Monday, February 19, 2007

Lion Dance

Long weekend kali ini, bertepatan dengan cuti (liburan) tahun baru cina, saya gunakan untuk pergi berkunjung ke rumah adik yang ada di Singapura. Tak ada yang terlalu menarik dalam perjalanan 12 jam dari Perak ke Singapura, kecuali ketika bersama 2 turis dari Swedia diburu-buru oleh pemandu bas untuk segera lari ke kantor imigrasi di kedua ujung Johor Causeway, jembatan yang menghubungkan semenanjung Malaysia dengan Singapura sejak tahun 1920. Dari terminal bas Lavender saya naik kereta listrik SMRT (Singapore Mass Rapid Transit) ke kota Sembawang. Singapura memang terbagi atas kota-kota (town) yang masing-masing diwakili oleh anggota parlemen (MP).

Meski bertepatan dengan tahun baru cina, kepergian ke sini tidak saya khususkan untuk merayakannya. Meskipun begitu pada malam itu, dari lantai 14 apartemen adik saya, di kejauhan terlihat firework yang diluncurkan dari Johor Bahru di Malaysia. Kembang api memang merupakan salah satu elemen yang selalu digunakan untuk merayakan tahun baru cina, selain barongsai atau lion dance. Menurut legenda tiongkok kuno, ada seekor monster yang berleher panjang dan bertanduk tajam yang tinggal di kedalaman laut. Pada setiap tahun baru cina, Nian, nama monster tersebut, muncul ke daratan untuk makan ternak milik penduduk desa, merusak desa, serta menculik anak-anak. Penduduk desa bersembunyi di gunung untuk menghindari Nian. Suatu saat, seorang tua berambut putih datang ke desa dan menolak untuk bersembunyi di gunung. Ketika Nian muncul, tiba-tiba monster tersebut dihadapkan pada kembang api yang berluncuran serta lampion yang menyala-nyala, diiringi dengan suara riuh dan bendera merah yang berkelebatan, hingga dia ketakutan dan pergi. Itulah sebabnya, pada setiap perayaan tahun baru cina selalu ada bendera merah, lampion, serta kembang api, dan barongsai atau singa yang menyimbulkan Nian. Juga jangan lupa: suara riuh rendah atau mbrebegi untuk mengusirnya.

Urusan mbrebegi atau suara bising yang menulikan telinga ini menarik juga. Pagi hari selepas tahun berganti, suara bising drum serta tamborin dengan irama yang berulang-ulang terdengar di building apartemen sebelah. Ada suaranya tapi tak ada terlihat bentuknya, begitulah kiranya. Dalam satu sesi bising berlangsung sekitar 20 menit. Saat itu, dalam sehari kurang lebih terdengar belasan kali dari berpindah dari satu lantai ke lantai lain, dari satu building ke building lain. Suatu kali terlihat oleh kami, ternyata itu adalah suara sekelompok pemuda yang memainkan Lion Dance. 2 barongsai dimainkan oleh 4 orang pemain terlihat menari-nari di dalam ruang apartemen, diiringi beberapa pemain musik dengan seragam kaos dan celana warna merah yang memukul-mukul drum besar serta tamborin dan gong kecil di koridor dengan irama naik-turun, cepat lambat, keras-lembut berulang-ulang mengikuti irama gerakan tarian si singa (atau sebaliknya ya, tarian singa itu yang mengikuti irama musik bising tadi). Bising? Ya. Beberapa tetangga lain lantai terlihat keluar dari apartemen dengan muka bersungut-sungut dan bingung mencari sumber suara itu. Rupanya sekelompok pemuda tadi sedang mengamen dari 1 apartemen ke apartemen lain, karena selepas memainkan 1 sesi tarian singa tersebut, si tuan rumah terlihat memberikan angpao kepada salah satu pemuda itu. Anda berminat untuk memanggilnya?

Apa lagi yang menarik di Singapura? Kota yang bersih, tertib, dan aman. Demikian pendapat hampir semua teman yang pernah berkunjung ke sana. Semua itu karena peraturan benar-benar ditegakkan di sana. Di setiap penjuru kota terdapat papan larangan untuk membuang sampah, meludah, makan, minum, merokok, buang air, dan sebagainya; tentunya di sertai dengan ancaman denda yang cukup tinggi apabila kita melanggarnya. Itulah sebabnya Singapura secara plesetan disebut sebagai Fine City (kota denda) :-p. Terus siapa yang menegakkan peraturan tersebut? Polisi tentu saja. Tapi selama di sana saya tidak pernah melihat seorang polisipun di tempat-tempat umum. Namun di seluruh penjuru kota terpasang kamera banyak sekali. ... to be continued ...

{2007 @ singapore}

see other Culture Shocks

Saturday, February 17, 2007

Ramayana

Saya, dan juga banyak orang lain yang bepergian ke luar negeri, dalam hal yang berkaitan dengan budaya, memiliki 2 keinginan. Pertama, ingin mengenal kebudayaan masyarakat di tempat yang saya kunjungi. Mengenal seluk beluk keunikan tradisi dan adat istiadat, terutama yang menimbulkan kejutan budaya (culture shock) yang menarik bagi saya, karena berbeda dengan pengalaman sehari-hari yang biasa saya alami di tempat asal. Kedua, ingin mengenalkan budaya dan adat istiadat kita sendiri pada masyarakat di tempat yang kita kunjungi. Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman yang berhubungan dengan keinginan kedua di atas.

Ruang tamu apartemen kami dihiasi dengan benda-benda yang mengIndonesia. Ada bendera merah putih besar yang terpasang di dinding, keris dan senjata tradisional lain, lukisan batik, miniatur perahu pinisi, model candi borobudur, dan lain-lain (seingat saya ada juga Garuda Pancasila di sana). Terpajang pula beberapa wayang golek dan wayang kulit, di antaranya adalah Srikandi, Rahwana, dan Prabu Kresna. Benda-benda yang asli dibawa dari Indonesia tersebut sering kami bawa keluar untuk dipamerkan di beberapa acara yang diadakan oleh International Student Association. Biasanya kami juga menyetel musik-musik tradisional Indonesia di acara tersebut, misalnya degung Sunda dan gamelan Jawa atau Bali. Apabila masih kurang, biasanya kami mengontak kedutaan besar di Ottawa untuk mengirim benda-benda tradisional untuk keperluan pameran.

Suatu kali, kami diundang untuk mengisi acara pada Open House yang diadakan oleh Science East Association di Science Center (yang tadinya adalah penjara York County Jail yang didirikan pada tahun 1842). Pada saat itu, acara yang diadakan untuk pertama kali setelah Science Center dibuka pada Agustus 1999 itu bertepatan dengan pergantian milenium yaitu pada malam tahun baru 2000 (banyak yang mengatakan bahwa pergantian milenium sebenarnya baru terjadi pada tahun berikutnya, yaitu tahun baru 2001, karena tahun masehi dimulai dari tahun 1, bukan tahun 0. By the way, kedua-duanya mungkin tidak benar, mengingat kalender masehi pernah melompat dari Julian Calendar pada hari Kamis tanggal 4 Oktober 1582 menjadi hari Jumat tanggal 15 Oktober 1582 dari Gregorian Calendar pada hari berikutnya). Setelah berunding, kami memilih untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit dengan mengambil cerita Ramayana. Segera kami berbagi tugas, ada yang menyiapkan cerita dalam bahasa inggris, ada yang menyiapkan wayang yang akan digunakan serta peralatan lain yang mendukung. Masih ada beberapa hari buat kami untuk menulis dan menghapal transkripsi skenario yang kami adaptasi dari berbagai sumber melalui intenet. Pembagian lakon: semua orang menjadi dalang (pupetteer), narator yang membawakan cerita dilengkapi dengan kepyak tatakan tutup gelas, ada yang menjalankan Seri Rama, Shinta, Rahwana, dan Anoman serta Jatayu. Karena keterbatasan perangkat serta waktu (panitia hanya memberikan waktu 30 menit saja sejak persiapan sampai selesai), maka versi kisah Ramayana yang kami bawakan merupakan versi sangat singkat. Sayang file transkripsi skenario cerita tersebut tidak dapat saya temukan saat ini.

Kami tiba di Science Center sebelum jatah kami "main". Kami melihat-lihat dahulu berbagai stan yang ada di sana. Pada hari-hari biasa, Science Center digunakan untuk tempat berkunjung para siswa sekolah untuk melakukan berbagai eksperimen dan demonstrasi iptek. Mirip Pusat Peragaan Iptek yang ada di TMII lah. Namun pada tahun baru kali ini, terdapat beberapa panggung pertunjukan yang diisi oleh berbagai negara. Kami lihat pula ada permainan boneka tali dari Eropa. Melihat kepiawaian para puppeteernya memainkan boneka tali menggunakan tangan mereka, kami agak keder juga. Tentu saja kami tidak selanyah mereka dalam memainkan wayang, apalagi kami hanya sempat berlatih beberapa hari saja di sela-sela kuliah dan riset yang tetap harus kami laksanakan. Pada saat itu pengunjung belum banyak yang datang. Karena jatah waktu kami telah hampir tiba, kami pun menuju panggung yang disediakan untuk pertunjukkan wayang kulit dan menyiapkan semua peralatan. Panggung berupa kain besar yang menutupi sebuah meja besar, tempat kami bersembunyi agar tidak terlihat oleh penonton. Di kursi penonton terlihat hanya ada beberapa orang dengan anak-anaknya. Karena kebiasaan jam karet tidak berlaku di sana, maka pada saat yang tepat (sharp) kami memulai pertunjukkan. Lampu ruangan dipadamkan, hanya lampu panggung yang menyala. Dimulai dengan musik gamelan dan narasi yang menceritakan montase di panggung saat itu, muncul Seri Rama (lucunya wayang yang kami gunakan adalah Prabu Kresna, karena kami tidak memiliki wayang Seri Rama :-) dan Shinta (lagi-lagi, yang dimunculkan adalah Srikandi; kan jauh amat penampakannya :-). Tetapi tak mengapa, toh tidak ada yang mengetahuinya, he.he..he... Pertunjukkan berjalan dengan mulus, tanpa gangguan suatu apapun. Tidak ada penonton yang bersuara sedikitpun, hanya musik gamelan, kepyak yang dimainkan pada saat terjadi pertarungan sengit antara Rahwana dengan Anoman dan Seri Rama, serta suara para dalang. Cerita berakhir dan lampu ruangan menyala. Tiba-tiba kami mendengar tepuk tangan riuh rendah ramai sekali. Kami pun memunculkan kepala dari balik meja dan terkejut: ternyata ruangan penuh dengan penonton, tidak ada satupun kursi yang tersisa, bahkan banyak penonton yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Melihat kami muncul, penonton pada berdiri sambil terus bertepuktangan. Kami pun tersenyum menanggapi applause mereka. Beberapa orang mendatangi kami untuk berfoto dengan para dalang dan wayangnya serta menanyakan berbagai hal berkenaan dengan pewayangan. Lumayan jadi selebritis temporer, he..he..he.. Kami pun melayaninya dan kemudian mengukuti peralatan kami dan bersiap-siap menuju tepi sungai Saint John River untuk melihat parade kapal dan firework dalam rangka merayakan tahun baru bersama seluruh penduduk kota Fredericton tercinta.

{new year 2000 @ fredericton}

see other Culture Shocks

Saturday, February 10, 2007

Garage Sale

Setiap musim panas (summer), kami punya acara rutin: berjalan-jalan ke seluruh penjuru Fredericton, berburu barang-barang murah. Ada pesta diskon kah? Tidak, sebab biasanya di musim panas, banyak keluarga yang mengadakan garage sale, atau sering disebut juga sebagai yard sale, carport sale, patio sale, porch sale, atau Garage-a-Rama. Garage sale adalah jualan yang dilakukan oleh satu keluarga atau beberapa keluarga yang bertetangga, yang dilaksanakan - sesuai dengan namanya - di garasi, halaman, carport, emper rumah, serambi, atau lokasi lain di luar rumah mereka. Ini adalah kesempatan bagi keluarga tersebut untuk 'membuang' barang-barang tua, barang yang tidak digunakan lagi, barang yang jumlahnya lebih dari satu, atau barang-barang lain. Alih-alih membuangnya, mereka menjualnya kepada orang lain, karena ini adalah kesempatan bagi kita untuk memperoleh barang-barang murah, barang yang tidak dijual lagi di toko, barang-barang untuk hobi (memancing, menembak, berkebun), barang-barang kuno, barang dapat-koleksi (collectible, misalnya perangko, botol), memorabilia (kaset beatles, kartu NBA), mainan (boneka barbie, dinosaurus), dll. Bahkan laptop pun dijual di situ (lihat gambar). Percayalah: one's trash is other people's treasure, sometime :-P. Selalu saja ada yang membeli barang-barang yang tidak kita perlukan lagi. Daripada disimpan saja, menuh-menuhin gudang, lebih baik dijual ke orang yang mau memeliharanya atau menggunakannya.

Biasanya, garage sale dilaksanakan pada hari Jumat sore atau Sabtu; hari Minggu kayaknya agak jarang. Oleh karena itu, setiap Kamis biasanya kami pasang mata, melihat pengumuman yang ditempel di tiang listrik, di pohon, atau di papan pengumuman; terkadang ada juga iklan di koran lokal yang memuat informasi tentang adanya garage sale di akhir minggu itu. Jika ada info garage sale, maka langsung berita itu disebarkan ke seantero teman-teman, sambil janjian untuk pergi bersama-sama saat weekend nanti. Pada musim panas, hampir setiap minggu ada saja yang mengadakan yard sale, bahkan lebih dari satu tempat. Jika informasinya jelas, maka kami merencanakan dahulu route yang akan ditempuh untuk memperoleh jarak tempuh yang paling optimal. Seperti menerapkan pencarian route untuk travelling salesman problem lah. Namun sering juga kami temui yard sale dadakan atau yang dilakukan tanpa pengumuman. Kadang saya meminjam sepeda teman untuk berkeliling melihat secara sekilas lokasi-lokasi yard sale sebelum kami mengunjunginya dengan berjalan kaki. Karena tujuan utamanya adalah berjalan-jalan, bukan semata-mata mencari sesuatu yang diperlukan - wah kayak tidak ada hiburan lain aja ya - maka seringkali seusai berkeliling hunting garage sale dan menempuh jarak bermil-mil (he..he..he..) beberapa dari kami pulang dengan tangan kosong. Namun tidak jarang kami membawa pulang banyak sekali barang kalau pas ada yang cocok. Saya pernah membeli buku teks untuk kuliah mikroprosesor, masih lumayan baru, saya peroleh dengan harga hanya 2 CAD (masih lebih murah dari harga sebiji burger McDonald); sampai tahun lalu masih saya gunakannya untuk mengajar di UGM. Di kali lain saya pernah memborong setumpuk buku ensiklopedi bergambar untuk anak-anak. Ada sekitar 20 seri, totalnya saya beli dengan harga cuman 0.99 CAD !!! Bayangkan, ketika saya tumpuk, tingginya mencapai lebih dari setengah meter. Wah, ini sih si penjual cuman ingin get a rid of buku tersebut. Tadinya rencana saya mau saya bawa ke Jogja saat pulang nanti. Namun, ketika ditimbang-timbang, buku-buku tersebut sangat tebal dan berat, sehingga ongkos untuk membawanya bisa jauh lebih mahal daripada harga belinya. Akhirnya buku tersebut saya sumbangkan ke ruang baca di playing room untuk anak-anak di lantai dasar Magee House. Lumayan juga, jadi ada gunanya capek-capek menggotongi setumpuk buku tersebut dari lokasi garage sale ke apartemen kami.

Membeli barang di garage sale bukanlah satu-satunya jalan untuk memperoleh barang murah. Cara lain telah saya sampaikan pada cerita terdahulu, yaitu saat ada pembagian pakaian gratis dalam program Host Family setiap menjelang musim dingin. Namun sering juga kita bisa memperoleh barang murah pada saat ada teman yang telah menyelesaikan kuliah di sini dan hendak pulang ke Indonesia. Barang-barang yang dimilikinya diobral ke teman-teman dengan harga yang sangat miring, karena memang tidak mungkin untuk membawanya ke Indonesia. Apabila barang tersebut dibelinya dari teman sebelumnya yang hendak pulang juga, maka harga barang tersebut makin lama akan makin turun hingga sudah mencapai posisi di mana barang tersebut akhirnya tidak memilik harga (bukan tidak berharga lho) sama sekali, dan akhirnya diberikan secara cuma-cuma. Nah khusus untuk barang yang diperoleh secara cuma-cuma, etikanya adalah ketika kita hendak pulang dan tidak berniat membawanya ke Indonesia, maka barang tersebut harus dihibahkan ke teman lain tanpa memungut bayaran. Jadi kita tidak boleh menjual barang warisan turun-temurun dari para pendahulu kita. Begitu ceritanya :-)

{summer @ fredericton}

see other Culture Shocks