Tuesday, September 09, 2008

Awas Pencurian

Di UTP ini banyak terdapat mahasiswa asing, saya termasuk di antaranya :p, karena katanya untuk meningkatkan ranking agar bisa masuk ke jajaran World Research University. Mereka berasal dari berbagai negara, antara lain Indonesia, Vietnam, Thailand, Timor Timur, Pakistan, Iran, Irak, Yaman, Mesir, Sudan, Ethiopia, Afrika Selatan, Gambia, Mali, Libia, Arab Saudi, dan Turkmenistan. Mahasiswa Indonesia dari segi jumlah termasuk dalam 3 besar, selain Pakistan dan Sudan. Hampir 90% mahasiswa asing tersebut tinggal di dalam kampus (in campus housing) yang disebut Student Village atau Desasiswa. Ada 6 desasiswa di UTP, saya tinggal di Village 5, hostel V5C. Di village yang memiliki 10 hostel/apartemen ini, setiap hostel memiliki 5 lantai. Masing-masing lantai terdapat 4 house. Masing-masing house terdiri atas 6 bilik, 4 kamar mandi dan wc, serta dapur. Setiap bilik diisi 2 mahasiswa. Di house saya terdapat 6 pelajar Indonesia (5 dari UGM) serta 5 orang dari 2 negara asing (tidak saya sebut asal negaranya karena suatu alasan yang akan anda ketahui selanjutnya).

Tinggal serumah dengan orang asing merupakan pengalaman yang unik. Saya juga pernah mengalami sebelumnya ketika tinggal di Kanada dengan tetangga dari Korea dan orang lokal Kanada. Basically, kami tidak terlalu dekat dengan osmet (housemate, demikian orang sini menyebutnya karena suka menyingkat istilah) asing tersebut. Sekedar kenal, tanya kabar secukupnya, mengucapkan salam, dan that's all. Perbedaan budaya menyebabkan tidak cairnya hubungan kami tersebut, terlebih saya tidak merasa kesepian karena tinggal dengan 5 orang sebangsa dan 10 orang Indonesia lainnya di rumah sebelah. Namun, ada alasan lain yang membuat saya malas berdekat-dekatan dengan mereka. Satu osmet kami itu berasal dari negara yang penduduknya berbahasa Arab selain bahasa mereka sendiri dan bahasa Inggris. Mereka sering menjadi imam di surau dekat hostel kami. Namun 4 osmet lainnya yang berasal dari negara lain yang terkenal dengan musik dan tariannya (tidak terlalu terkenal ding, negara tetangganya yang terkenal seperti itu sebenarnya, tapi mereka menyukai musik dan tarian negara tetangga tersebut), ini yang menjadi masalah.

Masalah pertama adalah irama hidup mereka yang berbeda dengan kebanyakan teman-teman dari Indonesia. Meskipun secara umum, di manapun yang namanya mahasiswa sebagian besar adalah binatang malam, namun yang memasak setelah lewat tengah malam baru kali ini saya temui. Parahnya, mereka juga nyetel musik dengan sepol-polnya saat itu. Ya, di tengah malam itu!!! Konon seorang teman dari UGM pernah melabrak mereka, hingga melibatkan fellow atau ketua RT village kami. Untung tidak terjadi kontak fisik, karena risikonya di sini adalah pemecatan dari status mahasiswa. Resolusi terjadi, mereka tidak lagi nyetel musik keras-keras di tengah malam. Tapi ya itu. Setelah beberapa saat, hingar-bingar kembali muncul. Saya kadang kasihan melihat mereka kalau ngomong harus saling berteriak meski pada jarak berdekatan. Iya, kasihan mungkin memang telinga mereka sudah tidak peka lagi untuk suara yang lembut.

OK, itu masalah pertama. Masalah kedua lebih parah lagi. Saya tidak tahu apakah ini memang sifat mereka atau budaya mereka, karena ini terjadi berulang kali meskipun pelakunya berganti-ganti. Kejadian pertama yang saya alami adalah, untuk persiapan puasa Ramadhan, saya bela-belain jauh-jauh ke kota (kota? iyaaa, saya di hutan niii :p ) untuk membeli kompor listrik sehingga dapat digunakan untuk memasak sekadarnya kalau lagi malas keluar untuk membeli makan buat buka atau sahur di kantin. Suatu sore, kompor tersebut tidak ada di dapur, padahal baru saya pakai sekali. Tadinya saya menduga kompor itu disita oleh mak cik pembersih hostel karena sebelumnya beredar isu akan ada penyitaan barang2 elektronik tidak terdaftar di hostel sebab sebetulnya tidak boleh memasak sendiri di dalam hostel (tapi aneh, kalau begitu kenapa disediakan dapur? he..he.. memang sih kalau di village lain hanya tersedia ruang pantry yang kecil untuk setiap house. BTW, kalau tidak boleh memasak ya sediakan menu-menu makanan yang lezat di kantin dong, mosok masakannya cuman kayak gitu-gitu aja, ha..ha..ha..). Malam itu kebetulan saya bertemu dengan fellow hostel kami dalam suatu acara klub robot, jadi saya laporkanlah kehilangan kompor saya itu. Dia malah bilang: seharusnya pintu rumahmu dikunci, kan masing-masing kunci kamar bisa digunakan untuk mengunci pintu rumah. Wah, iya po? Tapi ternyata tidak bisa ketika saya coba. Kemudian lewat tengah malam, saya masih di acara tersebut, ditelpon teman saya yang mengatakan bahwa tetangga kami barusan mengembalikan kompor saya dengan alasan: tidak tahu bahwa itu kompor saya, mereka mengira kompor itu milik teman mereka. Haaaaa? Aneh banget alasannya. BTW, gpp sih, yang penting kompor saya kembali, meski sudah jadi lebih kotor karena tahu sendiri masakan mereka bentuknya seperti apa. Oh ya, kompor ini model yang langsung ada wajan/pancinya di atasnya.

Itu kejadian pertama. Belakangan saya sering kehilangan barang: es krim 3 warna di freezer yang barusan saya beli di pasar malam tiba-tiba hilang 1 warna, sendal saya sering berpindah tempat dari depan bilik saya ke depan bilik tetangga tersebut, apel, pepaya, sampo, pisau dapur, sendok, dsb. Paling mangkel ketika sabun cuci hilang, dan ketika saya membuka-buka lemari dapur tempat mereka menyimpan bahan, di situlah terdapat sabun cuci saya yang sengaja sudah saya beri tanda. Saya sebetulnya tidak terlalu keberatan kalau mereka minta sabun tersebut, ingat minta izin dulu lho. Tapi yang ini, sudah tidak minta izin, malahan menyimpannya sehingga yang punya tidak bisa menggunakannya. Kebangeten deh. Seorang teman yang saya curhati masalah ini mengatakan: jangan menuduh dulu kalau tidak ada bukti, maksudnya belum tentu mereka yang melakukannya. Lha itu kan buktinya sudah ada. Ketahuan yang kedua suatu kali saya mau mandi dan sabun mandi cair saya lenyap dari tempatnya di kamar mandi, biasanya sih tetap di situ tapi dengan isi yang berkurang. Karena saat itu 1 kamar mandi masih occupied, dari handuknya sih kelihatannya si tetangga itu yang sedang mandi. Jadi saya tunggu saja di situ. Ketika dia selesai mandi, membuka pintu, terlihatlah sabun mandi saya (sudah saya beri nama di wadahnya) habis dipakainya. Maka jelas-jelas terbukti. Sayangnya saya bukan model orang yang suka rame-rame, jadi saya biarkan saja, tapi saya sudah yakin sekarang bahwa saya tidak sembarang menuduh.

Kadang sih saya tidak sabar pula sehingga saya berteriak: "Maliiing. Awas ada maling" di dalam rumah ke arah bilik mereka ketika ada barang saya yang hilang lagi. Teman-teman Indonesia yang mendengarnya tertawa kecut. He..he..he.. Kata salah satu teman saya: "Salah kamu sendiri. Sudah tahu punya tetangga yang suka ngambil milik orang lain kok menaruh barang di luar." Lho, kok saya yang disalahkan. Aneh bin ajaib deh. Memang sekarang saya menyimpan barang di dalam bilik, tetapi selalu ada saja yang tertinggal di luar dan terambil lagi oleh mereka. Nasib... nasib... Meskipun penghuni kamar tetangga itu sudah ganti-ganti, tetapi gantinya selalu dari negara mereka, dan kejadian tersebut berulang kembali. Bukannya mau menyatakan suatu stereotipe, tapi barangkali memang mereka itu punya "rasa memiliki" yang tinggi. Ha..ha..ha...

-Malaysia, 2008-