Sunday, October 15, 2006

Ramadhan @ Canada

Ramadhan di negeri orang, selalu menjadi topik yang menarik bagi kita; terutama di negara di mana seorang muslim adalah minoritas. Berikut beberapa kejadian yang saya alami pada saat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan di Kanada.

Selama bulan Ramadhan, mahasiswa Indonesia di sini biasa berkumpul untuk berbuka puasa bersama; dan seperti biasanya pula, tempat kumpulnya adalah di apartemen kami. Buka bersama bukan hanya diikuti oleh mahasiswa dan keluarganya yang muslim, tetapi juga yang non muslim karena itu adalah kesempatan untuk bertemu dengan semua orang Indonesia di Fredericton. Pada hari tersebut, siang harinya kami bersiap untuk menghidangkan santapan untuk berbuka dan makan malam. Biasanya saya ketiban jatah untuk membuat tempura; dengan bahan dari carrot dan spinach. Pada hari terakhir ramadhan tahun 1998, acara yang dilakukan adalah makan malam bersama, bukan buka bersama. Saat itu saya masih berada di tempat kost seorang teman yang berada di King College Road, tak jauh dari apartemen kami. Selepas berbuka seperlunya dan sholat maghrib, kami menuju Magee House. Bulan Ramadhan ini tepat di pertengahan musim dingin. Timbunan salju banyak menumpuk di tepi jalan. Kami berjalan di bawah rintikan salju yang turun dari langit lembut mengenai jaket tebal yang kami kenakan. Meskipun jarak antara King College Rd dan Magee House tak jauh, kami memilih untuk berjalan memutar melalui Regent Street. Kami bersepakat untuk bertakbir berdua di sepanjang jalan. Suara takbir kami berdua - tak begitu keras karena terpaan angin dingin yang membawa butiran salju masuk ke dalam mulut - menggema ditelan sepinya malam di jalan yang kami lalui. Mungkin tak ada yang mendengar kami. Tetapi, pepohonan dan semak-semak yang tertutup lapisan salju memutih di sepanjang Kings College Rd, Regent St, dan Montgomery St terasakan ikut bergerak diselingi suara angin yang lalu, menyambut suara takbir yang mungkin belum pernah mereka dengarkan sebelumnya di sana. Menunjukkan rasa kehilangan yang akan kami alami karena hari ini adalah hari terakhir bulan Ramadhan tahun itu di Fredericton. Sungguh, getaran suara itu, akan selalu terngiang di telinga tatkala saya teringat akan saat itu.

Saat menjelang pergantian tahun, masih dalam bulan Ramadhan juga, kami berbanyak pergi ke Prince Edward Island, provinsi terkecil di Kanada, berupa sebuah pulau di Teluk Saint Lawrence yang berbatasan dengan Samudera Atlantic dan merupakan pulau terbesar nomor 104 di dunia! ;-). Penduduk provinsi di sebelah timur New Brunswick ini kurang dari 150 ribu jiwa namun pendapatan perkapita tahun ini mencapai hampir 300 juta rupiah. Pulau ini menjadi terkenal - terutama di Jepang, terbukti dengan banyaknya wisatawan Jepang ke sana - karena Lucy Maud Montgomery menulis sebuah novel klasik yang berjudul Anne of Green Gable dengan setting pulau tersebut. Kunjungan ke kediaman sebuah keluarga Canada-Solo yang tinggal di sana adalah merupakan tradisi bagi mahasiswa Indonesia yang berada di Fredericton. Untuk mencapai Charlottetown kami melewati Confederation Bridge, sebuah jembatan sepanjang hampir 13 km yang menghubungkan mainland dengan pulau tersebut. Asyik juga melalui jembatan tersebut di mana sepanjang mata memandang di sekeliling terlihat lautan yang biru gelap membeku. Penduduk pulau tersebut banyak yang merupakan keturunan Scottish dan Irish, yang terkenal dengan alat musik fiddle, tap dance, dan peminum bir. Pada pergantian tahun, gubernur menyelenggarakan open house, kami semua hadir untuk melihat keunikan budaya Celtic di sini. Tersedia banyak makanan; namun beberapa dari kami yang muslim tidak dapat menikmatinya karena hari masih belum terlalu sore - kami masih berpuasa. Jadi, ketika orang-orang makan dengan lahap, kami hanya melihat-lihat saja, hingga orang-orang bertanya-tanya. Dengan lugas kami menjelaskan arti bulan Ramadhan dan mereka antusias sekali mendengarkannya. Saat itu, kami sering-sering menilik jam tangan; tatkala sudah menjelang waktu maghrib, kamipun bergegas mengambil piring dan mulai mengoleksi makanan - seperti biasanya kami ambil hidangan untuk vegetarian atau seafood untuk amannya. Dan saat berbuka puasapun tiba. Kami saling memberi kode dan mulailah kami menyantap setumpuk makanan di piring besar. Orang-orangpun kembali bertanya-tanya. Lho, katanya tadi puasa, kok sekarang makan. Maka, kemudian kami menjelaskan kembali bahwa sekarang sudah saatnya berbuka sehingga boleh makan. Mereka terlihat antusias lagi mendengarkannya. Kali ini, mereka yang mengalami culture shock ya ;-)

Buka puasa bersama dengan para moslem brothers dan sisters dari negara lain merupakan pengalaman yang mengesankan di sini. Setiap Sabtu, FIA (Fredericton Islamic Association) mengadakan buka puasa bersama dengan model potluck, setiap keluarga membawa makanan untuk dimakan bersama. Biasanya, untuk mahasiswa yang tidak datang dengan keluarga, cukup membawa minuman atau makanan ringan. Tempatnya berpindah-pindah, namun masih di lingkungan kampus UNB. Saat itulah kesempatan untuk menikmati hidangan dari berbagai negara, terutama yang mayoritas penduduknya muslim. Hal yang menguntungkan adalah: saya termasuk orang yang omnivora; rentang akseptabilitas rasa dan selera perut saya ini sangat lebar, sehingga saya bisa mencicip segala macam makanan yang tersedia tanpa terlalu pilih-pilih. Hal yang tidak menguntungkan: volume perut saya termasuk kecil, sehingga tidak bisa makan terlalu banyak- jika dipaksa maka akan mendesak diafragma dan terasa menyesakkan dada. BTW, dengan demikian di acara potluck tersebut saya makan tidak terlalu banyak dalam kuantitas namun banyak dalam variasinya. Alhasil, seringkali nasi jadi lauk dan lauk jadi makanan pokok ;-) Di saat lain, mahasiswa yang bersendirian di sini seringkali diundang oleh keluarga-keluarga muslim untuk berbuka puasa di rumah mereka. Pokoknya kelarisan dah ;-) Termasuk keluarga dari Maroko yang mengundang saya dan teman saya dari ITS untuk berbuka dengan beberapa mahasiswa dari negara lain. Kamipun berangkatlah ke rumahnya. Tersedia hidangan sangat banyak di meja makan. Saat buka puasa tiba, setelah makanan ringan sekadarnya serta sholat maghrib berjamaah, tibalah saat untuk makanan besar. Kok ya piring yang tersedia besar banget, kayak nampan aja ukurannya. Ya sudah, saya ambil nasi dan lauk hingga separuh piring tak sampai. Ini sudah banyak, pikir saya sambil melihat teman-teman lain mengambil makanan sepiring penuh bahkan sampai menggunung memenuhi tepinya. Tuan rumah bola-bali meminta saya untuk mengambil lebih. Dikiranya saya malu-malu untuk makan banyak-banyak. Tak lah. Ini sudah cukup mengenyangkan saya, sambil menyantap dan mengobrol bersama mereka. Habis sepiring, eh ternyata mereka go for the second round!!! Segunung lagi. Ya ampun, ini sih balas dendam ;-) Saya tidak tergoda untuk mengikuti mereka, namun masih cukuplah tersisa ruangan untuk hidangan penutup berupa buah, hingga kemudian saya tergolek kepenuhan di sofa melihat ganasnya mereka menghabiskan hidangan yang ada.

{2000 @ canada}

see other Culture Shocks

No comments: