Wednesday, September 27, 2006

Random Checking

Hari sebelumnya, dalam perjalanan dari Jakarta ke Hongkong, di pesawat, saya duduk bersama seorang pengusaha Indonesia yang memiliki usaha di Hongkong. Cerita punya cerita, ternyata beliau tinggal dekat dengan rumah saya di Pakualaman Yogyakarta. Most probably my parents may know him as well. Dia banyak bercerita mengenai kehidupan di Hongkong. Ketika pesawat mendarat di Hongkong International Airport (a.k.a. Chek Lap Kok Airport), kami berpisah setelah naik shuttle train berkecepatan sangat tinggi yang mengantarkan penumpang yang turun dari pesawat ke terminal penumpang dan sebaliknya. Sepeninggal beliau, di terminal bandara sendiri, saya celingukan mencari jemputan yang telah dijanjikan pihak hotel. Bertanya pada petugas bandara, kebanyakan tidak dapat berbahasa Inggris, kalaupun ada yang bisa, saya tidak dapat menangkap perkataannya dengan baik; mungkin karena menggunakan bahasa Honglish ;-). Melihat orang kebingungan, 2 orang polisi mendatangi saya dan meminta paspor saya sembari menanyakan tujuan saya. Tak memperhatikan jawaban saya, mereka lebih tertarik dengan apa yang tertulis di paspor dinas saya: "This passport is valid for all parts of the world except: Israel & Taiwan". "Why are you not allowed to go to Taiwan?", tanya salah satu dari mereka. Saya hanya menjawab kalau itu kebijakan pemerintah. "What kind of officer are you?", tanya mereka lagi. Saya menjelaskan bahwa saya dari departemen pendidikan. Pertanyaan yang sama saya peroleh ketika dicegat lagi oleh 2 polisi yang lain ketika hendak naik bus hotel. No, problem, hari itu saya habiskan untuk berjalan-jalan (benar-benar jalan kaki) di pusat kota Hongkong yang penuh dengan tulisan cina sehingga saya kebingungan.

Sore itu, saya sudah berada di bandara HKIA lagi. Sembari menunggu check in, saya melihat-lihat berbagai pojok terminal penumpang, mencoba mencari keunikan yang ada di sini. Rupanya, tingkah saya menarik perhatian 2 orang polisi bandara lagi. Mereka datang dan meminta saya untuk menunjukkan paspor saya lagi. Again, saya musti menjelaskan apa maksud service passport saya tersebut. Di terminal itu, saya 2 kali lagi didatangi dan ditanyai oleh pasangan polisi yang selalu memberi hormat sebelum menyapa. Akhirnya datang juga saat check in. Saya pindah ke ruang tunggu Cathay Pacific untuk menanti saat boarding. Beberapa saat kemudian, saya antri untuk menuju lorong menuju pesawat. Penumpang sangat ramai hari itu, sehingga antrian agak lambat berjalan. Saya tengak-tengok lagi, dan, again!!!, pasangan polisi pria dan wanita mendatangi saya seraya memberi hormat. Saya langsung memberikan paspor yang sudah saya persiapkan- saya sudah tahu bakal kena lagi nih. Akhirnya saya tanyakan ke mereka mengapa memeriksa saya. "Just random checking sir", jawab mereka dengan lugas. Random checking apanya. Random kok kenanya saya terus ;-) Kalau pemenang sayembara yang dipilih secara random, saya tidak pernah dapat; eh giliran untuk diperiksa, kok saya kena terus ;-). Belakangan saya paham mengapa saya didatangi terus oleh para polisi bandara. Dari wajah saya, mungkin mereka mengira saya berasal China daratan, dan you know, orang Hongkong dan orang China daratan rupanya saling tidak menyukai satu sama lain.

{1998 @ hongkong}

see other Culture Shocks

Sunday, September 24, 2006

Subuh 2 Kali

Senin, 28 Agustus, perjalanan pulang dari Kanada ke Indonesia diperkirakan mencapai 2 hari (30 jam). Hal ini berbeda dengan perjalanan saya saat berangkat dari Indonesia ke Kanada yang mencapai lebih dari 40 jam. Namun, perjalanan pulang ditempuh tanpa menginap, sedangkan pada perjalanan berangkat saya sempat menginap di Hongkong dan Toronto, masing-masing semalam. Setelah berpisah dengan teman-teman yang mengantar di Bandara Fredericton dan harus mengatur ulang isi tas kabin karena overloaded sementara pihak security bandara sangat ketat sekali dalam menerapkan batasan barang bawaan penumpang, saya melenggang masuk ke pesawat. Goodbye Fredericton, I'll be missing you.

Tidak ada cerita yang menarik dalam perjalanan menuju Toronto, dengan pesawat kecil, jarak antar kursi yang sangat sempit bahkan bagi saya, bagaimana pula bagi bule-bule yang tinggi-tinggi itu ya? Di Toronto kami sempat transit selama lebih dari 6 jam dan bersiap untuk perjalanan ke Hongkong. Pesawat Cathay Pacific berangkat dari Toronto sebelum tengah malam, berhenti sekali lagi di Anchorage Alaska selama sekitar 2 jam. Di dalam pesawat, di muka setiap tempat duduk, terdapat panel televisi yang menampilkan beberapa channel acara kartun, lawak, olah raga, film, dan musik. Saya memilih menonton channel yang memutar Mr Bean; tak pernah bosan meski telah berkali-kali melihatnya. Di panel tersebut terdapat pula informasi posisi pesawat serta jam; baik jam dari lokasi pemberangkatan, tempat tujuan, serta jam di lokasi pesawat sedang berada (posisi daratan di bawahnya).

Karena hari telah hampir pagi, dan sudah memasuki waktu subuh, maka saya segera sholat subuh di kursi pesawat. Seusai itu, saya kembali menekuni panel televisi sambil melihat jam yang menunjukkan waktu lokal. Terlihat sesuatu yang aneh pada jam tersebut. Setelah saya perhatikan, ternyata jam lokal - yang menunjukkan waktu lokasi daratan di bawah pesawat pada saat itu - berkurang satu jam demi satu jam. Mulai jam 5, 4, 3, 2, ... mmmm sangat menarik. Jam berbalik mundur! Ini terjadi karena kecepatan pesawat sedemikian pesat sehingga melebihi kecepatan rotasi bumi yang berputar dari barat ke timur. Selanjutnya ... 1, 12, 11. Jam berbalik mundur melewati hari sebelumnya...!!! Subhanallah. Sungguh suatu pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya.

Saya jadi ingat perkataan seorang teman ketika menyesali tindakannya yang membuang-buang waktu ketika mendapati nilai ujiannya jelek semua. "Semua ini karena aku tidak mau memanfaatkan waktu yang ada selama kuliah", katanya. Dia memang terlihat lebih suka bersantai-santai daripada membaca buku dan materi kuliah. Semua dapat dipelajari satu-dua hari menjelang ujian, tukasnya meyakinkan ketika saya menegurnya. Tentu saja kata-katanya tidak terbukti. "Oh, andaikata saja waktu bisa berjalan mundur, tentu aku bisa belajar lebih banyak dan lulus ujian dengan nilai baik". Andaikata, memang sebuah kata yang mudah diucapkan, terutama ketika semua sudah terlanjur terjadi.

Kita memang sering tidak memanfaatkan waktu dengan baik, termasuk saya sendiri. Waktu diciptakan fix 24 jam sehari, tetapi kita sering merasa kekurangan waktu, sedangkan di saat agak luang, waktu kita buang-buang. Tentu saja kita selalu merugi. Allah berfirman, "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kebenaran dan nasehat-menasehati dalam menetapi kesabaran" (QS Al 'Ashr). Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk memanfaatkan waktu dengan baik, sabdanya, "Carilah yang lima sebelum datang yang lima, yaitu manfaatkanlah masa mudamu sebelum datang masa tuamu (dengan ibadah), gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu (dengan amal saleh), gunakanlah masa kayamu sebelum datang masa miskinmu (dengan sedekah), gunakanlah masa hidupmu sebelum datang masa matimu (mencari bekal untuk hidup setelah mati). gunakanlah masa senggangmu sebelum datang masa sempitmu.' (Al Hadits).

Saya tidak mengalami waktu mundur saat itu, tetapi hanyalah jam yang berjalan mundur. Jam adalah kesepakatan manusia, sedangkan waktu adalah makhluk Allah yang kita tak kuasa mengendalikannya.

Selanjutnya pesawat tiba di Hongkong dan berhenti untuk transit lagi. Ketika pesawat mendarat, jam kembali berjalan maju secara normal, 11, 12, 1, ... Kemudian yang terpikir oleh saya adalah: tadi saya sudah sholat subuh. Lantas, apakah saya mesti sholat subuh lagi ketika waktunya tiba? Suatu pertanyaan yang belum pernah sama sekali muncul di kepala saya, pun belum pernah mendengar di pengajian manapun. Segera otak bekerja, tadi ketika jam berbalik dari pukul 1 malam ke pukul 12, apakah hari berubah dari Selasa menjadi Senin? Ketika tiba di Hongkong, dan jam bergerak maju lagi melewati tengah malam, hari berganti menjadi Selasa. Jadi saya tiba di Hongkong hari Selasa? Ternyata jam di bandara Hongkong menunjukkan hari itu Rabu 30 Agustus 2000. Bagaimana mungkin? Ternyata dalam perjalanan dari Alaska ke Hongkong tadi, pesawat melampaui garis batas penanggalan di atas Samudera Pasifik, sehingga dilakukan koreksi tanggal dan mundur 1 hari. Kalau begitu subuh menjelang adalah subuh untuk hari yang berbeda dengan subuh yang saya alami tadi pagi (tadi pagi?, bukannya kemarin, tetapi kan sekarang lebih malam daripada tadi pagi? wah, ternyata membingungkan juga ya). Oleh karena itu saya segera sholat subuh lagi di Bandara Hongkong, sambil menunggu pesawat Garuda yang akan membawa saya ke Bandara Ngurah Rai di Pulau Bali. Selamat bertemu lagi Indonesia.

{2000 @ canada}

see other Culture Shocks

Thursday, September 21, 2006

Patung Raja

You know, kebanyakan kita suka difoto, tak terkecuali dengan saya dan seorang teman. Pada kesempatan ke Bangkok untuk mengikuti sebuah workshop di Chulalongkorn University (I don't think I really needed that training. It was just a matter of a chance for me to go to Thailand), kami sempatkan untuk berfoto ria di sana-sini. Bangkok yang dikenal sebagai kota wisata, memiliki ratusan temple, ting trecek, menurut istilah dalam bahasa Jawa, karena saking banyaknya; seperti banyaknya musholla dan masjid di kota-kota di Indonesia. Seorang tourist guide menawari kami untuk mengunjungi 3 temple dalam satu rangkaian, di mana di dalamnya terdapat patung Buddha sedang duduk bersila, berdiri, dan tidur. Sorry, not this time, karena kami baru saja mengunjungi Wat Phra Kaeo (Temple of the Emerald Buddha) dekat istana raja, di sana ada patung Buddha dengan pakaian yang berganti-ganti ketika musim berganti. Kami tentu saja mengambil foto banyak sekali dengan latar depan kami sendiri ;-)

Kembali ke foto-fotoan tadi, sepulang dari Chulalongkorn University, kami berjalan kaki ke hotel sembari melewati sebuah taman dekat pusat pertokoan Siam Square. Ketika berfoto di sana dengan latar belakang sebuah patung, orang-orang yang lalu lalang di situ melihat kami, berhenti menghadap kami, dan kemudian menangkupkan kedua belah telapak tangannya di depan dada dan menundukkan kepala - memberikan penghormatan. Kami, dengan wajah penuh keheranan, secara refleks membalas dengan menganggukkan kepala dan tersenyum - "sungguh ramah orang-orang Thailand ini", fikir kami. Setelah hal tersebut berlangsung beberapa kali, naluri scientific muncul, dan kami pun mulai menyelidikinya - mengapa orang-orang itu berbuat seperti itu. Setelah kami perhatikan dengan seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, ternyata kami berdiri di dekat patung Raja Chulalongkorn (King Rama). Dan ternyata, orang-orang itu memberikan penghormatan pada patung raja, bukan kami, of course ;-) Orang Thailand sangat mencintai dan menghormati keluarga raja mereka. Menyadari hal itu, kami lalu dengan perlahan-lahan mundur agak menjauhi patung raja sekaligus mengubah posisi, karena sebelumnya kami berdiri membelakangi patung raja. Khawatirnya kami dianggap tidak menghormati raja mereka kan repot. Akhirnya kami lanjutkan foto-fotoan dengan latar belakang patung raja tetapi kali ini kami tidak membelakanginya.

{2004 @ bangkok}

see other Culture Shocks

Friday, September 15, 2006

Taksi Umum

Komunitas muslim di Fredericton bersifat sangat kekeluargaan, masing-masing akan dengan sigap membantu yang lain kalau memerlukan bantuan. Begitu juga dengan transportasi. Bagi kami yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan terbiasa berjalan kaki dari apartemen ke kampus yang berjarak hanya ratusan meter, setiap menjelang sholat Jum'at berdiri di luar kampus Head Hall menunggu mobil teman-teman yang akan membawa kami menuju masjid yang berjarak kurang lebih 3 km ke arah Saint John River.

Siang itu, saya mengikuti kuliah Predictive Control and Smart Sensor sampai selesai, sehingga terlambat ke luar kelas (biasanya saya keluar lebih awal). Menunggu di lobby Head Hall sendiri agak lama dan tetap saja tidak ada mobil yang biasa kami tumpangi lewat. Untuk berjalan menuju masjid tidak memungkinkan karena saat itu salju cukup deras menjatuhi bumi. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk menelepon taksi. Ini kali pertama saya naik taksi di sini. Beberapa saat kemudian sebuah taksi menghampiri dan masuklah saya ke dalamnya. Ketika taksi berjalan lagi, saya agak heran, mengapa arah taksi tersebut kok bukannya menuju sungai, malahan menjauhinya. Tak berapa jauh, di sekitar kampus St Thomas University, taksi berhenti di depan salah satu apartemen. Yang mengagetkan saya adalah tiba-tiba masuklah 2 orang mahasiswa ke taksi yang sedang saya tumpangi. Mereka menyapa saya dengan ramah dan saya hanya membalas dengan "hi" seadanya. Taksi kemudian melaju lagi ke arah sungai dan mengantarkan saya ke masjid (Beberapa kali saya naik taksi setelah itu saya baru tahu kalau masjid kami yang di sebelah sungai Saint John itu dikenal sebagai Multicultural Center, di kalangan taxi driver. Mungkin karena mereka sering mengantarkan banyak penumpang dari berbagai bangsa ke tempat itu, sehingga mereka mengira di situ adalah Pusat Multibudaya. Belakangan kami selalu menggunakan istilah itu untuk mempermudah menjelaskan tujuan kepada sopir taksi).

Semenjak saat itu, saya terbiasa berbagi tempat dengan penumpang taksi yang lain jika tujuannya sama atau berdekatan. Jadi saya bisa berhemat untuk uang transpor naik taksi? Oh, tentu saja tidak. Ini karena meskipun naik taksi yang sama, tetapi membayarnya sendiri-sendiri dan masing-masing membayar secara penuh. Misal, dari Regent Mall ke Magee House, ongkos taksinya adalah 4 CAD untuk taksi biasa dan 5 CAD untuk taksi yang lebih mewah (pengemudinya memakai dasi). Maka, jika saya berbagi taksi dengan 2 penumpang lain yang tidak bersama dengan saya, maka saya harus membayar penuh dan mereka juga harus membayar penuh. Kriteria yang digunakan adalah: jika naiknya atau turunnya tidak dari /ke tempat yang sama, maka harus membayar penuh. Tak mau kalah, jika naik taksi sendirian kemudian ada juga calon penumpang yang sedang menunggu taksi, maka tanyakan tujuannya padanya atau mereka. Jika tujuannya sama, maka kita pura-pura sudah saling kenal dan berangkat bersama, sehingga ongkos taksinya dapat dibagi ;-)

{1998 @ fredericton}

see other Culture Shocks

Thursday, September 07, 2006

Menyewa Kabel

Saat kedatangan saya pertama kali di Kanada untuk menempuh S2, saya langsung tertipu. Sebelum berangkat, di Indonesia, melihat di peta, Kanada terletak di lintang sekian-sekian jadi udaranya dingin. Oleh karena itu, saya pakai jaket tebal sejak di pesawat dari Hongkong - Anchorage - Toronto - Fredericton. However, ketika keluar dari pesawat. Ternyata udara panas sekali, 33°C, lebih panas dari udara Jogja di bulan Agustus itu. Bulan Agustus? Ah, kenapa saya lupa? Bulan Agustus kan masih bagian dari summer di negara ber 4 musim seperti Kanada. Lepas jaket deh.

Setelah dijemput oleh seorang teman dari BPPT dan tinggal di kostnya selama kurang lebih 3 hari, sampai tidak jetlag lagi, tiba saatnya untuk pindah mencari apartemen sendiri. Teman saya tadi bercerita bahwa sudah ada teman lain dari Departemen Kehutanan yang akan menyelesaikan studi masternya dan akan segera pulang ke Indonesia, sehingga saya dapat menempati apartemennya. Sambil menuju apartemen tersebut (Magee House, salah satu apartemen milik universitas untuk graduate student), saya bertanya: "berapa biaya per bulan yang harus saya bayar untuk menyewa apartemen tersebut?". Teman saya menjawab: "biasanya untuk kamar sekian CAD, sudah termasuk air, untuk telepon sekian CAD, internet sekian CAD, listrik sekian, lalu untuk menyewa kabel sekian". Sejurus saya terdiam keheranan lalu seperti biasa mengajukan ide yang cemerlang: "bagaimana kalau kabelnya beli sendiri saja, tidak usah menyewa?". Harapan untuk memperoleh pujian dari teman2 yang mendengar ide saya tadi berubah menjadi kebingungan ketika semua teman tertawa. Belakangan saya baru tahu kalau yang dimaksud dengan kabel adalah TV CABLE, bukan kabel listrik, jadi harus menyewa, tidak bisa membeli sendiri.

{1998 @ fredericton}

see other Culture Shocks

Wednesday, September 06, 2006