secara umum saya masih lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris.

{2006 @ tronoh.malaysia}

see other Culture Shocks

Sunday, October 01, 2006

Dwi Bahasa

  1. Bahasa menunjukkan kepribadian bangsa, dan sebagai anak bangsa yang bangga terhadap bangsanya, I'm trying hard to use Bahasa as good as possible (are you kidding ;-) he..he...he....). Namun, saat berada di tempat yang berbahasa asing, you have to use their language, right? I guess so. Karena itu, saya selalu mencoba mempelajari bahasa di tempat saya tinggal. Saint Thomas University membuka program summer class kursus bahasa Inggris bagi mahasiswa asing. Pesertanya berasal dari berbagai negara di benua Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Eropa. Seperti diketahui, orang-orang dari Eropa berkulit sama dengan orang Amerika Utara: mereka juga bule. Di Yogya, kami biasa menyebut mereka Londo; jadi ada Londo Inggris, Londo Jerman, Londo Perancis, Londo Belanda, etc. Di kursus bahasa Inggris tersebut, juga banyak peserta londo-londo tersebut; dan ketika kita mencoba bercakap dengan mereka, bayangkan apa yang terjadi. Betapa aneh rasanya melihat seorang bule terbata-bata mencoba berbahasa Inggris!!! :-) Hal ini karena kita berpikiran bahwa setiap bule selalu mahir menggunakan bahasa Inggris.

  2. New Brunswick merupakan provinsi yang memiliki official language dwi bahasa: bahasa Inggris dan bahasa Perancis (sebenarnya pemerintah Federal Canada memiliki bahasa resmi dalam dwi bahasa tersebut sejak 1969 - di antara bahasa-bahasa lain di sana: Dene Suline, Cree, Dogrib, Gwich’in and Slavey -, namun hanya Provinsi NB yang mencantumkannya secara eksplisit dalam konstitusi mereka). Hal ini berarti setiap dokumen resmi harus ditulis dalam kedua bahasa tersebut. Setiap surat yang berhubungan dengan pemerintahan atau administrasi ditulis dalam 2 bahasa ini, termasuk laporan pemerintah, kartu nama, KTP (kami sering menyebutnya kartu dosa karena disingkat kartu SIN, security identification number), buku petunjuk pariwisata, borang isian, dan lain-lain; bahkan juga papan tanda lalu lintas. Kadang ditulis dalam 1 halaman, sebelah kiri untuk bahasa Inggris, sebelah kanan untuk bahasa Perancis; atau sebelah atas bahasa Inggris, bawah Perancis. Kadang sebuah buku jika dibaca dari depan tertulis dalam bahasa Inggris, lalu jika dibalik dibaca dari belakang maka tertulis dalam bahasa Perancis. Bayangkan (lagi), betapa borosnya biaya pembuatan buku, borang, dan kartu tersebut karena jumlah halamannya akan menjadi 2 kali lipat daripada jika menggunakan hanya 1 bahasa. Oleh karena itu, pemerintah provinsi berencana untuk menetapkan salah satu bahasa tersebut sebagai bahasa resmi.

  3. Menurut catatan sejarah, Canada ditemukan pada akhir milenia pertama oleh orang Viking, yaitu Norse dan Leif Ericson. Namun dalam perkembangannya, Inggris dan Perancis berival menguasai Canada. Bagian barat Canada lebih banyak memiliki pengaruh Inggris, terlihat dari nama salah satu provinsinya adalah British Columbia. Perancis lebih banyak memiliki pengaruh di Quebec, sebuah provinsi yang berusaha untuk memisahkan diri dari Canada pada dekade-dekade akhir abad lalu. Sementara provinsi-provinsi Atlantic dipengaruhi oleh keduanya, namun kayaknya pengaruh Inggris sekarang lebih besar. Jadi tinggal Quebec sekarang. Pada 1974, bahasa Perancis menjadi official language di sana dan sempat pengajaran di sekolah menggunakan bahasa Inggris sangat dibatasi meskipun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung.Keinginan untuk memiliki negara sendiri yang berbahasa Perancis dipupuskan oleh kekalahan dalam referendum 1995. Yang menarik adalah, penduduk Quebec yang setiap harinya berbahasa Perancis sebenarnya dapat menggunakan bahasa Inggris. Namun, kalau anda seorang bule/londo ;-) jangan harap mereka akan melayani kalau anda menggunakan bahasa Inggris. Tetapi kalau anda seorang yang kulitnya berwarna (dari Asia, Afrika, dsb), anda akan tetap dilayani meskipun menggunakan bahasa Inggris!!!

  4. Hampir separuh penduduk New Brunswick berbahasa Inggris, kurang lebih seperempat berbahasa Perancis, dan seperempat lain bilingual Inggris dan Perancis. Uniknya di bagian tenggara negara bagian ini, penduduknya sering mencampuradukkan penggunaan bahasa Perancis dan Inggris sehingga muncul bahasa campuran yaitu Franglais. Mereka mengkombinasikan penggunaan subyek, predikat, obyek, dan kata keterangan dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Contoh kalimat dalam bahasa Franglais adalah: J'vas driver downtown yang berarti saya akan berkendara ke pusat kota; atau Je suis tired yang berarti saya lelah. Contoh yang lebih panjang ada dalam karya Robert Surtees 'Jorrocks Jaunts and Jollities': "You shall manger cinque fois every day," said she; "cinque fois," she repeated.--"Humph!" said Mr. Jorrocks to himself, "what can that mean?--cank four--four times five's twenty--eat twenty times a day--not possible!" "Oui, Monsieur, cinque fois," repeated the Countess, telling the number off on her fingers--"Café at nine of the matin, déjeuner à la fourchette at onze o'clock, diner at cinque heure, café at six hour, and souper at neuf hour." Apa tidak membingungkan lawan bicara yang berasal dari luar ya? Yen saya sih, gak pernah nyampur-nyampurno penggunaan bahasa kalau ngomong, bikin bingung wae. ;-)

{1999 @ fredericton}


see other Culture Shocks