Tuesday, September 09, 2008

Awas Pencurian

Di UTP ini banyak terdapat mahasiswa asing, saya termasuk di antaranya :p, karena katanya untuk meningkatkan ranking agar bisa masuk ke jajaran World Research University. Mereka berasal dari berbagai negara, antara lain Indonesia, Vietnam, Thailand, Timor Timur, Pakistan, Iran, Irak, Yaman, Mesir, Sudan, Ethiopia, Afrika Selatan, Gambia, Mali, Libia, Arab Saudi, dan Turkmenistan. Mahasiswa Indonesia dari segi jumlah termasuk dalam 3 besar, selain Pakistan dan Sudan. Hampir 90% mahasiswa asing tersebut tinggal di dalam kampus (in campus housing) yang disebut Student Village atau Desasiswa. Ada 6 desasiswa di UTP, saya tinggal di Village 5, hostel V5C. Di village yang memiliki 10 hostel/apartemen ini, setiap hostel memiliki 5 lantai. Masing-masing lantai terdapat 4 house. Masing-masing house terdiri atas 6 bilik, 4 kamar mandi dan wc, serta dapur. Setiap bilik diisi 2 mahasiswa. Di house saya terdapat 6 pelajar Indonesia (5 dari UGM) serta 5 orang dari 2 negara asing (tidak saya sebut asal negaranya karena suatu alasan yang akan anda ketahui selanjutnya).

Tinggal serumah dengan orang asing merupakan pengalaman yang unik. Saya juga pernah mengalami sebelumnya ketika tinggal di Kanada dengan tetangga dari Korea dan orang lokal Kanada. Basically, kami tidak terlalu dekat dengan osmet (housemate, demikian orang sini menyebutnya karena suka menyingkat istilah) asing tersebut. Sekedar kenal, tanya kabar secukupnya, mengucapkan salam, dan that's all. Perbedaan budaya menyebabkan tidak cairnya hubungan kami tersebut, terlebih saya tidak merasa kesepian karena tinggal dengan 5 orang sebangsa dan 10 orang Indonesia lainnya di rumah sebelah. Namun, ada alasan lain yang membuat saya malas berdekat-dekatan dengan mereka. Satu osmet kami itu berasal dari negara yang penduduknya berbahasa Arab selain bahasa mereka sendiri dan bahasa Inggris. Mereka sering menjadi imam di surau dekat hostel kami. Namun 4 osmet lainnya yang berasal dari negara lain yang terkenal dengan musik dan tariannya (tidak terlalu terkenal ding, negara tetangganya yang terkenal seperti itu sebenarnya, tapi mereka menyukai musik dan tarian negara tetangga tersebut), ini yang menjadi masalah.

Masalah pertama adalah irama hidup mereka yang berbeda dengan kebanyakan teman-teman dari Indonesia. Meskipun secara umum, di manapun yang namanya mahasiswa sebagian besar adalah binatang malam, namun yang memasak setelah lewat tengah malam baru kali ini saya temui. Parahnya, mereka juga nyetel musik dengan sepol-polnya saat itu. Ya, di tengah malam itu!!! Konon seorang teman dari UGM pernah melabrak mereka, hingga melibatkan fellow atau ketua RT village kami. Untung tidak terjadi kontak fisik, karena risikonya di sini adalah pemecatan dari status mahasiswa. Resolusi terjadi, mereka tidak lagi nyetel musik keras-keras di tengah malam. Tapi ya itu. Setelah beberapa saat, hingar-bingar kembali muncul. Saya kadang kasihan melihat mereka kalau ngomong harus saling berteriak meski pada jarak berdekatan. Iya, kasihan mungkin memang telinga mereka sudah tidak peka lagi untuk suara yang lembut.

OK, itu masalah pertama. Masalah kedua lebih parah lagi. Saya tidak tahu apakah ini memang sifat mereka atau budaya mereka, karena ini terjadi berulang kali meskipun pelakunya berganti-ganti. Kejadian pertama yang saya alami adalah, untuk persiapan puasa Ramadhan, saya bela-belain jauh-jauh ke kota (kota? iyaaa, saya di hutan niii :p ) untuk membeli kompor listrik sehingga dapat digunakan untuk memasak sekadarnya kalau lagi malas keluar untuk membeli makan buat buka atau sahur di kantin. Suatu sore, kompor tersebut tidak ada di dapur, padahal baru saya pakai sekali. Tadinya saya menduga kompor itu disita oleh mak cik pembersih hostel karena sebelumnya beredar isu akan ada penyitaan barang2 elektronik tidak terdaftar di hostel sebab sebetulnya tidak boleh memasak sendiri di dalam hostel (tapi aneh, kalau begitu kenapa disediakan dapur? he..he.. memang sih kalau di village lain hanya tersedia ruang pantry yang kecil untuk setiap house. BTW, kalau tidak boleh memasak ya sediakan menu-menu makanan yang lezat di kantin dong, mosok masakannya cuman kayak gitu-gitu aja, ha..ha..ha..). Malam itu kebetulan saya bertemu dengan fellow hostel kami dalam suatu acara klub robot, jadi saya laporkanlah kehilangan kompor saya itu. Dia malah bilang: seharusnya pintu rumahmu dikunci, kan masing-masing kunci kamar bisa digunakan untuk mengunci pintu rumah. Wah, iya po? Tapi ternyata tidak bisa ketika saya coba. Kemudian lewat tengah malam, saya masih di acara tersebut, ditelpon teman saya yang mengatakan bahwa tetangga kami barusan mengembalikan kompor saya dengan alasan: tidak tahu bahwa itu kompor saya, mereka mengira kompor itu milik teman mereka. Haaaaa? Aneh banget alasannya. BTW, gpp sih, yang penting kompor saya kembali, meski sudah jadi lebih kotor karena tahu sendiri masakan mereka bentuknya seperti apa. Oh ya, kompor ini model yang langsung ada wajan/pancinya di atasnya.

Itu kejadian pertama. Belakangan saya sering kehilangan barang: es krim 3 warna di freezer yang barusan saya beli di pasar malam tiba-tiba hilang 1 warna, sendal saya sering berpindah tempat dari depan bilik saya ke depan bilik tetangga tersebut, apel, pepaya, sampo, pisau dapur, sendok, dsb. Paling mangkel ketika sabun cuci hilang, dan ketika saya membuka-buka lemari dapur tempat mereka menyimpan bahan, di situlah terdapat sabun cuci saya yang sengaja sudah saya beri tanda. Saya sebetulnya tidak terlalu keberatan kalau mereka minta sabun tersebut, ingat minta izin dulu lho. Tapi yang ini, sudah tidak minta izin, malahan menyimpannya sehingga yang punya tidak bisa menggunakannya. Kebangeten deh. Seorang teman yang saya curhati masalah ini mengatakan: jangan menuduh dulu kalau tidak ada bukti, maksudnya belum tentu mereka yang melakukannya. Lha itu kan buktinya sudah ada. Ketahuan yang kedua suatu kali saya mau mandi dan sabun mandi cair saya lenyap dari tempatnya di kamar mandi, biasanya sih tetap di situ tapi dengan isi yang berkurang. Karena saat itu 1 kamar mandi masih occupied, dari handuknya sih kelihatannya si tetangga itu yang sedang mandi. Jadi saya tunggu saja di situ. Ketika dia selesai mandi, membuka pintu, terlihatlah sabun mandi saya (sudah saya beri nama di wadahnya) habis dipakainya. Maka jelas-jelas terbukti. Sayangnya saya bukan model orang yang suka rame-rame, jadi saya biarkan saja, tapi saya sudah yakin sekarang bahwa saya tidak sembarang menuduh.

Kadang sih saya tidak sabar pula sehingga saya berteriak: "Maliiing. Awas ada maling" di dalam rumah ke arah bilik mereka ketika ada barang saya yang hilang lagi. Teman-teman Indonesia yang mendengarnya tertawa kecut. He..he..he.. Kata salah satu teman saya: "Salah kamu sendiri. Sudah tahu punya tetangga yang suka ngambil milik orang lain kok menaruh barang di luar." Lho, kok saya yang disalahkan. Aneh bin ajaib deh. Memang sekarang saya menyimpan barang di dalam bilik, tetapi selalu ada saja yang tertinggal di luar dan terambil lagi oleh mereka. Nasib... nasib... Meskipun penghuni kamar tetangga itu sudah ganti-ganti, tetapi gantinya selalu dari negara mereka, dan kejadian tersebut berulang kembali. Bukannya mau menyatakan suatu stereotipe, tapi barangkali memang mereka itu punya "rasa memiliki" yang tinggi. Ha..ha..ha...

-Malaysia, 2008-

Monday, March 05, 2007

Pengumuman



{2006/2007 @ malaysia}

see other Culture Shocks

Monday, February 19, 2007

Lion Dance

Long weekend kali ini, bertepatan dengan cuti (liburan) tahun baru cina, saya gunakan untuk pergi berkunjung ke rumah adik yang ada di Singapura. Tak ada yang terlalu menarik dalam perjalanan 12 jam dari Perak ke Singapura, kecuali ketika bersama 2 turis dari Swedia diburu-buru oleh pemandu bas untuk segera lari ke kantor imigrasi di kedua ujung Johor Causeway, jembatan yang menghubungkan semenanjung Malaysia dengan Singapura sejak tahun 1920. Dari terminal bas Lavender saya naik kereta listrik SMRT (Singapore Mass Rapid Transit) ke kota Sembawang. Singapura memang terbagi atas kota-kota (town) yang masing-masing diwakili oleh anggota parlemen (MP).

Meski bertepatan dengan tahun baru cina, kepergian ke sini tidak saya khususkan untuk merayakannya. Meskipun begitu pada malam itu, dari lantai 14 apartemen adik saya, di kejauhan terlihat firework yang diluncurkan dari Johor Bahru di Malaysia. Kembang api memang merupakan salah satu elemen yang selalu digunakan untuk merayakan tahun baru cina, selain barongsai atau lion dance. Menurut legenda tiongkok kuno, ada seekor monster yang berleher panjang dan bertanduk tajam yang tinggal di kedalaman laut. Pada setiap tahun baru cina, Nian, nama monster tersebut, muncul ke daratan untuk makan ternak milik penduduk desa, merusak desa, serta menculik anak-anak. Penduduk desa bersembunyi di gunung untuk menghindari Nian. Suatu saat, seorang tua berambut putih datang ke desa dan menolak untuk bersembunyi di gunung. Ketika Nian muncul, tiba-tiba monster tersebut dihadapkan pada kembang api yang berluncuran serta lampion yang menyala-nyala, diiringi dengan suara riuh dan bendera merah yang berkelebatan, hingga dia ketakutan dan pergi. Itulah sebabnya, pada setiap perayaan tahun baru cina selalu ada bendera merah, lampion, serta kembang api, dan barongsai atau singa yang menyimbulkan Nian. Juga jangan lupa: suara riuh rendah atau mbrebegi untuk mengusirnya.

Urusan mbrebegi atau suara bising yang menulikan telinga ini menarik juga. Pagi hari selepas tahun berganti, suara bising drum serta tamborin dengan irama yang berulang-ulang terdengar di building apartemen sebelah. Ada suaranya tapi tak ada terlihat bentuknya, begitulah kiranya. Dalam satu sesi bising berlangsung sekitar 20 menit. Saat itu, dalam sehari kurang lebih terdengar belasan kali dari berpindah dari satu lantai ke lantai lain, dari satu building ke building lain. Suatu kali terlihat oleh kami, ternyata itu adalah suara sekelompok pemuda yang memainkan Lion Dance. 2 barongsai dimainkan oleh 4 orang pemain terlihat menari-nari di dalam ruang apartemen, diiringi beberapa pemain musik dengan seragam kaos dan celana warna merah yang memukul-mukul drum besar serta tamborin dan gong kecil di koridor dengan irama naik-turun, cepat lambat, keras-lembut berulang-ulang mengikuti irama gerakan tarian si singa (atau sebaliknya ya, tarian singa itu yang mengikuti irama musik bising tadi). Bising? Ya. Beberapa tetangga lain lantai terlihat keluar dari apartemen dengan muka bersungut-sungut dan bingung mencari sumber suara itu. Rupanya sekelompok pemuda tadi sedang mengamen dari 1 apartemen ke apartemen lain, karena selepas memainkan 1 sesi tarian singa tersebut, si tuan rumah terlihat memberikan angpao kepada salah satu pemuda itu. Anda berminat untuk memanggilnya?

Apa lagi yang menarik di Singapura? Kota yang bersih, tertib, dan aman. Demikian pendapat hampir semua teman yang pernah berkunjung ke sana. Semua itu karena peraturan benar-benar ditegakkan di sana. Di setiap penjuru kota terdapat papan larangan untuk membuang sampah, meludah, makan, minum, merokok, buang air, dan sebagainya; tentunya di sertai dengan ancaman denda yang cukup tinggi apabila kita melanggarnya. Itulah sebabnya Singapura secara plesetan disebut sebagai Fine City (kota denda) :-p. Terus siapa yang menegakkan peraturan tersebut? Polisi tentu saja. Tapi selama di sana saya tidak pernah melihat seorang polisipun di tempat-tempat umum. Namun di seluruh penjuru kota terpasang kamera banyak sekali. ... to be continued ...

{2007 @ singapore}

see other Culture Shocks

Saturday, February 17, 2007

Ramayana

Saya, dan juga banyak orang lain yang bepergian ke luar negeri, dalam hal yang berkaitan dengan budaya, memiliki 2 keinginan. Pertama, ingin mengenal kebudayaan masyarakat di tempat yang saya kunjungi. Mengenal seluk beluk keunikan tradisi dan adat istiadat, terutama yang menimbulkan kejutan budaya (culture shock) yang menarik bagi saya, karena berbeda dengan pengalaman sehari-hari yang biasa saya alami di tempat asal. Kedua, ingin mengenalkan budaya dan adat istiadat kita sendiri pada masyarakat di tempat yang kita kunjungi. Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman yang berhubungan dengan keinginan kedua di atas.

Ruang tamu apartemen kami dihiasi dengan benda-benda yang mengIndonesia. Ada bendera merah putih besar yang terpasang di dinding, keris dan senjata tradisional lain, lukisan batik, miniatur perahu pinisi, model candi borobudur, dan lain-lain (seingat saya ada juga Garuda Pancasila di sana). Terpajang pula beberapa wayang golek dan wayang kulit, di antaranya adalah Srikandi, Rahwana, dan Prabu Kresna. Benda-benda yang asli dibawa dari Indonesia tersebut sering kami bawa keluar untuk dipamerkan di beberapa acara yang diadakan oleh International Student Association. Biasanya kami juga menyetel musik-musik tradisional Indonesia di acara tersebut, misalnya degung Sunda dan gamelan Jawa atau Bali. Apabila masih kurang, biasanya kami mengontak kedutaan besar di Ottawa untuk mengirim benda-benda tradisional untuk keperluan pameran.

Suatu kali, kami diundang untuk mengisi acara pada Open House yang diadakan oleh Science East Association di Science Center (yang tadinya adalah penjara York County Jail yang didirikan pada tahun 1842). Pada saat itu, acara yang diadakan untuk pertama kali setelah Science Center dibuka pada Agustus 1999 itu bertepatan dengan pergantian milenium yaitu pada malam tahun baru 2000 (banyak yang mengatakan bahwa pergantian milenium sebenarnya baru terjadi pada tahun berikutnya, yaitu tahun baru 2001, karena tahun masehi dimulai dari tahun 1, bukan tahun 0. By the way, kedua-duanya mungkin tidak benar, mengingat kalender masehi pernah melompat dari Julian Calendar pada hari Kamis tanggal 4 Oktober 1582 menjadi hari Jumat tanggal 15 Oktober 1582 dari Gregorian Calendar pada hari berikutnya). Setelah berunding, kami memilih untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit dengan mengambil cerita Ramayana. Segera kami berbagi tugas, ada yang menyiapkan cerita dalam bahasa inggris, ada yang menyiapkan wayang yang akan digunakan serta peralatan lain yang mendukung. Masih ada beberapa hari buat kami untuk menulis dan menghapal transkripsi skenario yang kami adaptasi dari berbagai sumber melalui intenet. Pembagian lakon: semua orang menjadi dalang (pupetteer), narator yang membawakan cerita dilengkapi dengan kepyak tatakan tutup gelas, ada yang menjalankan Seri Rama, Shinta, Rahwana, dan Anoman serta Jatayu. Karena keterbatasan perangkat serta waktu (panitia hanya memberikan waktu 30 menit saja sejak persiapan sampai selesai), maka versi kisah Ramayana yang kami bawakan merupakan versi sangat singkat. Sayang file transkripsi skenario cerita tersebut tidak dapat saya temukan saat ini.

Kami tiba di Science Center sebelum jatah kami "main". Kami melihat-lihat dahulu berbagai stan yang ada di sana. Pada hari-hari biasa, Science Center digunakan untuk tempat berkunjung para siswa sekolah untuk melakukan berbagai eksperimen dan demonstrasi iptek. Mirip Pusat Peragaan Iptek yang ada di TMII lah. Namun pada tahun baru kali ini, terdapat beberapa panggung pertunjukan yang diisi oleh berbagai negara. Kami lihat pula ada permainan boneka tali dari Eropa. Melihat kepiawaian para puppeteernya memainkan boneka tali menggunakan tangan mereka, kami agak keder juga. Tentu saja kami tidak selanyah mereka dalam memainkan wayang, apalagi kami hanya sempat berlatih beberapa hari saja di sela-sela kuliah dan riset yang tetap harus kami laksanakan. Pada saat itu pengunjung belum banyak yang datang. Karena jatah waktu kami telah hampir tiba, kami pun menuju panggung yang disediakan untuk pertunjukkan wayang kulit dan menyiapkan semua peralatan. Panggung berupa kain besar yang menutupi sebuah meja besar, tempat kami bersembunyi agar tidak terlihat oleh penonton. Di kursi penonton terlihat hanya ada beberapa orang dengan anak-anaknya. Karena kebiasaan jam karet tidak berlaku di sana, maka pada saat yang tepat (sharp) kami memulai pertunjukkan. Lampu ruangan dipadamkan, hanya lampu panggung yang menyala. Dimulai dengan musik gamelan dan narasi yang menceritakan montase di panggung saat itu, muncul Seri Rama (lucunya wayang yang kami gunakan adalah Prabu Kresna, karena kami tidak memiliki wayang Seri Rama :-) dan Shinta (lagi-lagi, yang dimunculkan adalah Srikandi; kan jauh amat penampakannya :-). Tetapi tak mengapa, toh tidak ada yang mengetahuinya, he.he..he... Pertunjukkan berjalan dengan mulus, tanpa gangguan suatu apapun. Tidak ada penonton yang bersuara sedikitpun, hanya musik gamelan, kepyak yang dimainkan pada saat terjadi pertarungan sengit antara Rahwana dengan Anoman dan Seri Rama, serta suara para dalang. Cerita berakhir dan lampu ruangan menyala. Tiba-tiba kami mendengar tepuk tangan riuh rendah ramai sekali. Kami pun memunculkan kepala dari balik meja dan terkejut: ternyata ruangan penuh dengan penonton, tidak ada satupun kursi yang tersisa, bahkan banyak penonton yang berdiri karena tidak kebagian kursi. Melihat kami muncul, penonton pada berdiri sambil terus bertepuktangan. Kami pun tersenyum menanggapi applause mereka. Beberapa orang mendatangi kami untuk berfoto dengan para dalang dan wayangnya serta menanyakan berbagai hal berkenaan dengan pewayangan. Lumayan jadi selebritis temporer, he..he..he.. Kami pun melayaninya dan kemudian mengukuti peralatan kami dan bersiap-siap menuju tepi sungai Saint John River untuk melihat parade kapal dan firework dalam rangka merayakan tahun baru bersama seluruh penduduk kota Fredericton tercinta.

{new year 2000 @ fredericton}

see other Culture Shocks

Saturday, February 10, 2007

Garage Sale

Setiap musim panas (summer), kami punya acara rutin: berjalan-jalan ke seluruh penjuru Fredericton, berburu barang-barang murah. Ada pesta diskon kah? Tidak, sebab biasanya di musim panas, banyak keluarga yang mengadakan garage sale, atau sering disebut juga sebagai yard sale, carport sale, patio sale, porch sale, atau Garage-a-Rama. Garage sale adalah jualan yang dilakukan oleh satu keluarga atau beberapa keluarga yang bertetangga, yang dilaksanakan - sesuai dengan namanya - di garasi, halaman, carport, emper rumah, serambi, atau lokasi lain di luar rumah mereka. Ini adalah kesempatan bagi keluarga tersebut untuk 'membuang' barang-barang tua, barang yang tidak digunakan lagi, barang yang jumlahnya lebih dari satu, atau barang-barang lain. Alih-alih membuangnya, mereka menjualnya kepada orang lain, karena ini adalah kesempatan bagi kita untuk memperoleh barang-barang murah, barang yang tidak dijual lagi di toko, barang-barang untuk hobi (memancing, menembak, berkebun), barang-barang kuno, barang dapat-koleksi (collectible, misalnya perangko, botol), memorabilia (kaset beatles, kartu NBA), mainan (boneka barbie, dinosaurus), dll. Bahkan laptop pun dijual di situ (lihat gambar). Percayalah: one's trash is other people's treasure, sometime :-P. Selalu saja ada yang membeli barang-barang yang tidak kita perlukan lagi. Daripada disimpan saja, menuh-menuhin gudang, lebih baik dijual ke orang yang mau memeliharanya atau menggunakannya.

Biasanya, garage sale dilaksanakan pada hari Jumat sore atau Sabtu; hari Minggu kayaknya agak jarang. Oleh karena itu, setiap Kamis biasanya kami pasang mata, melihat pengumuman yang ditempel di tiang listrik, di pohon, atau di papan pengumuman; terkadang ada juga iklan di koran lokal yang memuat informasi tentang adanya garage sale di akhir minggu itu. Jika ada info garage sale, maka langsung berita itu disebarkan ke seantero teman-teman, sambil janjian untuk pergi bersama-sama saat weekend nanti. Pada musim panas, hampir setiap minggu ada saja yang mengadakan yard sale, bahkan lebih dari satu tempat. Jika informasinya jelas, maka kami merencanakan dahulu route yang akan ditempuh untuk memperoleh jarak tempuh yang paling optimal. Seperti menerapkan pencarian route untuk travelling salesman problem lah. Namun sering juga kami temui yard sale dadakan atau yang dilakukan tanpa pengumuman. Kadang saya meminjam sepeda teman untuk berkeliling melihat secara sekilas lokasi-lokasi yard sale sebelum kami mengunjunginya dengan berjalan kaki. Karena tujuan utamanya adalah berjalan-jalan, bukan semata-mata mencari sesuatu yang diperlukan - wah kayak tidak ada hiburan lain aja ya - maka seringkali seusai berkeliling hunting garage sale dan menempuh jarak bermil-mil (he..he..he..) beberapa dari kami pulang dengan tangan kosong. Namun tidak jarang kami membawa pulang banyak sekali barang kalau pas ada yang cocok. Saya pernah membeli buku teks untuk kuliah mikroprosesor, masih lumayan baru, saya peroleh dengan harga hanya 2 CAD (masih lebih murah dari harga sebiji burger McDonald); sampai tahun lalu masih saya gunakannya untuk mengajar di UGM. Di kali lain saya pernah memborong setumpuk buku ensiklopedi bergambar untuk anak-anak. Ada sekitar 20 seri, totalnya saya beli dengan harga cuman 0.99 CAD !!! Bayangkan, ketika saya tumpuk, tingginya mencapai lebih dari setengah meter. Wah, ini sih si penjual cuman ingin get a rid of buku tersebut. Tadinya rencana saya mau saya bawa ke Jogja saat pulang nanti. Namun, ketika ditimbang-timbang, buku-buku tersebut sangat tebal dan berat, sehingga ongkos untuk membawanya bisa jauh lebih mahal daripada harga belinya. Akhirnya buku tersebut saya sumbangkan ke ruang baca di playing room untuk anak-anak di lantai dasar Magee House. Lumayan juga, jadi ada gunanya capek-capek menggotongi setumpuk buku tersebut dari lokasi garage sale ke apartemen kami.

Membeli barang di garage sale bukanlah satu-satunya jalan untuk memperoleh barang murah. Cara lain telah saya sampaikan pada cerita terdahulu, yaitu saat ada pembagian pakaian gratis dalam program Host Family setiap menjelang musim dingin. Namun sering juga kita bisa memperoleh barang murah pada saat ada teman yang telah menyelesaikan kuliah di sini dan hendak pulang ke Indonesia. Barang-barang yang dimilikinya diobral ke teman-teman dengan harga yang sangat miring, karena memang tidak mungkin untuk membawanya ke Indonesia. Apabila barang tersebut dibelinya dari teman sebelumnya yang hendak pulang juga, maka harga barang tersebut makin lama akan makin turun hingga sudah mencapai posisi di mana barang tersebut akhirnya tidak memilik harga (bukan tidak berharga lho) sama sekali, dan akhirnya diberikan secara cuma-cuma. Nah khusus untuk barang yang diperoleh secara cuma-cuma, etikanya adalah ketika kita hendak pulang dan tidak berniat membawanya ke Indonesia, maka barang tersebut harus dihibahkan ke teman lain tanpa memungut bayaran. Jadi kita tidak boleh menjual barang warisan turun-temurun dari para pendahulu kita. Begitu ceritanya :-)

{summer @ fredericton}

see other Culture Shocks

Tuesday, January 30, 2007

Salju Membeku

Bulan Oktober, udara di New Brunswick mulai dingin. Temperatur udara perlahan turun di musim gugur, seiring dengan berjatuhannya daun-daun pinus dan maple. Karena turunnya perlahan-lahan, saya tidak merasakan dingin pada suhu sekitar 10°C. Kami bahkan masih bisa memakai pakaian biasa atau tipis. Namun ketika suhu udara terus menurun mendekati 0°C di musim dingin, kami harus menggunakan baju yang berlapis-lapis. Mulai pakaian dalam, kemudian kaos lengan panjang dan celana panjang yang ketat di tubuh, baru pakaian luar. Itu pun masih ditambah lagi dengan jaket tebal berbulu, lengkap dengan kaus tangan dan topi woll. Kadang-kadang saya masih menggunakan syal juga. Pokoknya tubuh saya jadi kelihatan gemuk deh. Oh ya, topi yang dikenakan saya pilih yang ada siripnya untuk menutupi telinga. Di musim dingin, telinga adalah bagian tubuh yang paling mudah menjadi dingin. Bila, kita lupa menutupnya, ada kemungkinan daun telinga menjadi beku dan bisa patah jika tersenggol, ngeri ya. Tapi dinginnya udara menjadi terasa hangat di hati tatkala salju mulai turun. Terasa ada romantika tersendiri melihat salju melayang jatuh, dan memegang kelembutannya mencair di tangan. Bukan hanya saya yang baru pertama kali melihat salju. Anak-anak yang lahir dan dibesarkan di sanapun, sangat gembira dengan kedatangan salju yang putih. Sesudah salju telah sering turun, lapangan rumput di football court yang tadinya hijau berubah menjadi hamparan padang salju yang putih dan tebal. Setiap habis turun salju, banyak orang bermain di sana, tua maupun muda. Kita berluncuran menggunakan papan luncur turun dari lereng miring yang sekarang penuh dengan salju. Ketika sampai di bawah, berjungkir balik tertimbun tumpukan salju. Mereka saling berlemparan bola-bola salju yang ternyata terasa pedih ketika kena wajah. Beberapa anak menjatuhkan diri terlentang di atas salju dengan tangan membentang lebar ke samping, kemudian menggerak-gerakkan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Bekas yang terjadi membentuk gambaran malaikat salju (snow angel) yang sangat menarik.

Bermain dengan salju selalu menyenangkan; bagaimana dengan mandi salju? Teringat saat kecil kami suka berlarian di halaman saat hujan turun dengan derasnya. Anak kecil selalu suka bermandi hujan meski kadang mereka harus menghadapi risiko memperoleh omelan dari orang tuanya. Mandi salju juga terasa menyenangkan, saya sering keluar di waktu hujan salju sekedar berjalan-jalan di bawah jatuhan salju yang lembut dan hangat. Hangat? Ya, salju terasa hangat ketika menempel di tubuhku yang berbalutkan pakaian yang tebal. Nggak dingin? Yang dingin itu apabila suhu udara menurun tajam, angin bertiup kencang, dan menciptakan hujan es berbentuk batu. Dingin dan keras, pedih ketika menerpa wajah. Es batu bahkan sempat berukuran sebesar anak kucing, sehingga banyak atap rumah yang bocor tertimpa olehnya. Bayangkan apabila es tersebut menimpa kepala kita. Maka, ketika hujan salju ringan telah berubah menjadi badai salju (snow storm) dan es yang ganas, saya memilih untuk berdiam diri di dalam ruangan.

Salah satu channel di stasiun televisi Fundy Cable sepanjang hari menyiarkan ramalan cuaca, sehingga kota dapat mengetahui prakiraan cuaca hari itu, apakah akan terjadi badai salju atau tidak. Melihat weather channel ini is a must bagi kami setiap kali akan pergi ke luar apartemen selama musim dingin. Jika prakiraan cuaca menyatakan hari ini akan turun salju, maka riang gembiralah hati kami. Namun apabila kami mendengar berita akan datangnya badai salju, maka mungkin kami tetap akan bergembira :-P. Lho?? Soalnya, apabila badai salju yang terjadi sangat berat, maka sekolah-sekolah akan diliburkan, termasuk UNB. Pengumuman biasanya disampaikan melalui televisi atau radio lokal, sehingga kita tidak perlu berangkat ke kampus. Namun suatu kali, pernah pengumuman tentang ditutupnya kampus karena ada badai salju disampaikan oleh UNB President (rektor) ketika kami tengah berada di kelas mengikuti kuliah. Maka, dosennya segera membatalkan kuliah saat itu juga, meskipun kemudian kami hanya kongkow-kongkow di lobi Head Hall karena cuaca tidak memungkinkan bagi kami untuk pulang ke Magee House. Uniknya, rektor tidak pernah mengumumkan universitas tutup akibat badai salju sebanyak lebih dari 2 kali dalam setahun. Jadi, apabila sekolah telah diliburkan 2 kali, meski badai salju sangat hebat, rektor tidak menyatakan universitas ditutup. Jadi, bagi mereka yang telah terlanjur berada di kampus, kuliah tetap diadakan; namun bagi yang masih di rumah, mereka akan dimaklumi apabila tidak berangkat ke kampus :-)

Berkendaraan di jalan dalam cuaca buruk akibat badai salju memang berbahaya. Apabila salju yang menutupi seluruh ruas jalan telah membeku menjadi es, maka akan sering terjadi kecelakaan akibat pengendara tidak dapat mengemudikan mobilnya dengan baik. Di depan Head Hall saja, saat itu kami menemui beberapa mobil bertubrukan secara berurutan akibat tergelincir lapisan es dan salju yang tebal. Untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terpeleset di atas salju, pada musim dingin, ban mobil dilapisi dengan rantai besi di sekelilingnya. Sedangkan untuk mengurangi lapisan es di jalan-jalan, pemerintah daerah mengirimkan truk yang membawa garam untuk ditebarkan di sepanjang jalan utama di Fredericton. Tapi tetap saja, apabila sedang turun salju yang lebat atau banyak lapisan es di jalan, saran saya, jangan mengendarai mobil jika tidak ada keperluan yang sangat penting. Terus, bagaimana jika berjalan kaki saja?

Berjalan di atas salju yang tebal, bagi saya sih sangat menyenangkan. Menggunakan sepatu boot yang bagian bawahnya bertekstur tajam sehingga dapat mencengkeram pijakan dengan kuat. Walaupun begitu, pasanglah mata jika berjalan di atas salju. Siapa tahu di bawahnya terdapat lapisan es akibat salju yang mengeras atau air yang membeku, misalnya kolam, sungai atau genangan air. Seorang teman mengajarkan kami untuk berhati-hati melangkah supaya tidak jatuh, namun ketika mencontohkan cara berjalan yang benar, dia sendiri terpelanting jatuh akibat terpeleset lapisan es :-P. Berjalan kaki di tengah badai salju juga berbahaya. Saya pernah mengalaminya sekali, saat pulang dari belanja di Regent Mall. Lokasi mall tersebut tidak jauh dari Magee House tempat kami tinggal. Biasanya kami menembus hutan di belakang apartemen yang merupakan shortcut menuju mall. Pada saat winter, berjalan di dalam hutan juga berbahaya karena licin dan gelap. Sabtu itu, selesai berbelanja keperluan mingguan, saya berjalan kaki sendirian membawa 2 tas kresek berisi belanjaan. Saat itu, pedestrian dipenuhi dengan gundukan salju yang disingkirkan dari jalan hingga membentuk tembok salju yang tinggi. Di tengah jalan, terjadi badai salju, dilaporkan oleh weather channel, suhu di luar saat itu mencapai -40°C. Saya masih bertahan untuk tetap berjalan menuju apartemen, meskipun jalan menjadi tertatih-tatih. Untuk menempuh jarak 5 meter saya dapat memerlukan waktu sampai 20 detik karena hempasan angin yang sangat kencang sambil membawa butiran-butiran es yang menerpa wajah. Setelah sekian menit berjalan, tubuh saya terasa sangat kaku dan dingin, saya segera mencari tempat berlindung terdekat. Akhirnya saya masuk ke sebuah toko obat untuk mencari kehangatan di dalamnya. Di dalam toko, saya segera memeriksa telinga saya, sangat dingin dan tidak berasa ketika disentuh. Wah gawat kalau telinga saya sampai kena frostbite, bagaimana cara memasang kacamata nanti kalau saya kehilangan daun telinga :-P. Alhamdulillah, sebentar kemudian, karena hangatnya udara di dalam toko, telinga saya berangsur-angsur pulih. Saya pun kapok untuk berjalan di bawah badai salju, dan menunggunya sampai reda. Di apartemen, selepas itu, teman saya memarahi saya akibat keberanian saya tadi. Ah, itu sih namanya bukan berani, tetapi nekad :-P.

Suatu kali, Undergraduate Student Association mengadakan acara bermain ski di Crabbe Mountain. Saya segera mendaftarkan diri dengan teman untuk ikut. Biaya yang dikenakan adalah sebesar 20 CAD, untuk transportasi, tiket lift, dan ongkos sewa peralatan ski, lumayan murah juga, mungkin karena datangnya berombongan satu bus penuh. Crabbe Mountain berlokasi di 46°07'09" lintang utara, dan 67°06'04" bujur barat, sekitar 40 menit berkendara dari Fredericton ke arah barat. Setiba di sana kami langsung menuju tempat peminjaman peralatan ski. Mula-mula memilih sepatu, ternyata saya cocoknya di rak sepatu ukuran anak remaja :-P. Selepas itu memilih bilah sepatu ski dan tongkat untuk mengayuh. Kemudian bilah ski akan dipasang di sepatu oleh petugas. Sambil memasangnya, si petugas itu bertanya: "berapa berat badanmu". Saya pikir dia hendak mengejek saya yang underweight ini, karena orang-orang di situ kebanyakan berukuran jumbo alias besar-besar. Jadi saya menjawab dengan menyampaikan berat badan saya ditambah 10 kg, meski itupun terbilang masih di bawah rata-rata di sini. Petugas itu mengatur-atur kelengkungan bilah ski, dan kemudian menyerahkannya kembali kepada saya. Saya segera memakainya dan berjalan keluar berjingkat-jingkat menuju padang salju untuk pemain ski pemula. Berpegangan pada tali besar yang bergerak ke atas padang, ini yang dinamakan lift, wah payah deh. Sampai di atas, saya mulai mencari-cari posisi untuk meluncur ke bawah. Saya mencoba di bagian yang paling landai dulu. Meluncur sebentar kemudian terguling-guling, berdiri lalu meluncur lagi dan terguling lagi, demikian sampai di bawah. Lalu saya kembali naik menggunakan tali lift tadi. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya saya bisa meluncur dengan lancar tanpa berguling karena dapat memanfaatkan tongkat pengayuh untuk menyeimbangkan badan. Wah, lumayan juga yah. Kali ini saya mencari rute luncuran yang agak terjal. Ternyata ketika saya meluncur ke bawah, jalur tersebut tidak hanya lebih curam dari sebelumnya, tapi juga ada gundukannya, sehingga ketika saya melewati gundukan tersebut tubuh saya sedikit melayang untuk kemudian jatuh menapak lagi di salju. Saat bilah ski saya menjejak salju lagi, tiba-tiba tubuh saya terpelanting tinggi dan berguling-guling sampai ke bawah bukit. Saya penasaran, dan pergi ke atas untuk mencobanya lagi, dan terpelanting lagi ketika mendarat selepas gundukan tadi. Demikian berkali-kali. Semacam ada per di sepatu ski yang saya kenakan, hingga tubuh saya mental ketika bilah ski saya menjejak ke permukaan salju yang sudah mulai mengeras. Bahkan terakhir kali sampai bilah ski yang saya gunakan terpental lepas dari sepatu boot saya. Sambil tetap tidur di salju akibat kecapekan saya memperhatikan bahwa orang-orang lain dapat dengan mudahnya melayang melewati gundukan dan meluncur dengan posisi tetap berdiri ketika bilah ski mereka menjejak kembali ke jalur salju. Akhirnya saya tahu: rupanya kelengkungan bilah ski yang diset oleh petugas tadi itu mengatur kelenturannya sehingga berlaku seperti shock breaker untuk peredam kejut, rumusnya kira-kira mx" = -kx-bv atau semacam itu lah, saya lupa. Di mana m adalah massa beban, b konstanta redaman, dan k adalah stiffness pegasnya. Jadi m adalah berat badan saya dan k adalah nilai yang diatur oleh si petugas tadi. Karena saya memberikan informasi berat badan yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka nilai yang diatur oleh petugas tersebut adalah nilai yang optimum untuk orang yang 10 kg lebih berat dari tubuh saya. Dengan kata lain, tubuh saya terlalu ringan untuk nilai tersebut. Itulah mengapa saya selalu terpelanting dengan keras :-P. Wah, ternyata persamaan Newton digunakan juga dalam permainan ski ini :-). Maka segera saya menuju tempat persewaan sepatu dan minta tolong pada petugas tadi untuk memasangkan bilah ski lagi ke sepatu boot saya, kali ini saya menyampaikan berat badan saya yang sebenarnya. Dan setelah itu, saya dapat menjaga tubuh dengan lebih mudah ketika meluncur di padang salju :-).

Olah raga musim dingin ada bermacam-macam, selain ski di atas. Jika di USA, basket dan american football merupakan olah raga favorit, orang Canada sangat menggemari olah raga ice hockey alias hoki yang dimainkan di atas es menggunakan ice blade. Keunikan dari olah raga ini adalah pada diperkenankannya pemain untuk bermain keras. Jadi tidak jarang sehabis bertanding, para pemainnya mengalami berbagai cedera, seperti memar, keseleo, hingga patah tulang. Untuk menghambat gerakan musuh, maka tubuh pemainnya yang memang berukuran besar-besar ditabrakkan ke tubuh lawan hingga berguling-guling di lapangan es. Memukul menggunakan tongkat hoki yang sedianya digunakan untuk memukul bola (?, bukan bola sih, bentuknya silinder pipih), apabila tidak diketahui oleh wasit dan hakim pembantu, biasanya sering dilakukan. Namun apabila ketahuan, maka pemain tersebut akan dikenakan sanksi. Tidak jarang pula karena emosi, pemain dari kedua kubu saling berpukulan. Jika terjadi hal itu, maka oleh wasit biasanya pemainan dihentikan sejenak dan mereka dibiarkan berkelahi sebentar. Setelah beberapa belas detik, keduanya dilerai dan permainan dilanjutkan lagi, tetapi kedua pemain yang berkelahi tadi tidak diperkenankan bermain untuk beberapa menit. Pernah pada suatu pertandingan lokal, ada 2 pemain yang saling ngecing, keduanya terus berkelahi sepanjang waktu bermain. Ketika permainan berakhir keduanya berpelukan erat. Ternyata mereka adalah saudara kandung :-P. Aturan dibolehkannya bermain keras ini ternyata hanya berlaku di Canada. Di Eropa misalnya, permainan keras sangat dilarang.

Saya tidak ikut bermain hoki es tentu saja, karena saya tidak suka berkelahi. Tapi ada olah raga musim dingin yang saya sukai di sini, yaitu curling. Menurut Wikipedia: "Curling is a precision team sport similar to bowls or bocce, played on a rectangular sheet of prepared ice by two teams of four players each, using heavy polished granite stones which players slide down the ice towards a target area called the house. Points are scored for the number of stones that a team has closer to the center of the target than the closest of the other team's stones". Tahu maksudnya? Tidak? Oke, jadi curling dimainkan di atas lapangan khusus berbentuk persegi panjang yang berlapiskan es. Setiap tim terdiri atas 4 pemain. Secara bergantian mereka akan meluncurkan batu granit yang sangat berat dan berbentuk bulat di atas es dari ujung lapangan ke ujung lainnya di mana terdapat lingkaran besar yang disebut house. Tujuan dari permainan ini adalah untuk menempatkan stone ke pusat lingkaran house. Si pelempar dibolehkan meluncur di atas es, dengan menggunakan sepatu khusus, sambil memegang stone untuk mengarahkannya menuju sasaran, namun pada jarak tertentu dia harus melepaskannya dan membiarkan batu granit tersebut meluncur dan berhenti di tempat yang diinginkan. Setiap pemain bergantian melemparkan dengan masing-masing memiliki 2 kali kesempatan. Ketika seorang pemain meluncurkan batunya, pemain lain dalam timnya memegang sikat yang digunakan untuk mengatur kecepatan luncuran batu tadi di atas es. Jika ingin memperlancar jalannya batu, maka ketiga pemain akan menggosokkan sikat mereka di depan lintasan batu menuju house. Kekuatan lemparan sangat menentukan laju luncuran batu di atas lapisan es, selain bantuan dari para penyikat tadi. Setiap pemain bergantian melempar batu antar kedua tim tersebut. Sehingga, jika seorang pemain dari suatu tim berhasil menempatkan batunya di dalam house, maka pemain tim lawan akan mencoba menyingkirkan batu tersebut dari dalam house dengan menumbukkan batunya ke batu lawan hingga terpental sambil menempatkan diri agar berhenti di dalam house. Pemain satu tim kemudian akan menaruh batunya di muka batu temannya yang telah berada di dalam target untuk melindunginya agar tidak ditabrak oleh batu lawan. Setelah masing-masing tim melemparkan 8 batu, disebut 1 end, maka skor dihitung. Tim yang memiliki batu di dalam house yang paing dekat dengan pusat lingkaran akan memperoleh nilai, sedangkan lawannya tidak memperoleh nilai. Skor dihitung sebanyak batu yang berada di dslam house namun lebih dekat ke pusat house dibandingkan batu lawan yang terdekat dengan pusat house. Setelah 8 end, skor ditotal, dan tim yang memiliki skor paling besar itulah yang menang. Dalam permainan ini, tidak jarang pemain yang melemparkan batu akan terjatuh ketika meluncur di atas es karena tidak bisa menjaga keseimbangan; seperti yang terjadi pada saya ketika bermain curling tersebut. :-P

{1998-2000 @ canada}

see other Culture Shocks

Monday, January 01, 2007

Jagal Sapi

Topik ini saya republish bertepatan dengan hari raya qurban tahun ini karena berhubungan dengan sapi.
-----

Belum seminggu saya di Fredericton, sehabis sholat Jumat di masjid, apartment mate saya mengajak saya untuk ikut ke luar kota. Sebagai orang baru, tentu saja saya senang diajak bepergian. Kamipun berangkat menggunakan mobil Ali bersama Baskent dari Turki. Mau ke mana kita, tanya saya. Rupanya kami menuju ke sebuah peternakan kecil yang berada di luar kota. Pemilik peternakan juga berprofesi sebagai butcher atau tukang daging di Farmer's Market di downtown. Peternak tersebut kemudian menemui kami dan membawa ke kandang besar. Kami dipersilahkan untuk memilih salah satu sapi yang ada di situ. Setelah Ali memilihnya, sapi tersebut dibawa masuk ke tempat penyembelihan. Di sana, teman saya dan Baskent telah siap dengan pisau yang tajam, hendak menyembelih sapi tersebut. Rupanya karena di supermarket dan pasar tidak tersedia daging halal, para brothers memilih untuk menyembelih sapi sendiri untuk menyediakan daging halal bagi penduduk yang muslim. Setiap jum'at selepas sholat biasanya diumumkan bahwa akan ada yang menyembelih sapi, barang siapa bermaksud untuk memperoleh daging sapi tersebut diharap menghubungi takmir masjid untuk menentukan banyaknya sapi yang akan disembelih berdasarkan berat yang dipesan masing-masing. Agaknya sehabis sholat tadi saya sibuk berkenalan dengan jamaah masjid yang lain, jadi tidak mendengar pengumuman tersebut. Sapipun berhasil disembelih. Sapi di sini ukurannya besar sekali, sangat berbeda dengan sapi yang sering saya jumpai di Indonesia. Sehabis disembelih, kemudian peternak itu mengikat kedua kaki belakang sapi dan mengangkatnya menggunakan crane hingga tegak. Sekilas melihat ukurannya dalam keadaan berdiri tegak, sapi tersebut terlihat seperti monster :-)

Buru-buru saya mengambil kamera dari dalam tas, hendak memotretnya. Namun tiba-tiba peternak tersebut berteriak melarang dan mengatakan sesuatu pada teman-teman saya. Saya kebingungan, ada apa ini??? Ali menjelaskan bahwa sebenarnya untuk dapat menyembelih sapi, seseorang harus memiliki izin atau lisensi dari pemerintah. Peternak ini memiliki lisensi tersebut, tetapi kan kita tidak memiliki, jadi sebenarnya kita tidak boleh menyembelih sapi sendiri. Oleh karena itu dia melarang untuk memotret karena jika ketahuan oleh yang berwenang, maka lisensinya pasti dicabut, "and I'll go to jail", katanya dengan muka serius. Ali mengatakan bahwa, si peternak ini telah berbaik hati menyediakan sapi dan mengijinkan kita untuk menyembelih di sana. Dia telah mempertaruhkan pekerjaanya agar kita dapat memperoleh daging halal. Oleh karena itu kita merasa sangat berterimakasih padanya dan sebaiknya kita jangan berbuat sesuatu yang membuat dia berubah pikiran. Akan sangat sulit mencari orang lain yang mau berbuat seperti dia. "Okay, I understand", jawab saya. Saya ingat, ketika hendak menyembelih sapi tadi, pisau di tangan Baskent terpental sehingga hampir melukai tangannya sendiri. Si peternak itu berteriak seperti tadi. Rupanya dia mengingatkan kita agar hati-hati supaya tidak terluka. Wah perhatian sekali ya dia. Masalahnya adalah, jikalau ada kejadian yang tidak diinginkan, seseorang terluka ketika menyembelih sapi di situ, kemudian si korban dibawa ke rumah sakit untuk diberi pengobatan, tentu akan banyak pertanyaan yang akan diajukan oleh pihak rumah sakit, di mana lokasi kejadiannya, bagaimana bisa terjadi kecelakaan tersebut, apa yang dilakukan oleh si korban, dan sebagainya, hingga diketahui bahwa mereka sedang menyembelih sapi, akhirnya akan sama seperti tadi, peternak tersebut kehilangan lisensinya dan "I'll go to jail".

Sapi yang telah disembelih tadi kemudian akan dipotong-potong dan ditimbang sesuai dengan pesanan para brothers di masjid tadi. Besok hari Minggu kami dapat mengambilnya di boothnya tang berada di Farmer's Market downtown dengan menyebutkan nama masing-masing. Ali telah memberinya daftar nama pemesan beserta pesanan masing-masing. Ternyata karena pembeliannya secara total dalam jumlah yang cukup besar, seekor sapi dapat memiliki berat sampai seperempat ton dagingnya, maka kita mendapat harga perkilogram daging sapi tersebut yang lebih murah dari harga biasanya. Oleh karena itu, teman-teman non muslim dari Indonesia sering juga ikut memesannya. Tapi yang lebih penting adalah, daging tersebut halal karena disembelih sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan dalam Islam. Pada saat ini, brother dan sister di Fredericton lebih beruntung, karena daging halal telah banyak tersedia secara luas di berbagai supermarket, seperti di Sobeys, Victory Meat Market, dan Atlantic Superstore sebagaimana diinformasikan oleh FIA. Sebuah perusahaan daging ternama di Canada, Maple Lodge Farm, sejak tahun 1999 menyediakan produk daging ayam, kambing, dan sapi halal, Zabiha Halal. Meskipun demikian, peternak tadi, dan seorang peternak yang lain, sampai saat ini masih menyediakan diri untuk menjadi tempat menyembelih sapi bagi umat Islam. Hal yang bersangkutan dengan aturan yang ada agaknya telah mendapatkan penyelesaian mengingat kini dia mengumumkannya secara terbuka.

Kembali ke saat menyembelih sapi tadi, saya kemudian bertanya kepada teman saya, mengapa dia mengajak saya ke situ, padahal saya tidak terlalu berani untuk melihat sapi disembelih (Sewaktu di kampung saya di Jogja, saya sering diberi tugas sebagai bagian dokumentasi untuk berbagai acara, termasuk acara penyembelihan hewan qurban. Beberapa proses penyembelihan harus juga saya ambil gambarnya. Padahal saya tidak begitu tega untuk melihat hewan-hewan tersebut disembelih. Maka cara saya memotret adalah dengan mengambil posisi yang tepat sebelumnya, dan tepat sebelum penyembelihan dilakukan saya menutup mata sambil menekan tombol untuk memotret :-P). Teman saya kemudian dengan tertawa mengatakan: "Biasanya yang menjadi jagal sapi adalah orang Indonesia. Karena saya sebentar lagi selesai kuliah dan kembali ke Jakarta, maka sebagai penerus tradisi ini, maka kamu akan menjadi jagal sapi periode berikutnya". Haaaaaaaaah. Saya hanya bisa terbengong-bengong mendengarnya.

{1998 @ canada}

see other Culture Shocks