Saturday, February 17, 2007

Ramayana

Saya, dan juga banyak orang lain yang bepergian ke luar negeri, dalam hal yang berkaitan dengan budaya, memiliki 2 keinginan. Pertama, ingin mengenal kebudayaan masyarakat di tempat yang saya kunjungi. Mengenal seluk beluk keunikan tradisi dan adat istiadat, terutama yang menimbulkan kejutan budaya (culture shock) yang menarik bagi saya, karena berbeda dengan pengalaman sehari-hari yang biasa saya alami di tempat asal. Kedua, ingin mengenalkan budaya dan adat istiadat kita sendiri pada masyarakat di tempat yang kita kunjungi. Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman yang berhubungan dengan keinginan kedua di atas.

Ruang tamu apartemen kami dihiasi dengan benda-benda yang mengIndonesia. Ada bendera merah putih besar yang terpasang di dinding, keris dan senjata tradisional lain, lukisan batik, miniatur perahu pinisi, model candi borobudur, dan lain-lain (seingat saya ada juga Garuda Pancasila di sana). Terpajang pula beberapa wayang golek dan wayang kulit, di antaranya adalah Srikandi, Rahwana, dan Prabu Kresna. Benda-benda yang asli dibawa dari Indonesia tersebut sering kami bawa keluar untuk dipamerkan di beberapa acara yang diadakan oleh International Student Association. Biasanya kami juga menyetel musik-musik tradisional Indonesia di acara tersebut, misalnya degung Sunda dan gamelan Jawa atau Bali. Apabila masih kurang, biasanya kami mengontak kedutaan besar di Ottawa untuk mengirim benda-benda tradisional untuk keperluan pameran.

Suatu kali, kami diundang untuk mengisi acara pada Open House yang diadakan oleh Science East Association di Science Center (yang tadinya adalah penjara York County Jail yang didirikan pada tahun 1842). Pada saat itu, acara yang diadakan untuk pertama kali setelah Science Center dibuka pada Agustus 1999 itu bertepatan dengan pergantian milenium yaitu pada malam tahun baru 2000 (banyak yang mengatakan bahwa pergantian milenium sebenarnya baru terjadi pada tahun berikutnya, yaitu tahun baru 2001, karena tahun masehi dimulai dari tahun 1, bukan tahun 0. By the way, kedua-duanya mungkin tidak benar, mengingat kalender masehi pernah melompat dari Julian Calendar pada hari Kamis tanggal 4 Oktober 1582 menjadi hari Jumat tanggal 15 Oktober 1582 dari Gregorian Calendar pada hari berikutnya). Setelah berunding, kami memilih untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit dengan mengambil cerita Ramayana. Segera kami berbagi tugas, ada yang menyiapkan cerita dalam bahasa inggris, ada yang menyiapkan wayang yang akan digunakan serta peralatan lain yang mendukung. Masih ada beberapa hari buat kami untuk menulis dan menghapal transkripsi skenario yang kami adaptasi dari berbagai sumber melalui intenet. Pembagian lakon: semua orang menjadi dalang (pupetteer), narator yang membawakan cerita dilengkapi dengan kepyak tatakan tutup gelas, ada yang menjalankan Seri Rama, Shinta, Rahwana, dan Anoman serta Jatayu. Karena keterbatasan perangkat serta waktu (panitia hanya memberikan waktu 30 menit saja sejak persiapan sampai selesai), maka versi kisah Ramayana yang kami bawakan merupakan versi sangat singkat. Sayang file transkripsi skenario cerita tersebut tidak dapat saya temukan saat ini.

Kami tiba di Science Center sebelum jatah kami "main". Kami melihat-lihat dahulu berbagai stan yang ada di sana. Pada hari-hari biasa, Science Center digunakan untuk tempat berkunjung para siswa sekolah untuk melakukan berbagai eksperimen dan demonstrasi iptek. Mirip Pusat Peragaan Iptek yang ada di TMII lah. Namun pada tahun baru kali ini, terdapat beberapa panggung pertunjukan yang diisi oleh berbagai negara. Kami lihat pula ada permainan boneka tali dari Eropa. Melihat kepiawaian para puppeteernya memainkan boneka tali menggunakan tangan mereka, kami agak keder juga. Tentu saja kami tidak selanyah mereka dalam memainkan wayang, apalagi kami hanya sempat berlatih beberapa hari saja di sela-sela kuliah dan riset yang tetap harus kami laksanakan. Pada saat itu pengunjung belum banyak yang datang. Karena jatah waktu kami telah hampir tiba, kami pun menuju panggung yang disediakan untuk pertunjukkan wayang kulit dan menyiapkan semua peralatan. Panggung berupa kain besar yang menutupi sebuah meja besar, tempat kami bersembunyi agar tidak terlihat oleh penonton. Di kursi penonton terlihat hanya ada beberapa orang dengan anak-anaknya. Karena kebiasaan jam karet tidak berlaku di sana, maka pada saat yang tepat (sharp) kami memulai pertunjukkan. Lampu ruangan dipadamkan, hanya lampu panggung yang menyala. Dimulai dengan musik gamelan dan narasi yang menceritakan montase di panggung saat itu, muncul Seri Rama (lucunya wayang yang kami gunakan adalah Prabu Kresna, karena kami tidak memiliki wayang Seri Rama :-) dan Shinta (lagi-lagi, yang dimunculkan adalah Srikandi; kan jauh amat penampakannya :-). Tetapi tak mengapa, toh tidak ada yang mengetahuinya, he.he..he... Pertunjukkan berjalan dengan mulus, tanpa gangguan suatu apapun. Tidak ada penonton yang bersuara sedikitpun, hanya musik gamelan, kepyak yang dimainkan pada saat terjadi pertarungan sengit antara Rahwana dengan Anoman dan Seri Rama, serta suara para dalang. Cerita berakhir dan lampu ruangan menyala. Tiba-tiba kami mendengar tepuk tangan riuh rendah ramai sekali. Kami pun memunculkan kepala dari balik meja dan terkejut: ternyata ruangan penuh dengan penonton, tidak ada satupun kursi yang tersisa, bahkan banyak penonton yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Melihat kami muncul, penonton pada berdiri sambil terus bertepuktangan. Kami pun tersenyum menanggapi applause mereka. Beberapa orang mendatangi kami untuk berfoto dengan para dalang dan wayangnya serta menanyakan berbagai hal berkenaan dengan pewayangan. Lumayan jadi selebritis temporer, he..he..he.. Kami pun melayaninya dan kemudian mengukuti peralatan kami dan bersiap-siap menuju tepi sungai Saint John River untuk melihat parade kapal dan firework dalam rangka merayakan tahun baru bersama seluruh penduduk kota Fredericton tercinta.

{new year 2000 @ fredericton}

see other Culture Shocks

1 comment:

Anonymous said...

Jadi inget..
kemarin kami makan di toko Semarang di Groningen. Yang punya orang Jawa-Batak.
Disana terpasang kipas batik besar, yang mudah banget ditemui di malioboro.
Saya dan teman saya bisik2.
Coba, ini kita pasang di rumah, rasanya norak ya, murah pula. Dipasang disini dengan lighting keren kok jadi bagus ya...
Jangan2 sebenernya kalau kita pasang di Indonesia bagus juga ya...
Hahahaha.. memang kalau jauh, Indonesia tampak lebih indah