Tuesday, January 30, 2007

Salju Membeku

Bulan Oktober, udara di New Brunswick mulai dingin. Temperatur udara perlahan turun di musim gugur, seiring dengan berjatuhannya daun-daun pinus dan maple. Karena turunnya perlahan-lahan, saya tidak merasakan dingin pada suhu sekitar 10°C. Kami bahkan masih bisa memakai pakaian biasa atau tipis. Namun ketika suhu udara terus menurun mendekati 0°C di musim dingin, kami harus menggunakan baju yang berlapis-lapis. Mulai pakaian dalam, kemudian kaos lengan panjang dan celana panjang yang ketat di tubuh, baru pakaian luar. Itu pun masih ditambah lagi dengan jaket tebal berbulu, lengkap dengan kaus tangan dan topi woll. Kadang-kadang saya masih menggunakan syal juga. Pokoknya tubuh saya jadi kelihatan gemuk deh. Oh ya, topi yang dikenakan saya pilih yang ada siripnya untuk menutupi telinga. Di musim dingin, telinga adalah bagian tubuh yang paling mudah menjadi dingin. Bila, kita lupa menutupnya, ada kemungkinan daun telinga menjadi beku dan bisa patah jika tersenggol, ngeri ya. Tapi dinginnya udara menjadi terasa hangat di hati tatkala salju mulai turun. Terasa ada romantika tersendiri melihat salju melayang jatuh, dan memegang kelembutannya mencair di tangan. Bukan hanya saya yang baru pertama kali melihat salju. Anak-anak yang lahir dan dibesarkan di sanapun, sangat gembira dengan kedatangan salju yang putih. Sesudah salju telah sering turun, lapangan rumput di football court yang tadinya hijau berubah menjadi hamparan padang salju yang putih dan tebal. Setiap habis turun salju, banyak orang bermain di sana, tua maupun muda. Kita berluncuran menggunakan papan luncur turun dari lereng miring yang sekarang penuh dengan salju. Ketika sampai di bawah, berjungkir balik tertimbun tumpukan salju. Mereka saling berlemparan bola-bola salju yang ternyata terasa pedih ketika kena wajah. Beberapa anak menjatuhkan diri terlentang di atas salju dengan tangan membentang lebar ke samping, kemudian menggerak-gerakkan tangan mereka ke atas dan ke bawah. Bekas yang terjadi membentuk gambaran malaikat salju (snow angel) yang sangat menarik.

Bermain dengan salju selalu menyenangkan; bagaimana dengan mandi salju? Teringat saat kecil kami suka berlarian di halaman saat hujan turun dengan derasnya. Anak kecil selalu suka bermandi hujan meski kadang mereka harus menghadapi risiko memperoleh omelan dari orang tuanya. Mandi salju juga terasa menyenangkan, saya sering keluar di waktu hujan salju sekedar berjalan-jalan di bawah jatuhan salju yang lembut dan hangat. Hangat? Ya, salju terasa hangat ketika menempel di tubuhku yang berbalutkan pakaian yang tebal. Nggak dingin? Yang dingin itu apabila suhu udara menurun tajam, angin bertiup kencang, dan menciptakan hujan es berbentuk batu. Dingin dan keras, pedih ketika menerpa wajah. Es batu bahkan sempat berukuran sebesar anak kucing, sehingga banyak atap rumah yang bocor tertimpa olehnya. Bayangkan apabila es tersebut menimpa kepala kita. Maka, ketika hujan salju ringan telah berubah menjadi badai salju (snow storm) dan es yang ganas, saya memilih untuk berdiam diri di dalam ruangan.

Salah satu channel di stasiun televisi Fundy Cable sepanjang hari menyiarkan ramalan cuaca, sehingga kota dapat mengetahui prakiraan cuaca hari itu, apakah akan terjadi badai salju atau tidak. Melihat weather channel ini is a must bagi kami setiap kali akan pergi ke luar apartemen selama musim dingin. Jika prakiraan cuaca menyatakan hari ini akan turun salju, maka riang gembiralah hati kami. Namun apabila kami mendengar berita akan datangnya badai salju, maka mungkin kami tetap akan bergembira :-P. Lho?? Soalnya, apabila badai salju yang terjadi sangat berat, maka sekolah-sekolah akan diliburkan, termasuk UNB. Pengumuman biasanya disampaikan melalui televisi atau radio lokal, sehingga kita tidak perlu berangkat ke kampus. Namun suatu kali, pernah pengumuman tentang ditutupnya kampus karena ada badai salju disampaikan oleh UNB President (rektor) ketika kami tengah berada di kelas mengikuti kuliah. Maka, dosennya segera membatalkan kuliah saat itu juga, meskipun kemudian kami hanya kongkow-kongkow di lobi Head Hall karena cuaca tidak memungkinkan bagi kami untuk pulang ke Magee House. Uniknya, rektor tidak pernah mengumumkan universitas tutup akibat badai salju sebanyak lebih dari 2 kali dalam setahun. Jadi, apabila sekolah telah diliburkan 2 kali, meski badai salju sangat hebat, rektor tidak menyatakan universitas ditutup. Jadi, bagi mereka yang telah terlanjur berada di kampus, kuliah tetap diadakan; namun bagi yang masih di rumah, mereka akan dimaklumi apabila tidak berangkat ke kampus :-)

Berkendaraan di jalan dalam cuaca buruk akibat badai salju memang berbahaya. Apabila salju yang menutupi seluruh ruas jalan telah membeku menjadi es, maka akan sering terjadi kecelakaan akibat pengendara tidak dapat mengemudikan mobilnya dengan baik. Di depan Head Hall saja, saat itu kami menemui beberapa mobil bertubrukan secara berurutan akibat tergelincir lapisan es dan salju yang tebal. Untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terpeleset di atas salju, pada musim dingin, ban mobil dilapisi dengan rantai besi di sekelilingnya. Sedangkan untuk mengurangi lapisan es di jalan-jalan, pemerintah daerah mengirimkan truk yang membawa garam untuk ditebarkan di sepanjang jalan utama di Fredericton. Tapi tetap saja, apabila sedang turun salju yang lebat atau banyak lapisan es di jalan, saran saya, jangan mengendarai mobil jika tidak ada keperluan yang sangat penting. Terus, bagaimana jika berjalan kaki saja?

Berjalan di atas salju yang tebal, bagi saya sih sangat menyenangkan. Menggunakan sepatu boot yang bagian bawahnya bertekstur tajam sehingga dapat mencengkeram pijakan dengan kuat. Walaupun begitu, pasanglah mata jika berjalan di atas salju. Siapa tahu di bawahnya terdapat lapisan es akibat salju yang mengeras atau air yang membeku, misalnya kolam, sungai atau genangan air. Seorang teman mengajarkan kami untuk berhati-hati melangkah supaya tidak jatuh, namun ketika mencontohkan cara berjalan yang benar, dia sendiri terpelanting jatuh akibat terpeleset lapisan es :-P. Berjalan kaki di tengah badai salju juga berbahaya. Saya pernah mengalaminya sekali, saat pulang dari belanja di Regent Mall. Lokasi mall tersebut tidak jauh dari Magee House tempat kami tinggal. Biasanya kami menembus hutan di belakang apartemen yang merupakan shortcut menuju mall. Pada saat winter, berjalan di dalam hutan juga berbahaya karena licin dan gelap. Sabtu itu, selesai berbelanja keperluan mingguan, saya berjalan kaki sendirian membawa 2 tas kresek berisi belanjaan. Saat itu, pedestrian dipenuhi dengan gundukan salju yang disingkirkan dari jalan hingga membentuk tembok salju yang tinggi. Di tengah jalan, terjadi badai salju, dilaporkan oleh weather channel, suhu di luar saat itu mencapai -40°C. Saya masih bertahan untuk tetap berjalan menuju apartemen, meskipun jalan menjadi tertatih-tatih. Untuk menempuh jarak 5 meter saya dapat memerlukan waktu sampai 20 detik karena hempasan angin yang sangat kencang sambil membawa butiran-butiran es yang menerpa wajah. Setelah sekian menit berjalan, tubuh saya terasa sangat kaku dan dingin, saya segera mencari tempat berlindung terdekat. Akhirnya saya masuk ke sebuah toko obat untuk mencari kehangatan di dalamnya. Di dalam toko, saya segera memeriksa telinga saya, sangat dingin dan tidak berasa ketika disentuh. Wah gawat kalau telinga saya sampai kena frostbite, bagaimana cara memasang kacamata nanti kalau saya kehilangan daun telinga :-P. Alhamdulillah, sebentar kemudian, karena hangatnya udara di dalam toko, telinga saya berangsur-angsur pulih. Saya pun kapok untuk berjalan di bawah badai salju, dan menunggunya sampai reda. Di apartemen, selepas itu, teman saya memarahi saya akibat keberanian saya tadi. Ah, itu sih namanya bukan berani, tetapi nekad :-P.

Suatu kali, Undergraduate Student Association mengadakan acara bermain ski di Crabbe Mountain. Saya segera mendaftarkan diri dengan teman untuk ikut. Biaya yang dikenakan adalah sebesar 20 CAD, untuk transportasi, tiket lift, dan ongkos sewa peralatan ski, lumayan murah juga, mungkin karena datangnya berombongan satu bus penuh. Crabbe Mountain berlokasi di 46°07'09" lintang utara, dan 67°06'04" bujur barat, sekitar 40 menit berkendara dari Fredericton ke arah barat. Setiba di sana kami langsung menuju tempat peminjaman peralatan ski. Mula-mula memilih sepatu, ternyata saya cocoknya di rak sepatu ukuran anak remaja :-P. Selepas itu memilih bilah sepatu ski dan tongkat untuk mengayuh. Kemudian bilah ski akan dipasang di sepatu oleh petugas. Sambil memasangnya, si petugas itu bertanya: "berapa berat badanmu". Saya pikir dia hendak mengejek saya yang underweight ini, karena orang-orang di situ kebanyakan berukuran jumbo alias besar-besar. Jadi saya menjawab dengan menyampaikan berat badan saya ditambah 10 kg, meski itupun terbilang masih di bawah rata-rata di sini. Petugas itu mengatur-atur kelengkungan bilah ski, dan kemudian menyerahkannya kembali kepada saya. Saya segera memakainya dan berjalan keluar berjingkat-jingkat menuju padang salju untuk pemain ski pemula. Berpegangan pada tali besar yang bergerak ke atas padang, ini yang dinamakan lift, wah payah deh. Sampai di atas, saya mulai mencari-cari posisi untuk meluncur ke bawah. Saya mencoba di bagian yang paling landai dulu. Meluncur sebentar kemudian terguling-guling, berdiri lalu meluncur lagi dan terguling lagi, demikian sampai di bawah. Lalu saya kembali naik menggunakan tali lift tadi. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya saya bisa meluncur dengan lancar tanpa berguling karena dapat memanfaatkan tongkat pengayuh untuk menyeimbangkan badan. Wah, lumayan juga yah. Kali ini saya mencari rute luncuran yang agak terjal. Ternyata ketika saya meluncur ke bawah, jalur tersebut tidak hanya lebih curam dari sebelumnya, tapi juga ada gundukannya, sehingga ketika saya melewati gundukan tersebut tubuh saya sedikit melayang untuk kemudian jatuh menapak lagi di salju. Saat bilah ski saya menjejak salju lagi, tiba-tiba tubuh saya terpelanting tinggi dan berguling-guling sampai ke bawah bukit. Saya penasaran, dan pergi ke atas untuk mencobanya lagi, dan terpelanting lagi ketika mendarat selepas gundukan tadi. Demikian berkali-kali. Semacam ada per di sepatu ski yang saya kenakan, hingga tubuh saya mental ketika bilah ski saya menjejak ke permukaan salju yang sudah mulai mengeras. Bahkan terakhir kali sampai bilah ski yang saya gunakan terpental lepas dari sepatu boot saya. Sambil tetap tidur di salju akibat kecapekan saya memperhatikan bahwa orang-orang lain dapat dengan mudahnya melayang melewati gundukan dan meluncur dengan posisi tetap berdiri ketika bilah ski mereka menjejak kembali ke jalur salju. Akhirnya saya tahu: rupanya kelengkungan bilah ski yang diset oleh petugas tadi itu mengatur kelenturannya sehingga berlaku seperti shock breaker untuk peredam kejut, rumusnya kira-kira mx" = -kx-bv atau semacam itu lah, saya lupa. Di mana m adalah massa beban, b konstanta redaman, dan k adalah stiffness pegasnya. Jadi m adalah berat badan saya dan k adalah nilai yang diatur oleh si petugas tadi. Karena saya memberikan informasi berat badan yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka nilai yang diatur oleh petugas tersebut adalah nilai yang optimum untuk orang yang 10 kg lebih berat dari tubuh saya. Dengan kata lain, tubuh saya terlalu ringan untuk nilai tersebut. Itulah mengapa saya selalu terpelanting dengan keras :-P. Wah, ternyata persamaan Newton digunakan juga dalam permainan ski ini :-). Maka segera saya menuju tempat persewaan sepatu dan minta tolong pada petugas tadi untuk memasangkan bilah ski lagi ke sepatu boot saya, kali ini saya menyampaikan berat badan saya yang sebenarnya. Dan setelah itu, saya dapat menjaga tubuh dengan lebih mudah ketika meluncur di padang salju :-).

Olah raga musim dingin ada bermacam-macam, selain ski di atas. Jika di USA, basket dan american football merupakan olah raga favorit, orang Canada sangat menggemari olah raga ice hockey alias hoki yang dimainkan di atas es menggunakan ice blade. Keunikan dari olah raga ini adalah pada diperkenankannya pemain untuk bermain keras. Jadi tidak jarang sehabis bertanding, para pemainnya mengalami berbagai cedera, seperti memar, keseleo, hingga patah tulang. Untuk menghambat gerakan musuh, maka tubuh pemainnya yang memang berukuran besar-besar ditabrakkan ke tubuh lawan hingga berguling-guling di lapangan es. Memukul menggunakan tongkat hoki yang sedianya digunakan untuk memukul bola (?, bukan bola sih, bentuknya silinder pipih), apabila tidak diketahui oleh wasit dan hakim pembantu, biasanya sering dilakukan. Namun apabila ketahuan, maka pemain tersebut akan dikenakan sanksi. Tidak jarang pula karena emosi, pemain dari kedua kubu saling berpukulan. Jika terjadi hal itu, maka oleh wasit biasanya pemainan dihentikan sejenak dan mereka dibiarkan berkelahi sebentar. Setelah beberapa belas detik, keduanya dilerai dan permainan dilanjutkan lagi, tetapi kedua pemain yang berkelahi tadi tidak diperkenankan bermain untuk beberapa menit. Pernah pada suatu pertandingan lokal, ada 2 pemain yang saling ngecing, keduanya terus berkelahi sepanjang waktu bermain. Ketika permainan berakhir keduanya berpelukan erat. Ternyata mereka adalah saudara kandung :-P. Aturan dibolehkannya bermain keras ini ternyata hanya berlaku di Canada. Di Eropa misalnya, permainan keras sangat dilarang.

Saya tidak ikut bermain hoki es tentu saja, karena saya tidak suka berkelahi. Tapi ada olah raga musim dingin yang saya sukai di sini, yaitu curling. Menurut Wikipedia: "Curling is a precision team sport similar to bowls or bocce, played on a rectangular sheet of prepared ice by two teams of four players each, using heavy polished granite stones which players slide down the ice towards a target area called the house. Points are scored for the number of stones that a team has closer to the center of the target than the closest of the other team's stones". Tahu maksudnya? Tidak? Oke, jadi curling dimainkan di atas lapangan khusus berbentuk persegi panjang yang berlapiskan es. Setiap tim terdiri atas 4 pemain. Secara bergantian mereka akan meluncurkan batu granit yang sangat berat dan berbentuk bulat di atas es dari ujung lapangan ke ujung lainnya di mana terdapat lingkaran besar yang disebut house. Tujuan dari permainan ini adalah untuk menempatkan stone ke pusat lingkaran house. Si pelempar dibolehkan meluncur di atas es, dengan menggunakan sepatu khusus, sambil memegang stone untuk mengarahkannya menuju sasaran, namun pada jarak tertentu dia harus melepaskannya dan membiarkan batu granit tersebut meluncur dan berhenti di tempat yang diinginkan. Setiap pemain bergantian melemparkan dengan masing-masing memiliki 2 kali kesempatan. Ketika seorang pemain meluncurkan batunya, pemain lain dalam timnya memegang sikat yang digunakan untuk mengatur kecepatan luncuran batu tadi di atas es. Jika ingin memperlancar jalannya batu, maka ketiga pemain akan menggosokkan sikat mereka di depan lintasan batu menuju house. Kekuatan lemparan sangat menentukan laju luncuran batu di atas lapisan es, selain bantuan dari para penyikat tadi. Setiap pemain bergantian melempar batu antar kedua tim tersebut. Sehingga, jika seorang pemain dari suatu tim berhasil menempatkan batunya di dalam house, maka pemain tim lawan akan mencoba menyingkirkan batu tersebut dari dalam house dengan menumbukkan batunya ke batu lawan hingga terpental sambil menempatkan diri agar berhenti di dalam house. Pemain satu tim kemudian akan menaruh batunya di muka batu temannya yang telah berada di dalam target untuk melindunginya agar tidak ditabrak oleh batu lawan. Setelah masing-masing tim melemparkan 8 batu, disebut 1 end, maka skor dihitung. Tim yang memiliki batu di dalam house yang paing dekat dengan pusat lingkaran akan memperoleh nilai, sedangkan lawannya tidak memperoleh nilai. Skor dihitung sebanyak batu yang berada di dslam house namun lebih dekat ke pusat house dibandingkan batu lawan yang terdekat dengan pusat house. Setelah 8 end, skor ditotal, dan tim yang memiliki skor paling besar itulah yang menang. Dalam permainan ini, tidak jarang pemain yang melemparkan batu akan terjatuh ketika meluncur di atas es karena tidak bisa menjaga keseimbangan; seperti yang terjadi pada saya ketika bermain curling tersebut. :-P

{1998-2000 @ canada}

see other Culture Shocks

No comments: