Wednesday, October 11, 2006

Disangka Orang Asing

Sudah menjadi nasib saya sering disangka bukan orang Indonesia. Dari nama saya saja, orang sering salah sangka andai belum pernah bertemu langsung dengan saya. Suatu kali di University of New Brunswick, saya ditunjuk menjadi graduate teaching assistant Prof. Sousa untuk Heat Transfer Lab (selama di sana, saya menjadi asisten 5 profesor yang berbeda) bersama dengan Jason, seorang mahasiswa graduate asli Kanada. Berhubung kami berdua belum pernah bertemu, kami saling mengirim email dan bersepakat untuk bertemu di depan kelas saat kuliah Heat Transfer. Oke. Pada masa yang telah ditentukan, saya berdiri di depan pintu kelas, melihat mahasiswa yang memasuki lecture hall untuk kuliah. Yang mana ya orang itu, pikir saya; bingung karena kebanyakan mahasiswanya berkulit putih sehingga saya tidak dapat mengira-ira yang mana teman saya tersebut. Setelah hampir semua orang masuk kelas, terlihat seseorang yang berdiri bersandar di pintu kelas, sedari tadi dia menatap ke arah datangnya massa. Ini dia orangnya, tebak saya. "Are you Jason?". Dia menatap saya lalu mengangguk, mimik mukanya terlihat bingung dan ragu. "Are you Achmed?". Demikian saya biasa dipanggil di sana. "Yes I am", jawab saya mantap sambil mengulurkan tangan. Dia menjabat tangan saya sambil tersenyum dan berkata "I was expecting an arabic guy". Tentu saja, dia mengira orang yang akan ditemuinya adalah orang Arab, that's because of my name :-)

Di kesempatan lain, saya berada di graduate computer room lantai 2 Head Hall, membaca email di komputer DEC dengan sistem operasi Unix sambil browsing membaca berita dari Indonesia. Setiap hari belasan surat kabar online Indonesia kami lahap, begitu laparnya kami akan kabar dari tanah air dan betapa rindunya kami akan ibu pertiwi. Sedang asyiknya membaca berita, tiba-tiba saja dari sebelah saya, Jeff Wong, graduate student yang berasal dari Hongkong tertawa keras sekali dan berteriak ke saya dengan bahasa yang saya sama sekali tidak dhong, sambil menunjuk-nunjuk layar monitornya yang berisi tampilan webmail. "I don't get it", kata saya ketika dia insist menyuruh saya membaca emailnya sambil terus tertawa-tawa. Apa yang saya lihat di sana hanyalah gambar huruf cina (bukan tulisan, saya selalu menganggap aksara cina adalah gambar, karena diturunkan dari gambaran benda yang diwakilinya, bukan fonem. Isn't it?). Bagian mana yang lucu, pikir saya sambil mencari gambar atau celah-celah lain yang dapat memicu syaraf tertawa saya. Jeff tertawa dan tertawa, "this email is just very funny", namun makin lama makin berubah jadi tawa kebingungan ketika melihat saya tak kunjung tertawa juga. Lalu dia bertanya: "Can you speak in chinese?". Saya menggelengkan kepala saya. Dia bertanya lagi: "Which province are you from". Dengan santainya saya jawab: "Daerah Istimewa Yogyakarta". Mendengar itu dia kebingungan mencoba merekover pengetahuan geografinya: di mana kira-kira letak provinsi ini. Rupanya dia mengira saya berasal dari daratan China. Wah, kalau begitu, sampai kapanpun gak bakalan nemuin yang namanya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di sana ;-) Setelah itu, lebih dari belasan kali orang menyangka saya berasal dari daratan China.

Sejak kedatangan saya ke Malaysia, saya selalu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan para student di kelas atau di lab. Dalam tugas saya sebagai tutor maupun lab demonstrator, saya memang tidak pernah banyak berbicara dengan lantang di depan kelas dengan dipandangi oleh semua mahasiswa. Sori saya bukan tipe seperti itu ;-) Saya mencoba menerapkan Student Centered Learning yang akhir-akhir ini saya dalami dengan teman-teman di tim pengembangan pembelajaran di UGM. Mahasiswa tidak disuapi dengan ilmu tetapi biarkan mereka mengkonstruksi sendiri ilmu yang mereka pelajari, kita hanya memfasilitasi mereka agar dapat belajar dengan baik dan memberikan temporary assistantship seperlunya. Jadi di kelas dan lab biasanya mereka diminta mencoba mengerjakan sendiri tugas mereka, lalu saya akan membantu menjelaskan jika ada pertanyaan. Jadi komunikasinya lebih bersifat individual atau dalam kelompok kecil. Suatu kali, Faizah, technician di Lab Elektronika Analog bertanya pada saya: "Where are you from?". Saya jawab kalau saya berasal dari Indonesia (kebanyakan setelah itu, pertanyaan yang diajukan adalah dari kota mana saya berasal. Dan ketika saya jawab bahwa saya berasal dari Yogyakarta, mereka kemudian berkata: "Oh, the one with earthquake!", lalu saya menjelaskan kejadian yang kami alami di bulan Mei lalu itu). Dia mengatakan kalau para mahasiswa menyangka saya berasal dari Myanmar, karena tidak pernah menggunakan bahasa Melayu maupun Indonesia di kelas. Saya tidak tahu apakah wajah saya memang mirip orang Myanmar atau tidak, tetapi suatu kali saya bertemu dengan orang Myanmar, saya ajak dia bercakap dalam bahasa Jawa karena wajahnya mirip sekali dengan orang Jawa. Tentu saja dia kebingungan :-D

Bukannya mau apa, saya memang selalu menggunakan bahasa Inggris di kelas. Pertama, karena di kelas saya yang mahasiswanya lebih dari 150 orang itu, tidak semuanya berasal dari Malaysia; banyak juga yang berasal dari negara lain seperti Iran, Sudan, India, Pakistan, Vietnam, dan lain-lain. Jadi saya tak boleh menggunakan bahasa Indonesia meskipun kebanyakan mahasiswa Malaysia memahaminya. Kedua, beberapa kata dalam bahasa Indonesia ternyata memiliki arti yang sangat berbeda dalam bahasa Melayu. Bahkan banyak kata dalam bahasa Indonesia yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari backhome, ternyata kata tersebut sangat tidak sopan untuk diucapkan di sini. Parahnya, makin berusaha untuk tidak mengucapkan kata-kata tersebut, makin sering keluar dari mulut kita, sehingga seringkali kemudian kita menyadarinya - atau ada teman yang mengingatkannya - dan kita hanya bisa ber-oooops saja sambil menutup mulut dengan tangan. Akhirnya asal saya ketahuan juga ketika suatu saat saya sedang memesan makanan di kantin desasiswa V5, tempat saya tinggal di UTP. Saya memang suka makan di kantin ini karena kokinya berasal dari Jawa Timur, jadi nasi gorengnya sangat cocok di lidah saya. "Saya pesan nasi goreng ayam satu", kata saya. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara: "Aaa, dari Indonesia ya". Ternyata di belakang saya banyak student saya yang beratur (antri) untuk memesan makanan di kantin tersebut. Sejak itu, saya sering menggunakan kata-kata dalam bahasa Melayu ketika memberikan penjelasan kepada mahasiswa tempatan (lokal), meskipun secara umum saya masih lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris.

{2006 @ tronoh.malaysia}

see other Culture Shocks

2 comments:

balzach said...

Tetaplah di channel ini pada waktu dan kesempatan yang sama. Nantikan cerita selanjutnya yang cukup menghibur :-)

Anonymous said...

wah seneng bacanya, sangat menghibur dan jadi inget waktu pak balzach mengajar di depan kelas.


alumni ft-ugm
Batu Tiga, Shah Alam, Selangor