"Sorry seems to be the hardest word" dan "Hard to say I'm sorry". Demikian kata para penyanyi untuk menunjukkan betapa sulitnya kita meminta maaf. Namun ternyata ada kata lain yang biasanya tidak mudah kita ucapkan: terima kasih (thanks, danke, merci, gracias, shukran, arigato gozaimasu, matur nuwun, hatur nuhun, matur suksama ..., etc). Seorang teman kebingungan saat-saat awal kuliah di Jerman, karena setiap selesai kuliah/kelas terdengar suara riuh rendah tangan mahasiswa mengetuk-ngetuk (memukul) meja/bangku di kelas. Setelah beberapa kali kuliah, ada seorang temannya yang mengetahui dia tidak ikut mengetukkan tangan di meja, kemudian mengingatkan dia agar ikut mengetuk meja jika kuliah sudah selesai. "Mengapa harus mengetuk meja?", tanyanya. Temannya lalu menjelaskan bahwa itu adalah tradisi di Jerman untuk menghargai dosen yang telah memberikan kuliah. Wah, seperti tepuk tangan saja kayaknya ya. :-P
Pada awal-awal saya menjadi asisten di Universiti Teknologi Petronas Malaysia, saya juga mengalami kekagetan yang sama seperti teman saya tadi. Setiap selesai mengampu tutorial di kelas atau sehabis praktikum di lab, para pelajar (mahasiswa) mendatangi saya dan mengucapkan terima kasih. "Thank you sir", kata mereka. Ini bukan hal yang biasa saya temui di Jogja. Saya belum mengkonfirmasi apakah di tempat lain di Indonesia juga sama, tapi beberapa teman yang berasal dari daerah yang berbeda ketika saya tanya mengatakan hal yang sama: ketika kelas bubar, para mahasiswa kebanyakan langsung saja keluar tanpa menyapa dosennya (beberapa mengerubungi dosen sambil menyodorkan flashdisk untuk mengkopi bahan kuliah yang baru saja ditayangkan) :-).
Apa yang saya alami di UTP itu menarik bagi saya. Bukannya kita gila terima kasih, karena toh apa yang kita lakukan adalah tugas yang memang sudah seharusnya kita jalankan tanpa mengharap terima kasih. Namun, saya coba berfikir, apa yang ada di balik peristiwa itu (ceile...). Apa kira-kira yang mendorong para mahasiswa mengucapkan terima kasih di setiap akhir kuliah. Boleh jadi kita berfikir bahwa itu hanyalah tradisi semata, namun kalau melihat raut wajah mereka, kelihatannya mereka melakukannya dengan tulus. Tentu saja itu adalah tradisi yang baik, dan membentuk suatu tradisi tentu saja tidak mudah dan memerlukan waktu yang sangat panjang, karena menyangkut perubahan mindset. Lumrahnya, seseorang akan menyampaikan terima kasih apabila dia memperoleh sesuatu yang bermanfaat bagi dia. Dengan demikian, secara positif kita berfikiran bahwa para mahasiswa tersebut merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat dari kita dalam kelas yang kita ampu tadi hingga mereka merasa "berkewajiban" untuk mengucapkan terima kasih. Hanya saja yang perlu kita renungkan adalah: apakah kita "berhak" untuk menerimanya, jika kita bandingkan dengan apa yang telah kita berikan pada mereka. Sebagai pendidik, adalah suatu kebahagiaan tersendiri ketika apa yang kita sampaikan pada anak didik (padahal belum tentu anak-anak lho) dapat diterima dengan baik, apalagi kalau sampai mereka merasakan manfaatnya. Namun bagi saya, tidak ada tempat berhenti untuk berpuas diri sampai di sini; hal itu memotivasi saya untuk lebih meningkatkan lagi kinerja saya, dengan harapan agar penerimaan mereka tidak berkurang. Dengan demikian, proses pembelajaran oleh mahasiswa yang kita fasilitasi adalah sesuatu yang bersifat manusiawi dan melibatkan perasaan, bukan hanya sekadar transaksi seperti halnya jual beli barang, atau hanya sekadar menjalankan tugas seadanya. Coba: kebanyakan dari kita memiliki sense of appreciation yang relatif rendah. Berapa banyak kita yang memberi apresiasi pada hasil kerja mahasiswa dalam mengerjakan tugas. Tidakkah sebaiknya kita juga berterimakasih pada mereka ketika mereka mengumpulkan tugas dengan baik dan tepat waktu: "Terima kasih telah membantu memperlancar proses pembelajaran yang telah dirancang", misalnya.
Pengalaman yang lebih menarik lagi, tidak cukup dengan mengucapkan terima kasih, seorang teman yang kelas yang diampunya semua mahasiswanya adalah laki-laki, ketika selesai kuliah semua mahasiswanya tadi antri untuk menyalami dia. Pemandangannya kira-kira sama seperti saat pamitan kenduren :-P. BTW, ini adalah salah satu dari banyak hal baik yang dimiliki oleh masyarakat Malaysia dalam pandangan saya. Two thumbs up deh.
Ucapan terima kasih memang menimbulkan energi positif baik pada si pemberi maupun si penerima. By the way, energi positif tersebut dapat bernilai lebih tinggi lagi apabila kita memberikan lebih dari ucapan terima kasih. Ucapan itu kan disampaikan sebagai ganti atas apa yang telah diberikan oleh si penerima pada pemberi, yang dapat berupa barang, jasa, maupun ucapan, dukungan moril, dan lain-lain. Sebagai muslim, adalah lebih afdol jika kita juga mengucapkan jazakallahu khayraan misalnya. Dengan kata lain, kita mendo'akan orang yang telah membantu kita tersebut dengan do'a semoga Allah Swt membalasnya dengan kebaikan. Bayangkan apabila ketika mendengar do'a tersebut, orang yang kita terimakasihi membalasnya lagi dengan do'a yang sama. Maka energi positif yang muncul menjadi berlipat-lipat semakin besar.
{2006 @ malaysia}
see other Culture Shocks
Wednesday, December 20, 2006
Friday, December 01, 2006
Berlalulintas dengan Baik
Ada unit kepolisian Canada yang menggunakan kuda sebagai tunggangan (lihat gambar). Aksi juga ya, biasanya mereka bertugas di pedesaan sehingga mudah untuk mengejar penjahat yang melarikan diri melewati pegunungan dan hutan. Cerita-cerita kali ini ada yang berhubungan dengan polisi terutama saat berlalulintas.
Suatu summer kami berbanyak orang pergi ke daerah pedesaan di sebelah selatan New Brunswick dekat pembangkit listrik tenaga air. Di sebelahnya ada danau yang cukup besar hingga angin dapat menyebabkan terjadinya ombak kecil. Di tepi danau ditimbun pasir yang diambil dari pantai. Orang-orang di situ menyebut tempat itu beach alias pantai karena kalau ke pantai yang sesungguhnya jaraknya cukup jauh (Orang Canada benar-benar seleranya rendah deh untuk urusan perpantaian. Pernah kami pergi ke Saint John dan mengunjungi Tourist Information Center untuk menanyakan pantai yang terbagus di sana. Oleh petugasnya kami diberi petunjuk jalan ke pantai yang terbagus menurut catatan mereka. Namun betapa kecewanya kami ketika sampai di sana, ternyata gak bagus-bagus amat deh. Bahkan jauh lebih bagus pantai-pantai di Jogja atau Jawa. Dan, pastilah mereka akan sangat terkejut kalau mengunjungi pantai-pantai di Pulau Bali atau Lombok. Dijamin:-) Kami menyewa rumah mobil (caravan) untuk beberapa hari dan menyiapkan barbeque yang merupakan tradisi kami selama musim panas. Tetangga kami di camping ground adalah keluarga dengan beberapa anak kecil. Pagi-pagi saya mengobrol dengan 2 anak mereka yang membawa ular yang diambil dari hutan di sebelah bumi perkemahan tersebut. Kok tidak takut? Kata mereka, salah satu pelajaran di sekolah mereka adalah pengenalan alam yang di antaranya pergi ke hutan untuk mengidentifikasi ular yang beracun ataupun yang tidak, "And this one is not poisonous", kata mereka. Wah ini rupanya bagian dari pendidikan di sana: mengenal alam, sehingga kamu mencintainya, tak kenal maka tak sayang kan. Pagi itu sehabis sarapan buatan sendiri, kami pergi ke pantai. Kebetulan seorang teman ingin menyetir, maka kami persilahkan menyetirlah dia ke pantai danau tadi. Di perjalanan kami lihat jauh di muka ada truk yang berjalan ke arah kami dengan laju yang cukup cepat. Kayaknya pengemudi truk itu mabuk deh, mosok jalan bukan di sisi yang benar. Maka teman saya tadi mengklaksonnya. Anehnya si pengemudi truk malah gantian mengklakson dan menyalakan lampu jauh. Wah, bener-bener mabuk nih dia. Ketika truk tersebut sudah agak dekat, tiba-tiba saja salah satu dari kami teringat: lho, di Canada tuh kendaraan jalan di sebelah kanan, bukan kiri seperti di Indonesia. Menyadari hal itu, teman kami segera membanting setir ke kanan dan kembali ke sisi yang benar. Pengemudi truk melintasi mobil kami sambil mengacungkan jempol ke atas dan tersenyum. Jadi, siapa yang mabuk? :-P
Fredericton adalah kota yang dibelah oleh sebuah sungai, yaitu Saint John River. Pusat kota atau downtown terletak di tepian sungai yang cukup lebar tersebut. Dua buah jembatan melintas di atas sungai menghubungkan kedua sisi kota. UNB sendiri terletak di atas bukit hampir 1 km dari sungai. Kami sering turun ke downtown untuk berjalan-jalan di taman yang terletak memanjang di tepi sungai. Taman-taman tersebut diselingi hutan yang di dalamnya sering digunakan untuk bersembunyi para gelandangan. Kegiatan menggelandang merupakan perbuatan melanggar hukum di New Brunswick. Bagi orang yang tidak punya rumah telah disediakan rumah penampungan oleh pemerintah daerah. Makanan serta pakaianpun disediakan secara gratis. Di mall, di pintu keluar supermarket, terdapat kotak yang disediakan bagi pengunjung mall untuk menyumbang makanan atau benda-benda kebutuhan hidup yang lain bagi penghuni rumah penampungan tersebut. Namun, tetap saja banyak gelandangan yang memilih untuk tinggal di luar karena jika tinggal di rumah penampungan tersebut mereka merasa tidak bebas lagi: harus pulang sebelum pukul 10 malam, serta tidak boleh mabuk-mabukan. Alhasil, mereka memilih untuk bersembunyi di hutan misalnya, tentu dengan risiko masuk pengadilan jika tertangkap polisi. Rumah penampungan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pendatang jika tidak punya uang untuk menginap dan membeli makanan, atau bagi pendatang yang pelit pada dirinya sendiri dan mau menghemat uangnya :-) Suatu kali, kami bepergian ke sungai, seperti kebiasaaan setiap summer, untuk bermain canoe atau kayak di sungai. Sementara teman-teman berjalan kaki, saya meminjam sepeda seorang teman yang kuliah di community college yang ada di downtown. Terlihat seorang polisi mendekat, kami mengenalinya sebagai polisi taman: menggunakan sepeda juga dan mengenakan celana pendek. Dia menghentikan sepeda saya dan mengingatkan saya untuk menggunakan helm. "Yes sir. I'll wear it. I forgot to bring it by me". Oke, lain kali pakai ya. Saya mengangguk dan dia pergi. Saya sendiri kemudian menuntun sepeda tersebut sampai kami pulang, tidak berani mengendarainya karena tak pakai helm. Betul-betul kota yang teratur berlalu-lintas. Sampai di tamanpun tetap harus berlalulintas dengan baik :-P
Di saat lain, saya pulang dari camp militer di Gagetown (pada bagian lain saya telah bercerita tentang pengungsi Kosovo di Kanada). Gagetown berada di daerah pedesaan yang sepi, sekitar 20 km dari Fredericton. Karena tidak punya kendaraan sendiri, saya menumpang mobil Ali, seorang mahasiswa program doktoral dari Tanzania. Ali ini adalah teman yang menjemput saya dari bandara Fredericton ketika saya tiba untuk pertama kali di sana, dan juga teman yang mengantar ke bandara ketika saya hendak pulang ke tanah air selepas menyelesaikan studi saya. Thanks alot Ali, you are my real brother. God bless you and your family. Sayang sekali kau harus mendapat cobaan fitnah dari orang-orang di negara asalmu. Berdua naik mobil kami menyusuri jalanan desa menuju jalan utama. Sebelum memasuki jalan utama, kami melewati gerbang camp serta melapor ke petugas yang berjaga yang kemudian membukakan palang pintu gerbang camp. Jarak antara gardu jaga dengan jalan utama sangat dekat sekali, sekitar 10 m. Sekeluar dari pintu gerbang, sambil menengok kiri kanan melihat jalan utama yang sepi. Ali langsung membelokkan mobil masuk jalan utama, meskipun kami aware dengan rambu lalu lintas yang bertuliskan Stop, toh jalan sepi gitu kok, tidak ada kendaraan lain selain mobil yang saya tumpangi. Baru sekitar 25 m dari saat kami membelok, terdengar suara sirine dari arah belakang, nguuuung. Saya mengenalinya sebagai suara sirine mobil polisi. Benar, ada mobil polisi di belakang kami. Lhah... dari mana munculnya mobil itu, kok tadi tidak kelihatan sama sekali. Rupanya mobil itu juga baru saja keluar dari camp Gagetown. Ali segera menepikan mobil dan memperlambat jalannya. Mobil polisi tadi melintas di sisi mobil kami. Salah satu officer menjulurkan kepala ke arah kami dan berteriak: "Next time we'll fine you 50 bucks". Kami pun mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti dan mereka segera melajukan kendaraan serta meninggalkan kami. Ali berkata bahwa kami telah berbuat salah karena melanggar rambu lalu lintas bertuliskan Stop tadi. Sebelum masuk jalan utama, kami semestinya berhenti sampai kendaraan tidak bergerak sama sekali, dan jika kondisi memungkinkan baru boleh menjalankan kendaraan lagi masuk ke jalan utama. Padahal tadi jelas tidak ada kendaraan sama sekali yang melintas di jalan utama ketika kami akan masuk. Tapi tetap saja, di sini kita harus berlalulintas dengan baik. :-P
Dalam hal berlalulintas dengan baik menggunakan kendaraan, SIM (surat izin mengemudi) merupakan benda yang sangat penting yang harus dimiliki pengemudi kendaraan bermotor. Di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum secara luas bahwa ujian SIM hanya formalitas belaka. Yang lebih parah lagi bahkan tanpa ujian pun SIM bisa diperoleh dengan mudah. Itulah mengapa tingkat pelanggaran lalulintas di negeri kita tercinta sangat tinggi, sebaliknya etika dan sopan santun berlalulintas kita sangat rendah sekali. Di Kanada untuk memperoleh SIM, seseorang harus mengikuti ujian teori dan ujian praktek mengemudi. Ujian teori biasanya dapat dilakukan dengan mudah karena materinya dapat dipelajari dari buku. Namun yang menjadi momok biasanya adalah pada saat ujian praktek. Seorang teman dari RRC bermaksud mencari SIM, ketika selesai ujian praktek, melihat wajahnya yang sedih kami bertanya: bagaimana Wu, apakah sukses ujiannya? Dia hanya menggelengkan kepala. Kenapa? tanya kami lagi. Rupanya dia menjalankan mobilnya terlalu cepat alias ngebut. Jelas saja dia gagal, karena ngebut atau menjalankan kendaraan melebihi kecepatan yang diperkenankan adalah pelanggaran yang tergolong cukup berat karena membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dia baru diperbolehkan ikut ujian lagi setelah 2 minggu. Pada kesempatan berikutnya, dia mengikuti ujian praktek lagi. Sehabis ujian, dia terlihat tertunduk lesu, wah gagal lagi kayaknya. Padahal kan dia sudah belajar dari pengalaman sebelumnya. Kamipun bertanya lagi: bagaimana Wu, apakah sukses ujiannya? Dia kembali menggelengkan kepala. Kenapa? tanya kami lagi. Kamu tidak ngebut lagi kan? Wu menjelaskan bahwa kali ini dia gagal ujian karena menjalankan mobilnya terlalu lambat sehingga terlalu banyak mobil lain yang terpaksa antri di belakangnya. Ada-ada saja :-P
Tapi begitulah, memang petugas di sana tegas dan taat pada aturan yang ada. Seorang teman dari Jakarta membuat SIM internasional sebelum berangkat ke Kanada, dengan harapan dapat menggunakannya di sana. Apa daya ternyata SIM tersebut dianggap tidak berlaku, sehingga dia harus mencari SIM lagi di sana. Seorang teman lain dari Surabaya tidak sempat mencari SIM internasional ketika di Indonesia. Namun dia membawa SIM Indonesianya yang dibuat di Surabaya. Iseng-iseng dia tanyakan ke kantor urusan lalulintas di Fredericton, apakah SIM tersebut berlaku. Petugas agak kebingungan memeriksa SIM tersebut, karena semuanya tertulis dalam bahasa Indonesia, kecuali satu, yaitu: ada tulisannya Driver License. O jadi ini memang surat ijin mengemudi, katanya, lalu dilihatnya ada huruf C besar di latar belakang kartu SIM tersebut. Lho, apa arti huruf C ini, tanyanya. Dengan tenang teman saya menjawab: oh, C itu artinya Car. Petugaspun manggut-manggut, jadi ini surat ijin mengemudi mobil. Akhirnya SIM tersebut boleh dipergunakan oleh teman saya tadi, dengan alasan status teman saya adalah student. Namun ada batasannya. Saya kurang jelas dengan maksud batasan tersebut, apakah artinya dibatasi untuk waktu tertentu atau untuk daerah tertentu, misalnya tidak boleh keluar kota. Yang jelas tak sampai setahun kemudian teman saya mengikuti tes untuk memperoleh SIM di sana. Dia pun harus melakukan ujian praktek, mengemudi di jalan raya dengan ditemani oleh petugas yang duduk di kursi sebelahnya. Saat pertama masuk mobil, petugas langsung membuat catatan di bloknotnya. Teman saya langsung berkeringat dingin: apa kesalahan saya, pikirnya. Rupanya ketika dia masuk mobil, setelah menutup pintu dia langsung memegang kunci mobil dan menstaternya. Padahal menurut aturan, sebelum menstater mobil, yang pertama dilakukan adalah memasang sabuk pengaman, kemudian kita harus memeriksa persneling dulu untuk memastikan posisinya adalah netral, baru boleh menstater mesin. Teman saya menjadi gugup, karena dia mendapat 1 poin kesalahan. Apabila poin kesalahannya telah mencapai 5 maka dia akan dinyatakan gagal dalam ujian praktek ini. Dia jadi berhati-hati dalam menyetir, tapi kemudian ingat kasus si Wu yang gagal karena berjalan terlalu pelan sehingga mengeblok arus lalulintas di belakangnya. Jadi harus agak kencang jalannya, pikirnya. Tiba di perempatan jalan lampu merah menyala, teman saya menghentikan mobil. Si petugas mengatakan sesuatu dan memberi tanda untuk nanti membelok ke arah kiri. Saking gugupnya, teman saya langsung tancap gas dan membelokkan mobil ke arah kiri. Padahal lampu masih berwarna merah, karuan saja persimpangan tersebut langsung jadi riuh dengan suara klakson mobil dari arah depan yang jalannya terpotong oleh mobil teman saya. Petugaspun ikut berteriak-teriak hingga teman saya makin gugup. Akhirnya setelah lolos dari perempatan tersebut, petugas langsung berkata: "Let's go back to office. You almost killed me". Teman saya lemas, itu tanda-tanda bahwa dia telah gagal ujian praktek ini, dan tidak diperbolehkan mengikuti ujian selanjutnya selama minimal 1 bulan :-) Makanya, berlalulintaslah dengan baik dan benar.
{1998-2000 @ new brunswick}
see other Culture Shocks
Suatu summer kami berbanyak orang pergi ke daerah pedesaan di sebelah selatan New Brunswick dekat pembangkit listrik tenaga air. Di sebelahnya ada danau yang cukup besar hingga angin dapat menyebabkan terjadinya ombak kecil. Di tepi danau ditimbun pasir yang diambil dari pantai. Orang-orang di situ menyebut tempat itu beach alias pantai karena kalau ke pantai yang sesungguhnya jaraknya cukup jauh (Orang Canada benar-benar seleranya rendah deh untuk urusan perpantaian. Pernah kami pergi ke Saint John dan mengunjungi Tourist Information Center untuk menanyakan pantai yang terbagus di sana. Oleh petugasnya kami diberi petunjuk jalan ke pantai yang terbagus menurut catatan mereka. Namun betapa kecewanya kami ketika sampai di sana, ternyata gak bagus-bagus amat deh. Bahkan jauh lebih bagus pantai-pantai di Jogja atau Jawa. Dan, pastilah mereka akan sangat terkejut kalau mengunjungi pantai-pantai di Pulau Bali atau Lombok. Dijamin:-) Kami menyewa rumah mobil (caravan) untuk beberapa hari dan menyiapkan barbeque yang merupakan tradisi kami selama musim panas. Tetangga kami di camping ground adalah keluarga dengan beberapa anak kecil. Pagi-pagi saya mengobrol dengan 2 anak mereka yang membawa ular yang diambil dari hutan di sebelah bumi perkemahan tersebut. Kok tidak takut? Kata mereka, salah satu pelajaran di sekolah mereka adalah pengenalan alam yang di antaranya pergi ke hutan untuk mengidentifikasi ular yang beracun ataupun yang tidak, "And this one is not poisonous", kata mereka. Wah ini rupanya bagian dari pendidikan di sana: mengenal alam, sehingga kamu mencintainya, tak kenal maka tak sayang kan. Pagi itu sehabis sarapan buatan sendiri, kami pergi ke pantai. Kebetulan seorang teman ingin menyetir, maka kami persilahkan menyetirlah dia ke pantai danau tadi. Di perjalanan kami lihat jauh di muka ada truk yang berjalan ke arah kami dengan laju yang cukup cepat. Kayaknya pengemudi truk itu mabuk deh, mosok jalan bukan di sisi yang benar. Maka teman saya tadi mengklaksonnya. Anehnya si pengemudi truk malah gantian mengklakson dan menyalakan lampu jauh. Wah, bener-bener mabuk nih dia. Ketika truk tersebut sudah agak dekat, tiba-tiba saja salah satu dari kami teringat: lho, di Canada tuh kendaraan jalan di sebelah kanan, bukan kiri seperti di Indonesia. Menyadari hal itu, teman kami segera membanting setir ke kanan dan kembali ke sisi yang benar. Pengemudi truk melintasi mobil kami sambil mengacungkan jempol ke atas dan tersenyum. Jadi, siapa yang mabuk? :-P
Fredericton adalah kota yang dibelah oleh sebuah sungai, yaitu Saint John River. Pusat kota atau downtown terletak di tepian sungai yang cukup lebar tersebut. Dua buah jembatan melintas di atas sungai menghubungkan kedua sisi kota. UNB sendiri terletak di atas bukit hampir 1 km dari sungai. Kami sering turun ke downtown untuk berjalan-jalan di taman yang terletak memanjang di tepi sungai. Taman-taman tersebut diselingi hutan yang di dalamnya sering digunakan untuk bersembunyi para gelandangan. Kegiatan menggelandang merupakan perbuatan melanggar hukum di New Brunswick. Bagi orang yang tidak punya rumah telah disediakan rumah penampungan oleh pemerintah daerah. Makanan serta pakaianpun disediakan secara gratis. Di mall, di pintu keluar supermarket, terdapat kotak yang disediakan bagi pengunjung mall untuk menyumbang makanan atau benda-benda kebutuhan hidup yang lain bagi penghuni rumah penampungan tersebut. Namun, tetap saja banyak gelandangan yang memilih untuk tinggal di luar karena jika tinggal di rumah penampungan tersebut mereka merasa tidak bebas lagi: harus pulang sebelum pukul 10 malam, serta tidak boleh mabuk-mabukan. Alhasil, mereka memilih untuk bersembunyi di hutan misalnya, tentu dengan risiko masuk pengadilan jika tertangkap polisi. Rumah penampungan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pendatang jika tidak punya uang untuk menginap dan membeli makanan, atau bagi pendatang yang pelit pada dirinya sendiri dan mau menghemat uangnya :-) Suatu kali, kami bepergian ke sungai, seperti kebiasaaan setiap summer, untuk bermain canoe atau kayak di sungai. Sementara teman-teman berjalan kaki, saya meminjam sepeda seorang teman yang kuliah di community college yang ada di downtown. Terlihat seorang polisi mendekat, kami mengenalinya sebagai polisi taman: menggunakan sepeda juga dan mengenakan celana pendek. Dia menghentikan sepeda saya dan mengingatkan saya untuk menggunakan helm. "Yes sir. I'll wear it. I forgot to bring it by me". Oke, lain kali pakai ya. Saya mengangguk dan dia pergi. Saya sendiri kemudian menuntun sepeda tersebut sampai kami pulang, tidak berani mengendarainya karena tak pakai helm. Betul-betul kota yang teratur berlalu-lintas. Sampai di tamanpun tetap harus berlalulintas dengan baik :-P
Di saat lain, saya pulang dari camp militer di Gagetown (pada bagian lain saya telah bercerita tentang pengungsi Kosovo di Kanada). Gagetown berada di daerah pedesaan yang sepi, sekitar 20 km dari Fredericton. Karena tidak punya kendaraan sendiri, saya menumpang mobil Ali, seorang mahasiswa program doktoral dari Tanzania. Ali ini adalah teman yang menjemput saya dari bandara Fredericton ketika saya tiba untuk pertama kali di sana, dan juga teman yang mengantar ke bandara ketika saya hendak pulang ke tanah air selepas menyelesaikan studi saya. Thanks alot Ali, you are my real brother. God bless you and your family. Sayang sekali kau harus mendapat cobaan fitnah dari orang-orang di negara asalmu. Berdua naik mobil kami menyusuri jalanan desa menuju jalan utama. Sebelum memasuki jalan utama, kami melewati gerbang camp serta melapor ke petugas yang berjaga yang kemudian membukakan palang pintu gerbang camp. Jarak antara gardu jaga dengan jalan utama sangat dekat sekali, sekitar 10 m. Sekeluar dari pintu gerbang, sambil menengok kiri kanan melihat jalan utama yang sepi. Ali langsung membelokkan mobil masuk jalan utama, meskipun kami aware dengan rambu lalu lintas yang bertuliskan Stop, toh jalan sepi gitu kok, tidak ada kendaraan lain selain mobil yang saya tumpangi. Baru sekitar 25 m dari saat kami membelok, terdengar suara sirine dari arah belakang, nguuuung. Saya mengenalinya sebagai suara sirine mobil polisi. Benar, ada mobil polisi di belakang kami. Lhah... dari mana munculnya mobil itu, kok tadi tidak kelihatan sama sekali. Rupanya mobil itu juga baru saja keluar dari camp Gagetown. Ali segera menepikan mobil dan memperlambat jalannya. Mobil polisi tadi melintas di sisi mobil kami. Salah satu officer menjulurkan kepala ke arah kami dan berteriak: "Next time we'll fine you 50 bucks". Kami pun mengangguk-anggukkan kepala pertanda mengerti dan mereka segera melajukan kendaraan serta meninggalkan kami. Ali berkata bahwa kami telah berbuat salah karena melanggar rambu lalu lintas bertuliskan Stop tadi. Sebelum masuk jalan utama, kami semestinya berhenti sampai kendaraan tidak bergerak sama sekali, dan jika kondisi memungkinkan baru boleh menjalankan kendaraan lagi masuk ke jalan utama. Padahal tadi jelas tidak ada kendaraan sama sekali yang melintas di jalan utama ketika kami akan masuk. Tapi tetap saja, di sini kita harus berlalulintas dengan baik. :-P
Dalam hal berlalulintas dengan baik menggunakan kendaraan, SIM (surat izin mengemudi) merupakan benda yang sangat penting yang harus dimiliki pengemudi kendaraan bermotor. Di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum secara luas bahwa ujian SIM hanya formalitas belaka. Yang lebih parah lagi bahkan tanpa ujian pun SIM bisa diperoleh dengan mudah. Itulah mengapa tingkat pelanggaran lalulintas di negeri kita tercinta sangat tinggi, sebaliknya etika dan sopan santun berlalulintas kita sangat rendah sekali. Di Kanada untuk memperoleh SIM, seseorang harus mengikuti ujian teori dan ujian praktek mengemudi. Ujian teori biasanya dapat dilakukan dengan mudah karena materinya dapat dipelajari dari buku. Namun yang menjadi momok biasanya adalah pada saat ujian praktek. Seorang teman dari RRC bermaksud mencari SIM, ketika selesai ujian praktek, melihat wajahnya yang sedih kami bertanya: bagaimana Wu, apakah sukses ujiannya? Dia hanya menggelengkan kepala. Kenapa? tanya kami lagi. Rupanya dia menjalankan mobilnya terlalu cepat alias ngebut. Jelas saja dia gagal, karena ngebut atau menjalankan kendaraan melebihi kecepatan yang diperkenankan adalah pelanggaran yang tergolong cukup berat karena membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dia baru diperbolehkan ikut ujian lagi setelah 2 minggu. Pada kesempatan berikutnya, dia mengikuti ujian praktek lagi. Sehabis ujian, dia terlihat tertunduk lesu, wah gagal lagi kayaknya. Padahal kan dia sudah belajar dari pengalaman sebelumnya. Kamipun bertanya lagi: bagaimana Wu, apakah sukses ujiannya? Dia kembali menggelengkan kepala. Kenapa? tanya kami lagi. Kamu tidak ngebut lagi kan? Wu menjelaskan bahwa kali ini dia gagal ujian karena menjalankan mobilnya terlalu lambat sehingga terlalu banyak mobil lain yang terpaksa antri di belakangnya. Ada-ada saja :-P
Tapi begitulah, memang petugas di sana tegas dan taat pada aturan yang ada. Seorang teman dari Jakarta membuat SIM internasional sebelum berangkat ke Kanada, dengan harapan dapat menggunakannya di sana. Apa daya ternyata SIM tersebut dianggap tidak berlaku, sehingga dia harus mencari SIM lagi di sana. Seorang teman lain dari Surabaya tidak sempat mencari SIM internasional ketika di Indonesia. Namun dia membawa SIM Indonesianya yang dibuat di Surabaya. Iseng-iseng dia tanyakan ke kantor urusan lalulintas di Fredericton, apakah SIM tersebut berlaku. Petugas agak kebingungan memeriksa SIM tersebut, karena semuanya tertulis dalam bahasa Indonesia, kecuali satu, yaitu: ada tulisannya Driver License. O jadi ini memang surat ijin mengemudi, katanya, lalu dilihatnya ada huruf C besar di latar belakang kartu SIM tersebut. Lho, apa arti huruf C ini, tanyanya. Dengan tenang teman saya menjawab: oh, C itu artinya Car. Petugaspun manggut-manggut, jadi ini surat ijin mengemudi mobil. Akhirnya SIM tersebut boleh dipergunakan oleh teman saya tadi, dengan alasan status teman saya adalah student. Namun ada batasannya. Saya kurang jelas dengan maksud batasan tersebut, apakah artinya dibatasi untuk waktu tertentu atau untuk daerah tertentu, misalnya tidak boleh keluar kota. Yang jelas tak sampai setahun kemudian teman saya mengikuti tes untuk memperoleh SIM di sana. Dia pun harus melakukan ujian praktek, mengemudi di jalan raya dengan ditemani oleh petugas yang duduk di kursi sebelahnya. Saat pertama masuk mobil, petugas langsung membuat catatan di bloknotnya. Teman saya langsung berkeringat dingin: apa kesalahan saya, pikirnya. Rupanya ketika dia masuk mobil, setelah menutup pintu dia langsung memegang kunci mobil dan menstaternya. Padahal menurut aturan, sebelum menstater mobil, yang pertama dilakukan adalah memasang sabuk pengaman, kemudian kita harus memeriksa persneling dulu untuk memastikan posisinya adalah netral, baru boleh menstater mesin. Teman saya menjadi gugup, karena dia mendapat 1 poin kesalahan. Apabila poin kesalahannya telah mencapai 5 maka dia akan dinyatakan gagal dalam ujian praktek ini. Dia jadi berhati-hati dalam menyetir, tapi kemudian ingat kasus si Wu yang gagal karena berjalan terlalu pelan sehingga mengeblok arus lalulintas di belakangnya. Jadi harus agak kencang jalannya, pikirnya. Tiba di perempatan jalan lampu merah menyala, teman saya menghentikan mobil. Si petugas mengatakan sesuatu dan memberi tanda untuk nanti membelok ke arah kiri. Saking gugupnya, teman saya langsung tancap gas dan membelokkan mobil ke arah kiri. Padahal lampu masih berwarna merah, karuan saja persimpangan tersebut langsung jadi riuh dengan suara klakson mobil dari arah depan yang jalannya terpotong oleh mobil teman saya. Petugaspun ikut berteriak-teriak hingga teman saya makin gugup. Akhirnya setelah lolos dari perempatan tersebut, petugas langsung berkata: "Let's go back to office. You almost killed me". Teman saya lemas, itu tanda-tanda bahwa dia telah gagal ujian praktek ini, dan tidak diperbolehkan mengikuti ujian selanjutnya selama minimal 1 bulan :-) Makanya, berlalulintaslah dengan baik dan benar.
{1998-2000 @ new brunswick}
see other Culture Shocks
Tuesday, November 14, 2006
Hotel Mahal
Tiba di Toronto tepat tengah malam. Menurut rancangan semula, saya akan dijemput oleh petugas dari Atomic Energy Canada Limited (AECL). Di imigrasi ada sedikit kesulitan. Dalam form tawaran beasiswa Universiti of New Brunswick (UNB) tertulis bahwa saya harus memiliki izin bekerja (working permit) untuk nanti bekerja sebagai asisten di UNB. Saya sudah menanyakannya ke Kedubes Canada di Jakarta dan mendapat penjelasan bahwa izin tersebut nanti dapat diurus di universitas tujuan (UNB) setiba saya di sana. Oleh petugas imigrasi, izin tersebut ditanyakannya. Saya menjawab sesuai apa yang disampaikan di Kedubes tadi. Namun petugas imigrasi mengatakan saya tidak bisa masuk ke wilayah Canada kalau tidak ada izin tersebut, yang harus diurus di negara asal (Indonesia). Meski saya ngeyel karena merasa dipingpong, lha wong saya sudah sampai di Canada je kok disuruh ke Jakarta lagi, petugas tersebut tetap tidak mau tahu, karena itu tertulis di formulir tawaran beasiswa yang merupakan persyaratan untuk memperoleh student visa. Lantas gimana? tanya saya. Ya kamu harus minta izin dulu di Kedubes Canada di Jakarta. We lah. Lha ini saja baru sampai di Toronto mosok disuruh balik. Akhirnya saya cooling down, meski hati ini ya dag dig dug, lha mau dideportasi balik ke Indonesia, alamat tidak jadi melanjutkan kuliah nih. Saya perhatikan petugas ini masih yunior sekali kayaknya, karena dia sering ke ruang kantor di belakangnya untuk minta advice dari supervisornya ketika melayani penumpang yang baru turun dari pesawat. Lalu saya bilang ke dia: "Could you consult your supervisor about this". Alhamdulillah dia menurut, dan setelah beberapa menit menghilang ke belakang dia mengatakan: "Okay Balza, you may enter Canada. This form is the absolete one. The new regulation allows you to work inside the university without special working permit". Lega sekali. Tapi saya masih curious sekali, sehingga ketika tiba di universitas, saya tanyakan hal ini ke calon supervisor saya yang kebetulan saat itu juga menjabat sebagai Head of Postgraduate Studies Program. Jawabnya, bikin gondok deh: kita mau menghabiskan form yang lama dulu sebelum mencetak form yang baru!! Payah deh. :-) Kene wis deg-degan setengah mati je.
Setelah beres di imigrasi, saya keluar dan celingukan mencari-cari orang yang membawa papan bertuliskan nama saya, setelah sekian puluh menit tidak ketemu juga, akhirnya saya putuskan untuk menelpon perwakilan AECL di Jakarta yang mengurusi keberangkatan saya ke Canada ini. Tengah malam di Toronto berarti sama dengan tengah hari di Jakarta, karena Canada tepat di bawah Indonesia (dengan selisih 11 jam saat winter dan 12 jam saat summer. Lho kok antara musim panas dan musim dingin berbeda? Itu akibat adanya winter saving, yang saya sendiri tidak tahu apa dasarnya sehingga setiap bulan April saya harus mempercepat jam sebesar 1 jam sedangkan pada bulan Oktober harus memperlambat jam sebesar 1 jam). Setelah membeli kartu telepon 20 CAD di vending machine, saya menelepon sekretaris Direktur AECL wilayah Asia Pasifik di Jakarta. Saya diminta menelepon lagi setelah 15 menit karena dia akan menghubungi salah satu pegawai headquarter AECL di Canada yang terpaksa ditelepon ke rumahnya karena di sini sudah tengah malam. Setelah saya telpon lagi ternyata ada kesalahan informasi, dikiranya saya tiba di Toronto pukul 12 tengah hari ;-) Jadi si penjemput baru akan muncul di airport besok siang dan saya terkatung-katung di sini. Padahal penerbangan saya selanjutnya adalah ke Fredericton besok pagi. Akhirnya saya diminta mencari hotel terdekat dan menginap di sana dengan uang sendiri dulu, kalau sudah nanti kuitansinya dimintakan reimburse ke AECL. Ya sudah, saya pergi mencari taksi dan minta diantar ke hotel yang paling dekat. Oleh supir taksi saya dibawa ke Holiday Inn Airport yang terletak di dalam airport Toronto. Wah hotel mahal nih, dari congkrongannya sudah kelihatan. Tapi karena sudah sangat mengantuk setelah menjalan penerbangan selama puluhan jam dari Indonesia, saya langsung check in dan beristirahat di kamar. Paginya saya mendapat wake up call atas permintaan saya sebelumnya dan berangkat ke airport lagi. Ketika melihat billnya, saya cukup kaget juga karena kalau dirupiahkan saat itu saya harus membayar sejumlah sekitar Rp 1.850.000,- hanya untuk menginap selama 6 jam saja. Untung saya membawa cukup sangu dalam bentuk USD. Anggap saja sebagai celengan karena selang beberapa hari kemudian saya mendapat reimburse dari AECL secara penuh. Wah, agak menyesal juga mengapa saya waktu itu tidak memesan room service sebanyak-banyaknya :-) He.. he... itu sih aji mumpung. :-P
-> berikutnya: hotel mahal di Bangkok-
{1998 @ toronto & 2004 @ bangkok}
see other Culture Shocks
Setelah beres di imigrasi, saya keluar dan celingukan mencari-cari orang yang membawa papan bertuliskan nama saya, setelah sekian puluh menit tidak ketemu juga, akhirnya saya putuskan untuk menelpon perwakilan AECL di Jakarta yang mengurusi keberangkatan saya ke Canada ini. Tengah malam di Toronto berarti sama dengan tengah hari di Jakarta, karena Canada tepat di bawah Indonesia (dengan selisih 11 jam saat winter dan 12 jam saat summer. Lho kok antara musim panas dan musim dingin berbeda? Itu akibat adanya winter saving, yang saya sendiri tidak tahu apa dasarnya sehingga setiap bulan April saya harus mempercepat jam sebesar 1 jam sedangkan pada bulan Oktober harus memperlambat jam sebesar 1 jam). Setelah membeli kartu telepon 20 CAD di vending machine, saya menelepon sekretaris Direktur AECL wilayah Asia Pasifik di Jakarta. Saya diminta menelepon lagi setelah 15 menit karena dia akan menghubungi salah satu pegawai headquarter AECL di Canada yang terpaksa ditelepon ke rumahnya karena di sini sudah tengah malam. Setelah saya telpon lagi ternyata ada kesalahan informasi, dikiranya saya tiba di Toronto pukul 12 tengah hari ;-) Jadi si penjemput baru akan muncul di airport besok siang dan saya terkatung-katung di sini. Padahal penerbangan saya selanjutnya adalah ke Fredericton besok pagi. Akhirnya saya diminta mencari hotel terdekat dan menginap di sana dengan uang sendiri dulu, kalau sudah nanti kuitansinya dimintakan reimburse ke AECL. Ya sudah, saya pergi mencari taksi dan minta diantar ke hotel yang paling dekat. Oleh supir taksi saya dibawa ke Holiday Inn Airport yang terletak di dalam airport Toronto. Wah hotel mahal nih, dari congkrongannya sudah kelihatan. Tapi karena sudah sangat mengantuk setelah menjalan penerbangan selama puluhan jam dari Indonesia, saya langsung check in dan beristirahat di kamar. Paginya saya mendapat wake up call atas permintaan saya sebelumnya dan berangkat ke airport lagi. Ketika melihat billnya, saya cukup kaget juga karena kalau dirupiahkan saat itu saya harus membayar sejumlah sekitar Rp 1.850.000,- hanya untuk menginap selama 6 jam saja. Untung saya membawa cukup sangu dalam bentuk USD. Anggap saja sebagai celengan karena selang beberapa hari kemudian saya mendapat reimburse dari AECL secara penuh. Wah, agak menyesal juga mengapa saya waktu itu tidak memesan room service sebanyak-banyaknya :-) He.. he... itu sih aji mumpung. :-P
-> berikutnya: hotel mahal di Bangkok-
{1998 @ toronto & 2004 @ bangkok}
see other Culture Shocks
Wednesday, November 01, 2006
Patuh pada Hukum
Kita sering mengeluhkan kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku serta pelaksaan law enforcement oleh aparat penegak hukum. Bagaimana hukum dipatuhi di Fredericton?
Tentang pelecehan
Suatu kali istri teman seapartemen saya melahirkan anaknya yang kedua di rumah sakit yang jaraknya terjangkau dengan berjalan kaki dari Magee House. Anaknya yang sulung bersikukuh tidak ingin punya adik, namun karena tidak mau ditinggal sendirian di apartemen ketika kami semua menengok ke rumah sakit, dengan terpaksa dia mau ikut. Lucunya ketika mau pulang dari sana, si sulung tidak mau ikut pulang; ingin menginap dengan adiknya katanya. Lho? katanya tadi gak mau punya adik :-) Semasa di rumah sakit, saya melihat banyak selebaran yang berisi informasi mengenai pelecehan (harassment). Dicantumkan di situ bahwa yang termasuk dalam pelecehan adalah: menanyakan pada seseorang (terutama wanita), apakah dia sudah menikah atau belum. Jadi jangan coba-coba bertanya "are you married" jika tidak mau disue, kecuali kepada orang yang benar-benar sangat karib (tapi kalau sudah akrab ya berarti sudah tahu, gak usah bertanya). Lantas bagaimana orang tahu apakah seseorang telah menikah atau belum tanpa menanyakannya. Ya bisa bertanya pada orang lain, tidak langsung ke yang bersangkutan, atau dengan melihat ada tidaknya cincin di jari tangannya. Teman saya, si Marc, marah-marah ketika melihat saya tidak menggunakan cincin di tangan saya. "Kamu mau menipu ya"? Lho??? Saya memang tidak pernah memakai apa-apa di tangan, termasuk jam tangan sangat jarang saya pakai. Sori ya Marc, kali ini saya tidak mau mengikuti tradisi di sini, males sih pakai sesuatu di tangan ;-) Di kampus UNB, ada ketentuan bahwa jika seorang mahasiswa menemui dosen di ruangannya, maka pintu harus terbuka lebar - tidak boleh ditutup - baik mahasiswa atau dosen tersebut laki-laki atau perempuan. Jika melanggar, wah bisa kena tuntutan pelecehan tuh. Di sini juga jangan mudah memuji seseorang. Apabila anda mengatakan pada seorang wanita: "Anda cantik sekali", maka bersiaplah untuk dituntut jika dia tidak berkenan. Padahal kalau dipuji-puji harusnya senang ya :-P Wah, apalagi kalau alih-alih memuji malahan mengejek, misalnya memanggil "hey fatman" pada seseorang yang sangat gemuk. Bisa-bisa itu mengantarkan anda ke depan meja hijau. Salah satu teknisi di Mechanical Engineering yang diassign untuk membantu riset saya adalah Garry Armstrong. Suatu kali kami harus memindah tumpukan timbal berblok-blok ke bagian lain di lab. Si Garry ini orangnya tinggi besar dan sangat kuat, dia sekali angkat dapat membawa lebih dari 2 blok sekaligus, sementara saya hanya mampu membawa 1 blok, itupun harus sering-sering saya taruh di tengah jalan. Melihat itu, secara refleks jiwa keplesetan saya mendorong saya berucap: "no wonder that your name is Armstrong", habis tangannya kuat banget sih ;-) Apa yang terjadi? Dia berkata "I'm insulted". Kalimat pendek yang kemudian membuat saya terkejut dan kemudian terdiam. Saya tidak tahu apakah dia guyon atau tidak (menanggapi guyonan saya tadi) karena mukanya dingin sekali saat mengatakan itu, tapi saya benar-benar khawatir kalau dia merasa dilecehkan lantas mengajukan kasus tersebut ke pengadilan. Untunglah sampai saat ini, tidak ada surat panggilan untuk saya. Pfufffff. #:-S
Tentang main hakim sendiri
Main hakim sendiri tentu berbeda dengan main solitaire sendiri :-) Yang ini berkaitan dengan perlakuan terhadap seseorang yang dicurigai melakukan tindakan kriminal oleh orang yang tidak berwenang. Definisi 'perlakuan' ini yang mungkin menjadikan berbeda. Suatu sore, Prof. Holloway terlihat tergopoh-gopoh lari di koridor Head Hall. Kami yang melihatnya pun kaget dan bertanya: "What's trouble, Prof"? Dia kelihatan bingung, kemudian berkata: "Someone ruined my table and broke my drawer while I was out of my room. I saw him inside my room when I entered". Kalau begitu tertangkap basah dong. Lalu mengapa tidak ditangkap saja orang itu, tanya kami. Tubuh Prof Holloway lumayan besar, pasti dia mampu menangani tamu tak diundang tersebut. "I need to look for the security", katanya menjelaskan. Rupanya dia tidak berani menangkap si penyusup itu karena takut nanti akan dituntut main hakim sendiri oleh orang tersebut. Lho? Lain lagi cerita teman yang mendapat kabar bahwa seorang petani di sebuah di desa di sekitaran Fredericton dituntut oleh seseorang yang berusaha memasuki rumahnya. Si 'pencuri' tersebut berusaha memasuki rumah petani tadi dengan cara membobol jendela. Si tuan rumah yang mengetahui gerak-gerik calon pencuri ini kemudian memukul tangannya yang dimasukkan melalui sela-sela jendela yang telah berhasil dirusak. Alhasil, tangan orang itu luka cukup parah dan dia menuntut si petani karena main hakim sendiri. Lhoo?? Di lain waktu, seorang pencuri telah berhasil masuk ke dalam rumah calon korbannya, namun ketika dia sedang naik tangga menuju ke lantai 2, tiba-tiba dia terpeleset karpet yang digelar di atas tangga. Alhasil, orang itu terjatuh hingga luka, lantas dia menuntut si tuan rumah karena lalai sehingga rumahnya berbahaya bagi orang lain. Lhooo??? :-) Lantas apakah memang tidak pernah ada permainan hakim sendiri di Fredericton? Tetap ada dong. Di downtown terdapat sebuah bar yang khusus tempat berkumpulnya orang-orang yang tidak straight, karena memang dilegalkan secara hukum. Nah, pada hari Sabtu malam sering terjadi pemukulan terhadap seseorang yang baru saja keluar dari bar tersebut oleh orang-orang tidak dikenal yang kemudian langsung melarikan diri. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa meskipun legal secara hukum, kebanyakan masyarakat tidak menyetujuinya.
Hukum dilanggar saat summer
Sebenarnya sih Fredericton itu terkenal aman. Di Magee House, kalau saya perhatikan, kebanyakan mobil penghuni tidak dikunci ketika ditinggal di parking lot apartemen. Ini untuk memudahkan mereka menggunakan mobil ketika memerlukannya. Apartemen kami sendiri di nomor 705, yang merupakan two-bedrooms apartment, tidak pernah terkunci baik siang maupun malam untuk memudahkan keluar masuk penghuninya yang berjumlah 5 orang (saya sekamar dengan teman dari ITS serta di kamar lain tinggal teman dari Departemen Kehutanan sekeluarga). Tapi tak pernah ada berita kehilangan, secara normalnya. Namun (selalu ada namun nih), when summer comes, semua orang harus lebih ekstra hati-hati karena banyak pengunjung dari luar kota yang berdatangan ke kota kami. Pada saat itu sering terjadi kehilangan. Seorang mahasiswa kehilangan mobilnya yang diparkir di tempat parkir apartemen, dia sendiri tidak mengetahui bahwa mobilnya diambil orang karena tidak keluar rumah seharian. Lantas malam harinya dia mendapat calling dari RCMP (polisi Kanada) yang mengabarkan bahwa dia diminta mengambil mobilnya yang ada di tempat parkir Regent Mall karena mall sudah tutup. Rupanya si pencuri tidak berniat mencuri mobil tersebut, tetapi hanya memanfaatkannya untuk pergi ke mall daripada harus berjalan kaki melewati hutan yang ada di belakang Magee House atau mengeluarkan uang untuk naik taksi. Yang lebih parah lagi, Baskent, seorang teman dari Turki, memperoleh telepon dari polisi untuk mengambil mobilnya yang kedapatan menabrak pohon di jalan tol ;-) Beberapa kali juga ada kejadian pencurian velg ban mobil yang diparkir di lapangan parkir apartemen. Tapi itu hanya terjadi waktu summer saja, selebihnya kita aman-aman saja. Hal ini juga terjadi di provinsi sebelah, yaitu New Foundland. Suatu summer, kami bepergian ke Nova Scotia guna bersilaturahmi ke teman yang kuliah di Delhausie University di Halifax serta mengunjungi museum kapal Titanic yang tenggelam di dekat situ. Di sana terdapat sisa-sisa kapal yang sangat terkenal itu. Ternyata kursi dan tangga di film Titanic itu memang persis sangat dengan yang sebenarnya. Selain itu juga terdapat makam ribuan korban tenggelamnya kapal terbesar abad lalu itu. Selanjutnya kami menuju ke taman kota guna menghirup udara segar setelah sebelumnya sempat nunut mampir untuk membuang sesuatu, you know - nature call :-) di sebuah kasino di kota tersebut. Sebelum masuk kasino, kami sempat ditanyai macam-macam oleh penjaga pintu, termasuk harus menunjukkan paspor kami untuk membuktikan bahwa kami sudah berusia lebih dari 16 tahun, he... he... :-P Meskipun hanya ke toilet, namun sempat kami mengamati suasana di dalam kasino, dan pikiran kami sama: "Mengapa kok yang main banyak orang-orang yang sudah tua renta ya?" Kembali ke taman kota tadi, ketika kami hendak pulang ke penginapan ternyata kami jumpai mobil sewaan kami dengan kaca samping di sisi pengemudi terlihat pecah dan pintu terbuka. Terlihat sebuah batu besar ada di bagian bawah kemudi. Setelah diperiksa, kami kehilangan beberapa barang: jaket tebal bergambar elang salju yang baru saya beli 2 hari sebelumnya dan beberapa pakaian yang baru dibeli teman-teman, serta beberapa barang lain. Polisi bersepeda yang kami lapori hanya mencatat pernyataan kami serta beberapa kesaksian orang-orang di sekitar TKP yang mengetahui kejadian tersebut. Kesimpulan yang diambil? Pelakunya adalah pendatang dari kota lain karena saat itu sedang ada festival Tattoo (tapi bukan tato, ini adalah festival musik yang selalu diadakan di sana setiap musim panas). Apa yang dapat dilakukan oleh polisi? Tak ada, hanya mencatat, that's all. :-( Akhirnya kami harus ke kantor cabang persewaan mobil di Halifax untuk menukarkan mobil dengan yang masih utuh.
{2000 @ canada}
see other Culture Shocks
Tentang pelecehan
Suatu kali istri teman seapartemen saya melahirkan anaknya yang kedua di rumah sakit yang jaraknya terjangkau dengan berjalan kaki dari Magee House. Anaknya yang sulung bersikukuh tidak ingin punya adik, namun karena tidak mau ditinggal sendirian di apartemen ketika kami semua menengok ke rumah sakit, dengan terpaksa dia mau ikut. Lucunya ketika mau pulang dari sana, si sulung tidak mau ikut pulang; ingin menginap dengan adiknya katanya. Lho? katanya tadi gak mau punya adik :-) Semasa di rumah sakit, saya melihat banyak selebaran yang berisi informasi mengenai pelecehan (harassment). Dicantumkan di situ bahwa yang termasuk dalam pelecehan adalah: menanyakan pada seseorang (terutama wanita), apakah dia sudah menikah atau belum. Jadi jangan coba-coba bertanya "are you married" jika tidak mau disue, kecuali kepada orang yang benar-benar sangat karib (tapi kalau sudah akrab ya berarti sudah tahu, gak usah bertanya). Lantas bagaimana orang tahu apakah seseorang telah menikah atau belum tanpa menanyakannya. Ya bisa bertanya pada orang lain, tidak langsung ke yang bersangkutan, atau dengan melihat ada tidaknya cincin di jari tangannya. Teman saya, si Marc, marah-marah ketika melihat saya tidak menggunakan cincin di tangan saya. "Kamu mau menipu ya"? Lho??? Saya memang tidak pernah memakai apa-apa di tangan, termasuk jam tangan sangat jarang saya pakai. Sori ya Marc, kali ini saya tidak mau mengikuti tradisi di sini, males sih pakai sesuatu di tangan ;-) Di kampus UNB, ada ketentuan bahwa jika seorang mahasiswa menemui dosen di ruangannya, maka pintu harus terbuka lebar - tidak boleh ditutup - baik mahasiswa atau dosen tersebut laki-laki atau perempuan. Jika melanggar, wah bisa kena tuntutan pelecehan tuh. Di sini juga jangan mudah memuji seseorang. Apabila anda mengatakan pada seorang wanita: "Anda cantik sekali", maka bersiaplah untuk dituntut jika dia tidak berkenan. Padahal kalau dipuji-puji harusnya senang ya :-P Wah, apalagi kalau alih-alih memuji malahan mengejek, misalnya memanggil "hey fatman" pada seseorang yang sangat gemuk. Bisa-bisa itu mengantarkan anda ke depan meja hijau. Salah satu teknisi di Mechanical Engineering yang diassign untuk membantu riset saya adalah Garry Armstrong. Suatu kali kami harus memindah tumpukan timbal berblok-blok ke bagian lain di lab. Si Garry ini orangnya tinggi besar dan sangat kuat, dia sekali angkat dapat membawa lebih dari 2 blok sekaligus, sementara saya hanya mampu membawa 1 blok, itupun harus sering-sering saya taruh di tengah jalan. Melihat itu, secara refleks jiwa keplesetan saya mendorong saya berucap: "no wonder that your name is Armstrong", habis tangannya kuat banget sih ;-) Apa yang terjadi? Dia berkata "I'm insulted". Kalimat pendek yang kemudian membuat saya terkejut dan kemudian terdiam. Saya tidak tahu apakah dia guyon atau tidak (menanggapi guyonan saya tadi) karena mukanya dingin sekali saat mengatakan itu, tapi saya benar-benar khawatir kalau dia merasa dilecehkan lantas mengajukan kasus tersebut ke pengadilan. Untunglah sampai saat ini, tidak ada surat panggilan untuk saya. Pfufffff. #:-S
Tentang main hakim sendiri
Main hakim sendiri tentu berbeda dengan main solitaire sendiri :-) Yang ini berkaitan dengan perlakuan terhadap seseorang yang dicurigai melakukan tindakan kriminal oleh orang yang tidak berwenang. Definisi 'perlakuan' ini yang mungkin menjadikan berbeda. Suatu sore, Prof. Holloway terlihat tergopoh-gopoh lari di koridor Head Hall. Kami yang melihatnya pun kaget dan bertanya: "What's trouble, Prof"? Dia kelihatan bingung, kemudian berkata: "Someone ruined my table and broke my drawer while I was out of my room. I saw him inside my room when I entered". Kalau begitu tertangkap basah dong. Lalu mengapa tidak ditangkap saja orang itu, tanya kami. Tubuh Prof Holloway lumayan besar, pasti dia mampu menangani tamu tak diundang tersebut. "I need to look for the security", katanya menjelaskan. Rupanya dia tidak berani menangkap si penyusup itu karena takut nanti akan dituntut main hakim sendiri oleh orang tersebut. Lho? Lain lagi cerita teman yang mendapat kabar bahwa seorang petani di sebuah di desa di sekitaran Fredericton dituntut oleh seseorang yang berusaha memasuki rumahnya. Si 'pencuri' tersebut berusaha memasuki rumah petani tadi dengan cara membobol jendela. Si tuan rumah yang mengetahui gerak-gerik calon pencuri ini kemudian memukul tangannya yang dimasukkan melalui sela-sela jendela yang telah berhasil dirusak. Alhasil, tangan orang itu luka cukup parah dan dia menuntut si petani karena main hakim sendiri. Lhoo?? Di lain waktu, seorang pencuri telah berhasil masuk ke dalam rumah calon korbannya, namun ketika dia sedang naik tangga menuju ke lantai 2, tiba-tiba dia terpeleset karpet yang digelar di atas tangga. Alhasil, orang itu terjatuh hingga luka, lantas dia menuntut si tuan rumah karena lalai sehingga rumahnya berbahaya bagi orang lain. Lhooo??? :-) Lantas apakah memang tidak pernah ada permainan hakim sendiri di Fredericton? Tetap ada dong. Di downtown terdapat sebuah bar yang khusus tempat berkumpulnya orang-orang yang tidak straight, karena memang dilegalkan secara hukum. Nah, pada hari Sabtu malam sering terjadi pemukulan terhadap seseorang yang baru saja keluar dari bar tersebut oleh orang-orang tidak dikenal yang kemudian langsung melarikan diri. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa meskipun legal secara hukum, kebanyakan masyarakat tidak menyetujuinya.
Hukum dilanggar saat summer
Sebenarnya sih Fredericton itu terkenal aman. Di Magee House, kalau saya perhatikan, kebanyakan mobil penghuni tidak dikunci ketika ditinggal di parking lot apartemen. Ini untuk memudahkan mereka menggunakan mobil ketika memerlukannya. Apartemen kami sendiri di nomor 705, yang merupakan two-bedrooms apartment, tidak pernah terkunci baik siang maupun malam untuk memudahkan keluar masuk penghuninya yang berjumlah 5 orang (saya sekamar dengan teman dari ITS serta di kamar lain tinggal teman dari Departemen Kehutanan sekeluarga). Tapi tak pernah ada berita kehilangan, secara normalnya. Namun (selalu ada namun nih), when summer comes, semua orang harus lebih ekstra hati-hati karena banyak pengunjung dari luar kota yang berdatangan ke kota kami. Pada saat itu sering terjadi kehilangan. Seorang mahasiswa kehilangan mobilnya yang diparkir di tempat parkir apartemen, dia sendiri tidak mengetahui bahwa mobilnya diambil orang karena tidak keluar rumah seharian. Lantas malam harinya dia mendapat calling dari RCMP (polisi Kanada) yang mengabarkan bahwa dia diminta mengambil mobilnya yang ada di tempat parkir Regent Mall karena mall sudah tutup. Rupanya si pencuri tidak berniat mencuri mobil tersebut, tetapi hanya memanfaatkannya untuk pergi ke mall daripada harus berjalan kaki melewati hutan yang ada di belakang Magee House atau mengeluarkan uang untuk naik taksi. Yang lebih parah lagi, Baskent, seorang teman dari Turki, memperoleh telepon dari polisi untuk mengambil mobilnya yang kedapatan menabrak pohon di jalan tol ;-) Beberapa kali juga ada kejadian pencurian velg ban mobil yang diparkir di lapangan parkir apartemen. Tapi itu hanya terjadi waktu summer saja, selebihnya kita aman-aman saja. Hal ini juga terjadi di provinsi sebelah, yaitu New Foundland. Suatu summer, kami bepergian ke Nova Scotia guna bersilaturahmi ke teman yang kuliah di Delhausie University di Halifax serta mengunjungi museum kapal Titanic yang tenggelam di dekat situ. Di sana terdapat sisa-sisa kapal yang sangat terkenal itu. Ternyata kursi dan tangga di film Titanic itu memang persis sangat dengan yang sebenarnya. Selain itu juga terdapat makam ribuan korban tenggelamnya kapal terbesar abad lalu itu. Selanjutnya kami menuju ke taman kota guna menghirup udara segar setelah sebelumnya sempat nunut mampir untuk membuang sesuatu, you know - nature call :-) di sebuah kasino di kota tersebut. Sebelum masuk kasino, kami sempat ditanyai macam-macam oleh penjaga pintu, termasuk harus menunjukkan paspor kami untuk membuktikan bahwa kami sudah berusia lebih dari 16 tahun, he... he... :-P Meskipun hanya ke toilet, namun sempat kami mengamati suasana di dalam kasino, dan pikiran kami sama: "Mengapa kok yang main banyak orang-orang yang sudah tua renta ya?" Kembali ke taman kota tadi, ketika kami hendak pulang ke penginapan ternyata kami jumpai mobil sewaan kami dengan kaca samping di sisi pengemudi terlihat pecah dan pintu terbuka. Terlihat sebuah batu besar ada di bagian bawah kemudi. Setelah diperiksa, kami kehilangan beberapa barang: jaket tebal bergambar elang salju yang baru saya beli 2 hari sebelumnya dan beberapa pakaian yang baru dibeli teman-teman, serta beberapa barang lain. Polisi bersepeda yang kami lapori hanya mencatat pernyataan kami serta beberapa kesaksian orang-orang di sekitar TKP yang mengetahui kejadian tersebut. Kesimpulan yang diambil? Pelakunya adalah pendatang dari kota lain karena saat itu sedang ada festival Tattoo (tapi bukan tato, ini adalah festival musik yang selalu diadakan di sana setiap musim panas). Apa yang dapat dilakukan oleh polisi? Tak ada, hanya mencatat, that's all. :-( Akhirnya kami harus ke kantor cabang persewaan mobil di Halifax untuk menukarkan mobil dengan yang masih utuh.
{2000 @ canada}
see other Culture Shocks
Thursday, October 26, 2006
Jangan Kemaruk
Jangan rakus. Ngono yo ngono ning ojo ngono. Demikian nasihat yang sering disampaikan para orang bijak. Nasihat yang juga sangat bijak. Rakus merefer pada sesuatu yang diambil secara berlebihan sementara sebenarnya keperluannya tidak sebanyak itu; atau sementara orang lain yang memerlukan menjadi tidak kebagian.
I.
Pada suatu hari, kami diundang untuk suatu acara tahunan di awal semester, yaitu pertemuan perkenalan antara para foreign student dengan host family mereka. Fredericton adalah kota kecil yang tidak banyak penduduknya. Penduduk asli kota tersebut hanya sekitar 60 ribu jiwa (kita baru menyadari penduduk di sini kelihatan banyak ketika semua orang berkumpul di tepi sungai Saint John di tengah malam pada perayaan pergantian tahun), sementara belasan ribu lainnya adalah mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru Kanada bahkan dunia. Masyarakat Fredericton sangat menyadari pentingnya keberadaan mahasiswa yang menghidupkan kota mereka. Untuk mahasiswa asing, mereka memiliki program host family di mana setiap beberapa mahasiswa diassign satu keluarga yang kemudian bertugas untuk membantu para mahasiswa tadi dalam berbagai aspek kehidupan di kota ini, terutama yang berhubungan lintas budaya agar tidak terjadi culture shock ketika tinggal di sini. Biasanya kita diundang dinner di rumah mereka, atau sesekali diajak ke tempat wisata, atau ikut gathering bersama seperti saat ini. Saya 2 kali dapat host family karena yang pertama sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai direktur sebuah panti jompo, sehingga kemudian diganti dengan keluarga yang pernah tinggal di Indonesia - sebagai ahli kimia batuan di tambang Busang yang konon memang banyak mengandung emas itu. Meskipun saya merasa mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai host family karena hanya sesekali mengundang makan malam dan berpiknik (he.. he... maunya berapa kali :-) ), namun saya sangat mengapresiasi program tersebut karena telah menunjukkan keramahan masyarakat Kanada yang seringnya kita cap berperilaku individualistis - yang tidak ramah bahkan diskriminatif juga banyak sih tapi paling tidak ada sisi humanism yang masih tersisa - sesuai dengan pidato saya di acara program pelepasan mahasiswa asing yang telah lulus 2 tahun kemudian.
II.
Pada saat itu kami, ada 5 mahasiswa baru di UNB, diajak oleh seorang teman yang telah berada di situ lebih dahulu setahun. Setiba di venue dan mengobrol sedikit dengan koordinator panitia (yang nantinya menjadi host family saya yang kedua), sambil menunggu acara dimulai kami mengambil makanan kecil berupa kue-kue yang ukurannya memang sangat kecil. Naluri "mahasiswa kost" kami muncul dengan membawa piring besar dan mengambil banyak-banyak berbagai macam penganan yang ada. Ketika kami akan mulai menyantapnya, teman tadi mengingatkan "You shouldn't do that". Itu sama sekali tidak sopan. Seharusnya mengambil satu dulu, baru mengambil makanan lagi ketika semua orang sudah kebagian. Jangan kemaruk. Ketika saya perhatikan, memang setiap orang hanya membawa 1 penganan saja. Wah jadi malu nih, kami jadi kayak orang kelaparan saja. Rupanya itu budaya di sini, memberikan kesempatan pada orang lain ketika kesempatan mereka sudah terpenuhi, tidak mengambil semuanya untuk diri sendiri (*). Lha, ini kan sangat berbeda dengan bayangan saya sebelumnya mengenai masyarakat barat. Tapi kemudian saya menyadari itu adalah fitrahnya manusia sebagai social animals. Pengalaman lain yang membuat saya kagum adalah rupanya mereka juga orang yang sabar. Ketika suatu kali kami sedang menuju downtown, kendaraan kami terhenti oleh antrian mobil yang disebabkan oleh sebuah mobil yang berhenti ketika ada teman pengemudi menyapa dari tepi jalan dan mengajaknya mengobrol, sementara jalan terlalu sempit bagi kendaraan lain untuk mendahului mobil tersebut. Semenit, dua menit, tiga menit, tidak ada suara klakson sama sekali. Heran..... kalau di tempat kita biasanya sudah banyak kebun binatang yang keluar dari pengendara di belakangnya. Kamipun menekan diri serta mengurungkan niat untuk membunyikan klakson. Tak sampai 5 menit akhirnya mobil tersebut kembali melaju dan antrian berangsur menghilang. Dan semua orang berbahagia.
III.
Salah satu kegiatan dalam program host family yang selalu ditunggu-tunggu oleh penggemar adalah pembagian pakaian gratis. Pada setiap awal tahun ajaran, terutama menjelang musim dingin, mahasiswa peserta program tersebut disilakan untuk datang dan mengambil pakaian gratis yang disediakan oleh panitia, hasil donasi dari penduduk di Fredericton. Definisi pakaian di sini termasuk: baju, celana (kalau membeli celana di sini, saya harus ke stan pakaian remaja karena kalau ukuran dewasa meskipun panjangnya cocok tapi selalunya pinggangnya pastilah kegedhean :-) Orang-orang sini memang tidak terlalu memandang penting penampilan terutama get in shape, terbukti dengan banyak dari mereka yang cuwek saja makan banyak-banyak meskipun tubuh mereka sudah sangat gemuk tanpa ada upaya sama sekali untuk berdiet), jaket musim dingin, sweater, topi musim dingin yang menutupi telinga (tahukah anda kalau telinga kita lebih cepat menjadi dingin dibanding bagian tubuh lain, dan karena tersusun dari tulang rawan maka kalau kena udara terlalu dingin, maka telinga kita akan mudah membeku dan mudah patah jika mengalami benturan), sepatu boot untuk jalan di salju (teman saya memperoleh sepatu untuk ice skating, beruntung dia), dan lain-lain. Minggu pagi itu kami berangkat berenam untuk mengambil pakaian gratis di tempat yang telah ditentukan. Tiba di sana banyak terlihat meja dengan tumpukan pakaian di atasanya. Kita tinggal memilih-milih mana yang cocok dan disuka, boleh diambil tanpa harus bayar. Gratis tis ;-) Teringat akan teguran kawan kami di atas, maka kamipun dengan sopannya memilih jaket dan baju yang cocok dengan ukuran serta selera kami. Ada jaket yang bagus sudah kepegang tapi kok di sebelah sana ada yang lebih bagus ya; akhirnya saya batal mengambil dan mencoba yang lain lagi, hingga menemukan yang cocok. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh serombongan mahasiswa Korea yang juga datang untuk mengambil pakaian. Oh no! Lihat, mereka membawa tas plastik yang sangat besar yang biasanya digunakan untuk membuang sampah!! Dan mereka serta merta meraup pakaian yang ada di meja lantas memasukkannya banyak-banyak ke dalam tas mereka!!! Tapi.... teman saya yang menegur kami dulu tak ada di sini. Panitia yang ada di situ juga tak kelihatan berusaha untuk mencegah "penjarahan" tersebut. Tak ada yang berteriak: "Jangan kemaruk!" pada mereka. Sungguh kami terkaget-kaget dengan merasakan culture shock untuk ke sekian kalinya. Jadi kesimpulannya: di sini boleh kemaruk atau tidak? Sepertinya tak ada waktu untuk memikirkannya. Jadi kami tetap pada prinsip semula: jangan kemaruk, meski melihat orang lain kemaruk, jangan tergoda (saya sering berseloroh: saya ini taat prinsip, sayangnya prinsip saya sering berubah-ubah. He... he... just joking). Akhirnya kamipun buru-buru mengambil jaket yang kami rasa paling cocok dan beruntunglah kami masih dapat sisa-sisa pakaian yang sempat kami selamatkan.
IV.
Yang terakhir ini sebetulnya dalam mode "off the record". Ternyata kami kalah melawan godaan, hingga pada tahun berikutnya, dalam acara yang sama, pagi-pagi sekali kami berangkat sambil membawa tas besar (tak sebesar yang dibawa mereka sih), dan dengan bergas mengambili berbagai jaket dan baju. Alhasil, ketika kembali ke apartemen. Saya dapati hanya satu-dua pakaian yang cocok dengan ukuran dan selera saya, hingga banyak pakaian tersebut yang kemudian hanya menumpuk di gudang dan akhirnya dibuang ketika saya akan kembali ke negeri tercinta. Saya sangat menyesalinya :-( . Please, don't be greedy.
{1999 @ canada}
(*) Belakangan saya mendapatkan hadist yang kiranya erat berhubungan dengan kejadian itu, yaitu: "Jangan mengambil terlalu banyak bila makan bersama orang lain, kecuali jika atas izin kawan dalam jamuan itu". (HR. Al Bukhari, Muslim).
see other Culture Shocks
I.
Pada suatu hari, kami diundang untuk suatu acara tahunan di awal semester, yaitu pertemuan perkenalan antara para foreign student dengan host family mereka. Fredericton adalah kota kecil yang tidak banyak penduduknya. Penduduk asli kota tersebut hanya sekitar 60 ribu jiwa (kita baru menyadari penduduk di sini kelihatan banyak ketika semua orang berkumpul di tepi sungai Saint John di tengah malam pada perayaan pergantian tahun), sementara belasan ribu lainnya adalah mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru Kanada bahkan dunia. Masyarakat Fredericton sangat menyadari pentingnya keberadaan mahasiswa yang menghidupkan kota mereka. Untuk mahasiswa asing, mereka memiliki program host family di mana setiap beberapa mahasiswa diassign satu keluarga yang kemudian bertugas untuk membantu para mahasiswa tadi dalam berbagai aspek kehidupan di kota ini, terutama yang berhubungan lintas budaya agar tidak terjadi culture shock ketika tinggal di sini. Biasanya kita diundang dinner di rumah mereka, atau sesekali diajak ke tempat wisata, atau ikut gathering bersama seperti saat ini. Saya 2 kali dapat host family karena yang pertama sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai direktur sebuah panti jompo, sehingga kemudian diganti dengan keluarga yang pernah tinggal di Indonesia - sebagai ahli kimia batuan di tambang Busang yang konon memang banyak mengandung emas itu. Meskipun saya merasa mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai host family karena hanya sesekali mengundang makan malam dan berpiknik (he.. he... maunya berapa kali :-) ), namun saya sangat mengapresiasi program tersebut karena telah menunjukkan keramahan masyarakat Kanada yang seringnya kita cap berperilaku individualistis - yang tidak ramah bahkan diskriminatif juga banyak sih tapi paling tidak ada sisi humanism yang masih tersisa - sesuai dengan pidato saya di acara program pelepasan mahasiswa asing yang telah lulus 2 tahun kemudian.
II.
Pada saat itu kami, ada 5 mahasiswa baru di UNB, diajak oleh seorang teman yang telah berada di situ lebih dahulu setahun. Setiba di venue dan mengobrol sedikit dengan koordinator panitia (yang nantinya menjadi host family saya yang kedua), sambil menunggu acara dimulai kami mengambil makanan kecil berupa kue-kue yang ukurannya memang sangat kecil. Naluri "mahasiswa kost" kami muncul dengan membawa piring besar dan mengambil banyak-banyak berbagai macam penganan yang ada. Ketika kami akan mulai menyantapnya, teman tadi mengingatkan "You shouldn't do that". Itu sama sekali tidak sopan. Seharusnya mengambil satu dulu, baru mengambil makanan lagi ketika semua orang sudah kebagian. Jangan kemaruk. Ketika saya perhatikan, memang setiap orang hanya membawa 1 penganan saja. Wah jadi malu nih, kami jadi kayak orang kelaparan saja. Rupanya itu budaya di sini, memberikan kesempatan pada orang lain ketika kesempatan mereka sudah terpenuhi, tidak mengambil semuanya untuk diri sendiri (*). Lha, ini kan sangat berbeda dengan bayangan saya sebelumnya mengenai masyarakat barat. Tapi kemudian saya menyadari itu adalah fitrahnya manusia sebagai social animals. Pengalaman lain yang membuat saya kagum adalah rupanya mereka juga orang yang sabar. Ketika suatu kali kami sedang menuju downtown, kendaraan kami terhenti oleh antrian mobil yang disebabkan oleh sebuah mobil yang berhenti ketika ada teman pengemudi menyapa dari tepi jalan dan mengajaknya mengobrol, sementara jalan terlalu sempit bagi kendaraan lain untuk mendahului mobil tersebut. Semenit, dua menit, tiga menit, tidak ada suara klakson sama sekali. Heran..... kalau di tempat kita biasanya sudah banyak kebun binatang yang keluar dari pengendara di belakangnya. Kamipun menekan diri serta mengurungkan niat untuk membunyikan klakson. Tak sampai 5 menit akhirnya mobil tersebut kembali melaju dan antrian berangsur menghilang. Dan semua orang berbahagia.
III.
Salah satu kegiatan dalam program host family yang selalu ditunggu-tunggu oleh penggemar adalah pembagian pakaian gratis. Pada setiap awal tahun ajaran, terutama menjelang musim dingin, mahasiswa peserta program tersebut disilakan untuk datang dan mengambil pakaian gratis yang disediakan oleh panitia, hasil donasi dari penduduk di Fredericton. Definisi pakaian di sini termasuk: baju, celana (kalau membeli celana di sini, saya harus ke stan pakaian remaja karena kalau ukuran dewasa meskipun panjangnya cocok tapi selalunya pinggangnya pastilah kegedhean :-) Orang-orang sini memang tidak terlalu memandang penting penampilan terutama get in shape, terbukti dengan banyak dari mereka yang cuwek saja makan banyak-banyak meskipun tubuh mereka sudah sangat gemuk tanpa ada upaya sama sekali untuk berdiet), jaket musim dingin, sweater, topi musim dingin yang menutupi telinga (tahukah anda kalau telinga kita lebih cepat menjadi dingin dibanding bagian tubuh lain, dan karena tersusun dari tulang rawan maka kalau kena udara terlalu dingin, maka telinga kita akan mudah membeku dan mudah patah jika mengalami benturan), sepatu boot untuk jalan di salju (teman saya memperoleh sepatu untuk ice skating, beruntung dia), dan lain-lain. Minggu pagi itu kami berangkat berenam untuk mengambil pakaian gratis di tempat yang telah ditentukan. Tiba di sana banyak terlihat meja dengan tumpukan pakaian di atasanya. Kita tinggal memilih-milih mana yang cocok dan disuka, boleh diambil tanpa harus bayar. Gratis tis ;-) Teringat akan teguran kawan kami di atas, maka kamipun dengan sopannya memilih jaket dan baju yang cocok dengan ukuran serta selera kami. Ada jaket yang bagus sudah kepegang tapi kok di sebelah sana ada yang lebih bagus ya; akhirnya saya batal mengambil dan mencoba yang lain lagi, hingga menemukan yang cocok. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh serombongan mahasiswa Korea yang juga datang untuk mengambil pakaian. Oh no! Lihat, mereka membawa tas plastik yang sangat besar yang biasanya digunakan untuk membuang sampah!! Dan mereka serta merta meraup pakaian yang ada di meja lantas memasukkannya banyak-banyak ke dalam tas mereka!!! Tapi.... teman saya yang menegur kami dulu tak ada di sini. Panitia yang ada di situ juga tak kelihatan berusaha untuk mencegah "penjarahan" tersebut. Tak ada yang berteriak: "Jangan kemaruk!" pada mereka. Sungguh kami terkaget-kaget dengan merasakan culture shock untuk ke sekian kalinya. Jadi kesimpulannya: di sini boleh kemaruk atau tidak? Sepertinya tak ada waktu untuk memikirkannya. Jadi kami tetap pada prinsip semula: jangan kemaruk, meski melihat orang lain kemaruk, jangan tergoda (saya sering berseloroh: saya ini taat prinsip, sayangnya prinsip saya sering berubah-ubah. He... he... just joking). Akhirnya kamipun buru-buru mengambil jaket yang kami rasa paling cocok dan beruntunglah kami masih dapat sisa-sisa pakaian yang sempat kami selamatkan.
IV.
Yang terakhir ini sebetulnya dalam mode "off the record". Ternyata kami kalah melawan godaan, hingga pada tahun berikutnya, dalam acara yang sama, pagi-pagi sekali kami berangkat sambil membawa tas besar (tak sebesar yang dibawa mereka sih), dan dengan bergas mengambili berbagai jaket dan baju. Alhasil, ketika kembali ke apartemen. Saya dapati hanya satu-dua pakaian yang cocok dengan ukuran dan selera saya, hingga banyak pakaian tersebut yang kemudian hanya menumpuk di gudang dan akhirnya dibuang ketika saya akan kembali ke negeri tercinta. Saya sangat menyesalinya :-( . Please, don't be greedy.
{1999 @ canada}
(*) Belakangan saya mendapatkan hadist yang kiranya erat berhubungan dengan kejadian itu, yaitu: "Jangan mengambil terlalu banyak bila makan bersama orang lain, kecuali jika atas izin kawan dalam jamuan itu". (HR. Al Bukhari, Muslim).
see other Culture Shocks
Sunday, October 15, 2006
Ramadhan @ Canada
Ramadhan di negeri orang, selalu menjadi topik yang menarik bagi kita; terutama di negara di mana seorang muslim adalah minoritas. Berikut beberapa kejadian yang saya alami pada saat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan di Kanada.
Selama bulan Ramadhan, mahasiswa Indonesia di sini biasa berkumpul untuk berbuka puasa bersama; dan seperti biasanya pula, tempat kumpulnya adalah di apartemen kami. Buka bersama bukan hanya diikuti oleh mahasiswa dan keluarganya yang muslim, tetapi juga yang non muslim karena itu adalah kesempatan untuk bertemu dengan semua orang Indonesia di Fredericton. Pada hari tersebut, siang harinya kami bersiap untuk menghidangkan santapan untuk berbuka dan makan malam. Biasanya saya ketiban jatah untuk membuat tempura; dengan bahan dari carrot dan spinach. Pada hari terakhir ramadhan tahun 1998, acara yang dilakukan adalah makan malam bersama, bukan buka bersama. Saat itu saya masih berada di tempat kost seorang teman yang berada di King College Road, tak jauh dari apartemen kami. Selepas berbuka seperlunya dan sholat maghrib, kami menuju Magee House. Bulan Ramadhan ini tepat di pertengahan musim dingin. Timbunan salju banyak menumpuk di tepi jalan. Kami berjalan di bawah rintikan salju yang turun dari langit lembut mengenai jaket tebal yang kami kenakan. Meskipun jarak antara King College Rd dan Magee House tak jauh, kami memilih untuk berjalan memutar melalui Regent Street. Kami bersepakat untuk bertakbir berdua di sepanjang jalan. Suara takbir kami berdua - tak begitu keras karena terpaan angin dingin yang membawa butiran salju masuk ke dalam mulut - menggema ditelan sepinya malam di jalan yang kami lalui. Mungkin tak ada yang mendengar kami. Tetapi, pepohonan dan semak-semak yang tertutup lapisan salju memutih di sepanjang Kings College Rd, Regent St, dan Montgomery St terasakan ikut bergerak diselingi suara angin yang lalu, menyambut suara takbir yang mungkin belum pernah mereka dengarkan sebelumnya di sana. Menunjukkan rasa kehilangan yang akan kami alami karena hari ini adalah hari terakhir bulan Ramadhan tahun itu di Fredericton. Sungguh, getaran suara itu, akan selalu terngiang di telinga tatkala saya teringat akan saat itu.
Saat menjelang pergantian tahun, masih dalam bulan Ramadhan juga, kami berbanyak pergi ke Prince Edward Island, provinsi terkecil di Kanada, berupa sebuah pulau di Teluk Saint Lawrence yang berbatasan dengan Samudera Atlantic dan merupakan pulau terbesar nomor 104 di dunia! ;-). Penduduk provinsi di sebelah timur New Brunswick ini kurang dari 150 ribu jiwa namun pendapatan perkapita tahun ini mencapai hampir 300 juta rupiah. Pulau ini menjadi terkenal - terutama di Jepang, terbukti dengan banyaknya wisatawan Jepang ke sana - karena Lucy Maud Montgomery menulis sebuah novel klasik yang berjudul Anne of Green Gable dengan setting pulau tersebut. Kunjungan ke kediaman sebuah keluarga Canada-Solo yang tinggal di sana adalah merupakan tradisi bagi mahasiswa Indonesia yang berada di Fredericton. Untuk mencapai Charlottetown kami melewati Confederation Bridge, sebuah jembatan sepanjang hampir 13 km yang menghubungkan mainland dengan pulau tersebut. Asyik juga melalui jembatan tersebut di mana sepanjang mata memandang di sekeliling terlihat lautan yang biru gelap membeku. Penduduk pulau tersebut banyak yang merupakan keturunan Scottish dan Irish, yang terkenal dengan alat musik fiddle, tap dance, dan peminum bir. Pada pergantian tahun, gubernur menyelenggarakan open house, kami semua hadir untuk melihat keunikan budaya Celtic di sini. Tersedia banyak makanan; namun beberapa dari kami yang muslim tidak dapat menikmatinya karena hari masih belum terlalu sore - kami masih berpuasa. Jadi, ketika orang-orang makan dengan lahap, kami hanya melihat-lihat saja, hingga orang-orang bertanya-tanya. Dengan lugas kami menjelaskan arti bulan Ramadhan dan mereka antusias sekali mendengarkannya. Saat itu, kami sering-sering menilik jam tangan; tatkala sudah menjelang waktu maghrib, kamipun bergegas mengambil piring dan mulai mengoleksi makanan - seperti biasanya kami ambil hidangan untuk vegetarian atau seafood untuk amannya. Dan saat berbuka puasapun tiba. Kami saling memberi kode dan mulailah kami menyantap setumpuk makanan di piring besar. Orang-orangpun kembali bertanya-tanya. Lho, katanya tadi puasa, kok sekarang makan. Maka, kemudian kami menjelaskan kembali bahwa sekarang sudah saatnya berbuka sehingga boleh makan. Mereka terlihat antusias lagi mendengarkannya. Kali ini, mereka yang mengalami culture shock ya ;-)
Buka puasa bersama dengan para moslem brothers dan sisters dari negara lain merupakan pengalaman yang mengesankan di sini. Setiap Sabtu, FIA (Fredericton Islamic Association) mengadakan buka puasa bersama dengan model potluck, setiap keluarga membawa makanan untuk dimakan bersama. Biasanya, untuk mahasiswa yang tidak datang dengan keluarga, cukup membawa minuman atau makanan ringan. Tempatnya berpindah-pindah, namun masih di lingkungan kampus UNB. Saat itulah kesempatan untuk menikmati hidangan dari berbagai negara, terutama yang mayoritas penduduknya muslim. Hal yang menguntungkan adalah: saya termasuk orang yang omnivora; rentang akseptabilitas rasa dan selera perut saya ini sangat lebar, sehingga saya bisa mencicip segala macam makanan yang tersedia tanpa terlalu pilih-pilih. Hal yang tidak menguntungkan: volume perut saya termasuk kecil, sehingga tidak bisa makan terlalu banyak- jika dipaksa maka akan mendesak diafragma dan terasa menyesakkan dada. BTW, dengan demikian di acara potluck tersebut saya makan tidak terlalu banyak dalam kuantitas namun banyak dalam variasinya. Alhasil, seringkali nasi jadi lauk dan lauk jadi makanan pokok ;-) Di saat lain, mahasiswa yang bersendirian di sini seringkali diundang oleh keluarga-keluarga muslim untuk berbuka puasa di rumah mereka. Pokoknya kelarisan dah ;-) Termasuk keluarga dari Maroko yang mengundang saya dan teman saya dari ITS untuk berbuka dengan beberapa mahasiswa dari negara lain. Kamipun berangkatlah ke rumahnya. Tersedia hidangan sangat banyak di meja makan. Saat buka puasa tiba, setelah makanan ringan sekadarnya serta sholat maghrib berjamaah, tibalah saat untuk makanan besar. Kok ya piring yang tersedia besar banget, kayak nampan aja ukurannya. Ya sudah, saya ambil nasi dan lauk hingga separuh piring tak sampai. Ini sudah banyak, pikir saya sambil melihat teman-teman lain mengambil makanan sepiring penuh bahkan sampai menggunung memenuhi tepinya. Tuan rumah bola-bali meminta saya untuk mengambil lebih. Dikiranya saya malu-malu untuk makan banyak-banyak. Tak lah. Ini sudah cukup mengenyangkan saya, sambil menyantap dan mengobrol bersama mereka. Habis sepiring, eh ternyata mereka go for the second round!!! Segunung lagi. Ya ampun, ini sih balas dendam ;-) Saya tidak tergoda untuk mengikuti mereka, namun masih cukuplah tersisa ruangan untuk hidangan penutup berupa buah, hingga kemudian saya tergolek kepenuhan di sofa melihat ganasnya mereka menghabiskan hidangan yang ada.
{2000 @ canada}
see other Culture Shocks
Selama bulan Ramadhan, mahasiswa Indonesia di sini biasa berkumpul untuk berbuka puasa bersama; dan seperti biasanya pula, tempat kumpulnya adalah di apartemen kami. Buka bersama bukan hanya diikuti oleh mahasiswa dan keluarganya yang muslim, tetapi juga yang non muslim karena itu adalah kesempatan untuk bertemu dengan semua orang Indonesia di Fredericton. Pada hari tersebut, siang harinya kami bersiap untuk menghidangkan santapan untuk berbuka dan makan malam. Biasanya saya ketiban jatah untuk membuat tempura; dengan bahan dari carrot dan spinach. Pada hari terakhir ramadhan tahun 1998, acara yang dilakukan adalah makan malam bersama, bukan buka bersama. Saat itu saya masih berada di tempat kost seorang teman yang berada di King College Road, tak jauh dari apartemen kami. Selepas berbuka seperlunya dan sholat maghrib, kami menuju Magee House. Bulan Ramadhan ini tepat di pertengahan musim dingin. Timbunan salju banyak menumpuk di tepi jalan. Kami berjalan di bawah rintikan salju yang turun dari langit lembut mengenai jaket tebal yang kami kenakan. Meskipun jarak antara King College Rd dan Magee House tak jauh, kami memilih untuk berjalan memutar melalui Regent Street. Kami bersepakat untuk bertakbir berdua di sepanjang jalan. Suara takbir kami berdua - tak begitu keras karena terpaan angin dingin yang membawa butiran salju masuk ke dalam mulut - menggema ditelan sepinya malam di jalan yang kami lalui. Mungkin tak ada yang mendengar kami. Tetapi, pepohonan dan semak-semak yang tertutup lapisan salju memutih di sepanjang Kings College Rd, Regent St, dan Montgomery St terasakan ikut bergerak diselingi suara angin yang lalu, menyambut suara takbir yang mungkin belum pernah mereka dengarkan sebelumnya di sana. Menunjukkan rasa kehilangan yang akan kami alami karena hari ini adalah hari terakhir bulan Ramadhan tahun itu di Fredericton. Sungguh, getaran suara itu, akan selalu terngiang di telinga tatkala saya teringat akan saat itu.
Saat menjelang pergantian tahun, masih dalam bulan Ramadhan juga, kami berbanyak pergi ke Prince Edward Island, provinsi terkecil di Kanada, berupa sebuah pulau di Teluk Saint Lawrence yang berbatasan dengan Samudera Atlantic dan merupakan pulau terbesar nomor 104 di dunia! ;-). Penduduk provinsi di sebelah timur New Brunswick ini kurang dari 150 ribu jiwa namun pendapatan perkapita tahun ini mencapai hampir 300 juta rupiah. Pulau ini menjadi terkenal - terutama di Jepang, terbukti dengan banyaknya wisatawan Jepang ke sana - karena Lucy Maud Montgomery menulis sebuah novel klasik yang berjudul Anne of Green Gable dengan setting pulau tersebut. Kunjungan ke kediaman sebuah keluarga Canada-Solo yang tinggal di sana adalah merupakan tradisi bagi mahasiswa Indonesia yang berada di Fredericton. Untuk mencapai Charlottetown kami melewati Confederation Bridge, sebuah jembatan sepanjang hampir 13 km yang menghubungkan mainland dengan pulau tersebut. Asyik juga melalui jembatan tersebut di mana sepanjang mata memandang di sekeliling terlihat lautan yang biru gelap membeku. Penduduk pulau tersebut banyak yang merupakan keturunan Scottish dan Irish, yang terkenal dengan alat musik fiddle, tap dance, dan peminum bir. Pada pergantian tahun, gubernur menyelenggarakan open house, kami semua hadir untuk melihat keunikan budaya Celtic di sini. Tersedia banyak makanan; namun beberapa dari kami yang muslim tidak dapat menikmatinya karena hari masih belum terlalu sore - kami masih berpuasa. Jadi, ketika orang-orang makan dengan lahap, kami hanya melihat-lihat saja, hingga orang-orang bertanya-tanya. Dengan lugas kami menjelaskan arti bulan Ramadhan dan mereka antusias sekali mendengarkannya. Saat itu, kami sering-sering menilik jam tangan; tatkala sudah menjelang waktu maghrib, kamipun bergegas mengambil piring dan mulai mengoleksi makanan - seperti biasanya kami ambil hidangan untuk vegetarian atau seafood untuk amannya. Dan saat berbuka puasapun tiba. Kami saling memberi kode dan mulailah kami menyantap setumpuk makanan di piring besar. Orang-orangpun kembali bertanya-tanya. Lho, katanya tadi puasa, kok sekarang makan. Maka, kemudian kami menjelaskan kembali bahwa sekarang sudah saatnya berbuka sehingga boleh makan. Mereka terlihat antusias lagi mendengarkannya. Kali ini, mereka yang mengalami culture shock ya ;-)
Buka puasa bersama dengan para moslem brothers dan sisters dari negara lain merupakan pengalaman yang mengesankan di sini. Setiap Sabtu, FIA (Fredericton Islamic Association) mengadakan buka puasa bersama dengan model potluck, setiap keluarga membawa makanan untuk dimakan bersama. Biasanya, untuk mahasiswa yang tidak datang dengan keluarga, cukup membawa minuman atau makanan ringan. Tempatnya berpindah-pindah, namun masih di lingkungan kampus UNB. Saat itulah kesempatan untuk menikmati hidangan dari berbagai negara, terutama yang mayoritas penduduknya muslim. Hal yang menguntungkan adalah: saya termasuk orang yang omnivora; rentang akseptabilitas rasa dan selera perut saya ini sangat lebar, sehingga saya bisa mencicip segala macam makanan yang tersedia tanpa terlalu pilih-pilih. Hal yang tidak menguntungkan: volume perut saya termasuk kecil, sehingga tidak bisa makan terlalu banyak- jika dipaksa maka akan mendesak diafragma dan terasa menyesakkan dada. BTW, dengan demikian di acara potluck tersebut saya makan tidak terlalu banyak dalam kuantitas namun banyak dalam variasinya. Alhasil, seringkali nasi jadi lauk dan lauk jadi makanan pokok ;-) Di saat lain, mahasiswa yang bersendirian di sini seringkali diundang oleh keluarga-keluarga muslim untuk berbuka puasa di rumah mereka. Pokoknya kelarisan dah ;-) Termasuk keluarga dari Maroko yang mengundang saya dan teman saya dari ITS untuk berbuka dengan beberapa mahasiswa dari negara lain. Kamipun berangkatlah ke rumahnya. Tersedia hidangan sangat banyak di meja makan. Saat buka puasa tiba, setelah makanan ringan sekadarnya serta sholat maghrib berjamaah, tibalah saat untuk makanan besar. Kok ya piring yang tersedia besar banget, kayak nampan aja ukurannya. Ya sudah, saya ambil nasi dan lauk hingga separuh piring tak sampai. Ini sudah banyak, pikir saya sambil melihat teman-teman lain mengambil makanan sepiring penuh bahkan sampai menggunung memenuhi tepinya. Tuan rumah bola-bali meminta saya untuk mengambil lebih. Dikiranya saya malu-malu untuk makan banyak-banyak. Tak lah. Ini sudah cukup mengenyangkan saya, sambil menyantap dan mengobrol bersama mereka. Habis sepiring, eh ternyata mereka go for the second round!!! Segunung lagi. Ya ampun, ini sih balas dendam ;-) Saya tidak tergoda untuk mengikuti mereka, namun masih cukuplah tersisa ruangan untuk hidangan penutup berupa buah, hingga kemudian saya tergolek kepenuhan di sofa melihat ganasnya mereka menghabiskan hidangan yang ada.
{2000 @ canada}
see other Culture Shocks
Wednesday, October 11, 2006
Disangka Orang Asing
Sudah menjadi nasib saya sering disangka bukan orang Indonesia. Dari nama saya saja, orang sering salah sangka andai belum pernah bertemu langsung dengan saya. Suatu kali di University of New Brunswick, saya ditunjuk menjadi graduate teaching assistant Prof. Sousa untuk Heat Transfer Lab (selama di sana, saya menjadi asisten 5 profesor yang berbeda) bersama dengan Jason, seorang mahasiswa graduate asli Kanada. Berhubung kami berdua belum pernah bertemu, kami saling mengirim email dan bersepakat untuk bertemu di depan kelas saat kuliah Heat Transfer. Oke. Pada masa yang telah ditentukan, saya berdiri di depan pintu kelas, melihat mahasiswa yang memasuki lecture hall untuk kuliah. Yang mana ya orang itu, pikir saya; bingung karena kebanyakan mahasiswanya berkulit putih sehingga saya tidak dapat mengira-ira yang mana teman saya tersebut. Setelah hampir semua orang masuk kelas, terlihat seseorang yang berdiri bersandar di pintu kelas, sedari tadi dia menatap ke arah datangnya massa. Ini dia orangnya, tebak saya. "Are you Jason?". Dia menatap saya lalu mengangguk, mimik mukanya terlihat bingung dan ragu. "Are you Achmed?". Demikian saya biasa dipanggil di sana. "Yes I am", jawab saya mantap sambil mengulurkan tangan. Dia menjabat tangan saya sambil tersenyum dan berkata "I was expecting an arabic guy". Tentu saja, dia mengira orang yang akan ditemuinya adalah orang Arab, that's because of my name :-)
Di kesempatan lain, saya berada di graduate computer room lantai 2 Head Hall, membaca email di komputer DEC dengan sistem operasi Unix sambil browsing membaca berita dari Indonesia. Setiap hari belasan surat kabar online Indonesia kami lahap, begitu laparnya kami akan kabar dari tanah air dan betapa rindunya kami akan ibu pertiwi. Sedang asyiknya membaca berita, tiba-tiba saja dari sebelah saya, Jeff Wong, graduate student yang berasal dari Hongkong tertawa keras sekali dan berteriak ke saya dengan bahasa yang saya sama sekali tidak dhong, sambil menunjuk-nunjuk layar monitornya yang berisi tampilan webmail. "I don't get it", kata saya ketika dia insist menyuruh saya membaca emailnya sambil terus tertawa-tawa. Apa yang saya lihat di sana hanyalah gambar huruf cina (bukan tulisan, saya selalu menganggap aksara cina adalah gambar, karena diturunkan dari gambaran benda yang diwakilinya, bukan fonem. Isn't it?). Bagian mana yang lucu, pikir saya sambil mencari gambar atau celah-celah lain yang dapat memicu syaraf tertawa saya. Jeff tertawa dan tertawa, "this email is just very funny", namun makin lama makin berubah jadi tawa kebingungan ketika melihat saya tak kunjung tertawa juga. Lalu dia bertanya: "Can you speak in chinese?". Saya menggelengkan kepala saya. Dia bertanya lagi: "Which province are you from". Dengan santainya saya jawab: "Daerah Istimewa Yogyakarta". Mendengar itu dia kebingungan mencoba merekover pengetahuan geografinya: di mana kira-kira letak provinsi ini. Rupanya dia mengira saya berasal dari daratan China. Wah, kalau begitu, sampai kapanpun gak bakalan nemuin yang namanya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di sana ;-) Setelah itu, lebih dari belasan kali orang menyangka saya berasal dari daratan China.
Sejak kedatangan saya ke Malaysia, saya selalu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan para student di kelas atau di lab. Dalam tugas saya sebagai tutor maupun lab demonstrator, saya memang tidak pernah banyak berbicara dengan lantang di depan kelas dengan dipandangi oleh semua mahasiswa. Sori saya bukan tipe seperti itu ;-) Saya mencoba menerapkan Student Centered Learning yang akhir-akhir ini saya dalami dengan teman-teman di tim pengembangan pembelajaran di UGM. Mahasiswa tidak disuapi dengan ilmu tetapi biarkan mereka mengkonstruksi sendiri ilmu yang mereka pelajari, kita hanya memfasilitasi mereka agar dapat belajar dengan baik dan memberikan temporary assistantship seperlunya. Jadi di kelas dan lab biasanya mereka diminta mencoba mengerjakan sendiri tugas mereka, lalu saya akan membantu menjelaskan jika ada pertanyaan. Jadi komunikasinya lebih bersifat individual atau dalam kelompok kecil. Suatu kali, Faizah, technician di Lab Elektronika Analog bertanya pada saya: "Where are you from?". Saya jawab kalau saya berasal dari Indonesia (kebanyakan setelah itu, pertanyaan yang diajukan adalah dari kota mana saya berasal. Dan ketika saya jawab bahwa saya berasal dari Yogyakarta, mereka kemudian berkata: "Oh, the one with earthquake!", lalu saya menjelaskan kejadian yang kami alami di bulan Mei lalu itu). Dia mengatakan kalau para mahasiswa menyangka saya berasal dari Myanmar, karena tidak pernah menggunakan bahasa Melayu maupun Indonesia di kelas. Saya tidak tahu apakah wajah saya memang mirip orang Myanmar atau tidak, tetapi suatu kali saya bertemu dengan orang Myanmar, saya ajak dia bercakap dalam bahasa Jawa karena wajahnya mirip sekali dengan orang Jawa. Tentu saja dia kebingungan :-D
Bukannya mau apa, saya memang selalu menggunakan bahasa Inggris di kelas. Pertama, karena di kelas saya yang mahasiswanya lebih dari 150 orang itu, tidak semuanya berasal dari Malaysia; banyak juga yang berasal dari negara lain seperti Iran, Sudan, India, Pakistan, Vietnam, dan lain-lain. Jadi saya tak boleh menggunakan bahasa Indonesia meskipun kebanyakan mahasiswa Malaysia memahaminya. Kedua, beberapa kata dalam bahasa Indonesia ternyata memiliki arti yang sangat berbeda dalam bahasa Melayu. Bahkan banyak kata dalam bahasa Indonesia yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari backhome, ternyata kata tersebut sangat tidak sopan untuk diucapkan di sini. Parahnya, makin berusaha untuk tidak mengucapkan kata-kata tersebut, makin sering keluar dari mulut kita, sehingga seringkali kemudian kita menyadarinya - atau ada teman yang mengingatkannya - dan kita hanya bisa ber-oooops saja sambil menutup mulut dengan tangan. Akhirnya asal saya ketahuan juga ketika suatu saat saya sedang memesan makanan di kantin desasiswa V5, tempat saya tinggal di UTP. Saya memang suka makan di kantin ini karena kokinya berasal dari Jawa Timur, jadi nasi gorengnya sangat cocok di lidah saya. "Saya pesan nasi goreng ayam satu", kata saya. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara: "Aaa, dari Indonesia ya". Ternyata di belakang saya banyak student saya yang beratur (antri) untuk memesan makanan di kantin tersebut. Sejak itu, saya sering menggunakan kata-kata dalam bahasa Melayu ketika memberikan penjelasan kepada mahasiswa tempatan (lokal), meskipun secara umum saya masih lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris.
{2006 @ tronoh.malaysia}
see other Culture Shocks
Di kesempatan lain, saya berada di graduate computer room lantai 2 Head Hall, membaca email di komputer DEC dengan sistem operasi Unix sambil browsing membaca berita dari Indonesia. Setiap hari belasan surat kabar online Indonesia kami lahap, begitu laparnya kami akan kabar dari tanah air dan betapa rindunya kami akan ibu pertiwi. Sedang asyiknya membaca berita, tiba-tiba saja dari sebelah saya, Jeff Wong, graduate student yang berasal dari Hongkong tertawa keras sekali dan berteriak ke saya dengan bahasa yang saya sama sekali tidak dhong, sambil menunjuk-nunjuk layar monitornya yang berisi tampilan webmail. "I don't get it", kata saya ketika dia insist menyuruh saya membaca emailnya sambil terus tertawa-tawa. Apa yang saya lihat di sana hanyalah gambar huruf cina (bukan tulisan, saya selalu menganggap aksara cina adalah gambar, karena diturunkan dari gambaran benda yang diwakilinya, bukan fonem. Isn't it?). Bagian mana yang lucu, pikir saya sambil mencari gambar atau celah-celah lain yang dapat memicu syaraf tertawa saya. Jeff tertawa dan tertawa, "this email is just very funny", namun makin lama makin berubah jadi tawa kebingungan ketika melihat saya tak kunjung tertawa juga. Lalu dia bertanya: "Can you speak in chinese?". Saya menggelengkan kepala saya. Dia bertanya lagi: "Which province are you from". Dengan santainya saya jawab: "Daerah Istimewa Yogyakarta". Mendengar itu dia kebingungan mencoba merekover pengetahuan geografinya: di mana kira-kira letak provinsi ini. Rupanya dia mengira saya berasal dari daratan China. Wah, kalau begitu, sampai kapanpun gak bakalan nemuin yang namanya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di sana ;-) Setelah itu, lebih dari belasan kali orang menyangka saya berasal dari daratan China.
Sejak kedatangan saya ke Malaysia, saya selalu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan para student di kelas atau di lab. Dalam tugas saya sebagai tutor maupun lab demonstrator, saya memang tidak pernah banyak berbicara dengan lantang di depan kelas dengan dipandangi oleh semua mahasiswa. Sori saya bukan tipe seperti itu ;-) Saya mencoba menerapkan Student Centered Learning yang akhir-akhir ini saya dalami dengan teman-teman di tim pengembangan pembelajaran di UGM. Mahasiswa tidak disuapi dengan ilmu tetapi biarkan mereka mengkonstruksi sendiri ilmu yang mereka pelajari, kita hanya memfasilitasi mereka agar dapat belajar dengan baik dan memberikan temporary assistantship seperlunya. Jadi di kelas dan lab biasanya mereka diminta mencoba mengerjakan sendiri tugas mereka, lalu saya akan membantu menjelaskan jika ada pertanyaan. Jadi komunikasinya lebih bersifat individual atau dalam kelompok kecil. Suatu kali, Faizah, technician di Lab Elektronika Analog bertanya pada saya: "Where are you from?". Saya jawab kalau saya berasal dari Indonesia (kebanyakan setelah itu, pertanyaan yang diajukan adalah dari kota mana saya berasal. Dan ketika saya jawab bahwa saya berasal dari Yogyakarta, mereka kemudian berkata: "Oh, the one with earthquake!", lalu saya menjelaskan kejadian yang kami alami di bulan Mei lalu itu). Dia mengatakan kalau para mahasiswa menyangka saya berasal dari Myanmar, karena tidak pernah menggunakan bahasa Melayu maupun Indonesia di kelas. Saya tidak tahu apakah wajah saya memang mirip orang Myanmar atau tidak, tetapi suatu kali saya bertemu dengan orang Myanmar, saya ajak dia bercakap dalam bahasa Jawa karena wajahnya mirip sekali dengan orang Jawa. Tentu saja dia kebingungan :-D
Bukannya mau apa, saya memang selalu menggunakan bahasa Inggris di kelas. Pertama, karena di kelas saya yang mahasiswanya lebih dari 150 orang itu, tidak semuanya berasal dari Malaysia; banyak juga yang berasal dari negara lain seperti Iran, Sudan, India, Pakistan, Vietnam, dan lain-lain. Jadi saya tak boleh menggunakan bahasa Indonesia meskipun kebanyakan mahasiswa Malaysia memahaminya. Kedua, beberapa kata dalam bahasa Indonesia ternyata memiliki arti yang sangat berbeda dalam bahasa Melayu. Bahkan banyak kata dalam bahasa Indonesia yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari backhome, ternyata kata tersebut sangat tidak sopan untuk diucapkan di sini. Parahnya, makin berusaha untuk tidak mengucapkan kata-kata tersebut, makin sering keluar dari mulut kita, sehingga seringkali kemudian kita menyadarinya - atau ada teman yang mengingatkannya - dan kita hanya bisa ber-oooops saja sambil menutup mulut dengan tangan. Akhirnya asal saya ketahuan juga ketika suatu saat saya sedang memesan makanan di kantin desasiswa V5, tempat saya tinggal di UTP. Saya memang suka makan di kantin ini karena kokinya berasal dari Jawa Timur, jadi nasi gorengnya sangat cocok di lidah saya. "Saya pesan nasi goreng ayam satu", kata saya. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara: "Aaa, dari Indonesia ya". Ternyata di belakang saya banyak student saya yang beratur (antri) untuk memesan makanan di kantin tersebut. Sejak itu, saya sering menggunakan kata-kata dalam bahasa Melayu ketika memberikan penjelasan kepada mahasiswa tempatan (lokal), meskipun secara umum saya masih lebih nyaman menggunakan bahasa Inggris.
{2006 @ tronoh.malaysia}
see other Culture Shocks
Sunday, October 01, 2006
Dwi Bahasa
- Bahasa menunjukkan kepribadian bangsa, dan sebagai anak bangsa yang bangga terhadap bangsanya, I'm trying hard to use Bahasa as good as possible (are you kidding ;-) he..he...he....). Namun, saat berada di tempat yang berbahasa asing, you have to use their language, right? I guess so. Karena itu, saya selalu mencoba mempelajari bahasa di tempat saya tinggal. Saint Thomas University membuka program summer class kursus bahasa Inggris bagi mahasiswa asing. Pesertanya berasal dari berbagai negara di benua Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Eropa. Seperti diketahui, orang-orang dari Eropa berkulit sama dengan orang Amerika Utara: mereka juga bule. Di Yogya, kami biasa menyebut mereka Londo; jadi ada Londo Inggris, Londo Jerman, Londo Perancis, Londo Belanda, etc. Di kursus bahasa Inggris tersebut, juga banyak peserta londo-londo tersebut; dan ketika kita mencoba bercakap dengan mereka, bayangkan apa yang terjadi. Betapa aneh rasanya melihat seorang bule terbata-bata mencoba berbahasa Inggris!!! :-) Hal ini karena kita berpikiran bahwa setiap bule selalu mahir menggunakan bahasa Inggris.
- New Brunswick merupakan provinsi yang memiliki official language dwi bahasa: bahasa Inggris dan bahasa Perancis (sebenarnya pemerintah Federal Canada memiliki bahasa resmi dalam dwi bahasa tersebut sejak 1969 - di antara bahasa-bahasa lain di sana: Dene Suline, Cree, Dogrib, Gwich’in and Slavey -, namun hanya Provinsi NB yang mencantumkannya secara eksplisit dalam konstitusi mereka). Hal ini berarti setiap dokumen resmi harus ditulis dalam kedua bahasa tersebut. Setiap surat yang berhubungan dengan pemerintahan atau administrasi ditulis dalam 2 bahasa ini, termasuk laporan pemerintah, kartu nama, KTP (kami sering menyebutnya kartu dosa karena disingkat kartu SIN, security identification number), buku petunjuk pariwisata, borang isian, dan lain-lain; bahkan juga papan tanda lalu lintas. Kadang ditulis dalam 1 halaman, sebelah kiri untuk bahasa Inggris, sebelah kanan untuk bahasa Perancis; atau sebelah atas bahasa Inggris, bawah Perancis. Kadang sebuah buku jika dibaca dari depan tertulis dalam bahasa Inggris, lalu jika dibalik dibaca dari belakang maka tertulis dalam bahasa Perancis. Bayangkan (lagi), betapa borosnya biaya pembuatan buku, borang, dan kartu tersebut karena jumlah halamannya akan menjadi 2 kali lipat daripada jika menggunakan hanya 1 bahasa. Oleh karena itu, pemerintah provinsi berencana untuk menetapkan salah satu bahasa tersebut sebagai bahasa resmi.
- Menurut catatan sejarah, Canada ditemukan pada akhir milenia pertama oleh orang Viking, yaitu Norse dan Leif Ericson. Namun dalam perkembangannya, Inggris dan Perancis berival menguasai Canada. Bagian barat Canada lebih banyak memiliki pengaruh Inggris, terlihat dari nama salah satu provinsinya adalah British Columbia. Perancis lebih banyak memiliki pengaruh di Quebec, sebuah provinsi yang berusaha untuk memisahkan diri dari Canada pada dekade-dekade akhir abad lalu. Sementara provinsi-provinsi Atlantic dipengaruhi oleh keduanya, namun kayaknya pengaruh Inggris sekarang lebih besar. Jadi tinggal Quebec sekarang. Pada 1974, bahasa Perancis menjadi official language di sana dan sempat pengajaran di sekolah menggunakan bahasa Inggris sangat dibatasi meskipun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung.Keinginan untuk memiliki negara sendiri yang berbahasa Perancis dipupuskan oleh kekalahan dalam referendum 1995. Yang menarik adalah, penduduk Quebec yang setiap harinya berbahasa Perancis sebenarnya dapat menggunakan bahasa Inggris. Namun, kalau anda seorang bule/londo ;-) jangan harap mereka akan melayani kalau anda menggunakan bahasa Inggris. Tetapi kalau anda seorang yang kulitnya berwarna (dari Asia, Afrika, dsb), anda akan tetap dilayani meskipun menggunakan bahasa Inggris!!!
- Hampir separuh penduduk New Brunswick berbahasa Inggris, kurang lebih seperempat berbahasa Perancis, dan seperempat lain bilingual Inggris dan Perancis. Uniknya di bagian tenggara negara bagian ini, penduduknya sering mencampuradukkan penggunaan bahasa Perancis dan Inggris sehingga muncul bahasa campuran yaitu Franglais. Mereka mengkombinasikan penggunaan subyek, predikat, obyek, dan kata keterangan dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Contoh kalimat dalam bahasa Franglais adalah: J'vas driver downtown yang berarti saya akan berkendara ke pusat kota; atau Je suis tired yang berarti saya lelah. Contoh yang lebih panjang ada dalam karya Robert Surtees 'Jorrocks Jaunts and Jollities': "You shall manger cinque fois every day," said she; "cinque fois," she repeated.--"Humph!" said Mr. Jorrocks to himself, "what can that mean?--cank four--four times five's twenty--eat twenty times a day--not possible!" "Oui, Monsieur, cinque fois," repeated the Countess, telling the number off on her fingers--"Café at nine of the matin, déjeuner à la fourchette at onze o'clock, diner at cinque heure, café at six hour, and souper at neuf hour." Apa tidak membingungkan lawan bicara yang berasal dari luar ya? Yen saya sih, gak pernah nyampur-nyampurno penggunaan bahasa kalau ngomong, bikin bingung wae. ;-)
{1999 @ fredericton}
see other Culture Shocks
Wednesday, September 27, 2006
Random Checking
Hari sebelumnya, dalam perjalanan dari Jakarta ke Hongkong, di pesawat, saya duduk bersama seorang pengusaha Indonesia yang memiliki usaha di Hongkong. Cerita punya cerita, ternyata beliau tinggal dekat dengan rumah saya di Pakualaman Yogyakarta. Most probably my parents may know him as well. Dia banyak bercerita mengenai kehidupan di Hongkong. Ketika pesawat mendarat di Hongkong International Airport (a.k.a. Chek Lap Kok Airport), kami berpisah setelah naik shuttle train berkecepatan sangat tinggi yang mengantarkan penumpang yang turun dari pesawat ke terminal penumpang dan sebaliknya. Sepeninggal beliau, di terminal bandara sendiri, saya celingukan mencari jemputan yang telah dijanjikan pihak hotel. Bertanya pada petugas bandara, kebanyakan tidak dapat berbahasa Inggris, kalaupun ada yang bisa, saya tidak dapat menangkap perkataannya dengan baik; mungkin karena menggunakan bahasa Honglish ;-). Melihat orang kebingungan, 2 orang polisi mendatangi saya dan meminta paspor saya sembari menanyakan tujuan saya. Tak memperhatikan jawaban saya, mereka lebih tertarik dengan apa yang tertulis di paspor dinas saya: "This passport is valid for all parts of the world except: Israel & Taiwan". "Why are you not allowed to go to Taiwan?", tanya salah satu dari mereka. Saya hanya menjawab kalau itu kebijakan pemerintah. "What kind of officer are you?", tanya mereka lagi. Saya menjelaskan bahwa saya dari departemen pendidikan. Pertanyaan yang sama saya peroleh ketika dicegat lagi oleh 2 polisi yang lain ketika hendak naik bus hotel. No, problem, hari itu saya habiskan untuk berjalan-jalan (benar-benar jalan kaki) di pusat kota Hongkong yang penuh dengan tulisan cina sehingga saya kebingungan.
Sore itu, saya sudah berada di bandara HKIA lagi. Sembari menunggu check in, saya melihat-lihat berbagai pojok terminal penumpang, mencoba mencari keunikan yang ada di sini. Rupanya, tingkah saya menarik perhatian 2 orang polisi bandara lagi. Mereka datang dan meminta saya untuk menunjukkan paspor saya lagi. Again, saya musti menjelaskan apa maksud service passport saya tersebut. Di terminal itu, saya 2 kali lagi didatangi dan ditanyai oleh pasangan polisi yang selalu memberi hormat sebelum menyapa. Akhirnya datang juga saat check in. Saya pindah ke ruang tunggu Cathay Pacific untuk menanti saat boarding. Beberapa saat kemudian, saya antri untuk menuju lorong menuju pesawat. Penumpang sangat ramai hari itu, sehingga antrian agak lambat berjalan. Saya tengak-tengok lagi, dan, again!!!, pasangan polisi pria dan wanita mendatangi saya seraya memberi hormat. Saya langsung memberikan paspor yang sudah saya persiapkan- saya sudah tahu bakal kena lagi nih. Akhirnya saya tanyakan ke mereka mengapa memeriksa saya. "Just random checking sir", jawab mereka dengan lugas. Random checking apanya. Random kok kenanya saya terus ;-) Kalau pemenang sayembara yang dipilih secara random, saya tidak pernah dapat; eh giliran untuk diperiksa, kok saya kena terus ;-). Belakangan saya paham mengapa saya didatangi terus oleh para polisi bandara. Dari wajah saya, mungkin mereka mengira saya berasal China daratan, dan you know, orang Hongkong dan orang China daratan rupanya saling tidak menyukai satu sama lain.
{1998 @ hongkong}
see other Culture Shocks
Sore itu, saya sudah berada di bandara HKIA lagi. Sembari menunggu check in, saya melihat-lihat berbagai pojok terminal penumpang, mencoba mencari keunikan yang ada di sini. Rupanya, tingkah saya menarik perhatian 2 orang polisi bandara lagi. Mereka datang dan meminta saya untuk menunjukkan paspor saya lagi. Again, saya musti menjelaskan apa maksud service passport saya tersebut. Di terminal itu, saya 2 kali lagi didatangi dan ditanyai oleh pasangan polisi yang selalu memberi hormat sebelum menyapa. Akhirnya datang juga saat check in. Saya pindah ke ruang tunggu Cathay Pacific untuk menanti saat boarding. Beberapa saat kemudian, saya antri untuk menuju lorong menuju pesawat. Penumpang sangat ramai hari itu, sehingga antrian agak lambat berjalan. Saya tengak-tengok lagi, dan, again!!!, pasangan polisi pria dan wanita mendatangi saya seraya memberi hormat. Saya langsung memberikan paspor yang sudah saya persiapkan- saya sudah tahu bakal kena lagi nih. Akhirnya saya tanyakan ke mereka mengapa memeriksa saya. "Just random checking sir", jawab mereka dengan lugas. Random checking apanya. Random kok kenanya saya terus ;-) Kalau pemenang sayembara yang dipilih secara random, saya tidak pernah dapat; eh giliran untuk diperiksa, kok saya kena terus ;-). Belakangan saya paham mengapa saya didatangi terus oleh para polisi bandara. Dari wajah saya, mungkin mereka mengira saya berasal China daratan, dan you know, orang Hongkong dan orang China daratan rupanya saling tidak menyukai satu sama lain.
{1998 @ hongkong}
see other Culture Shocks
Sunday, September 24, 2006
Subuh 2 Kali
Senin, 28 Agustus, perjalanan pulang dari Kanada ke Indonesia diperkirakan mencapai 2 hari (30 jam). Hal ini berbeda dengan perjalanan saya saat berangkat dari Indonesia ke Kanada yang mencapai lebih dari 40 jam. Namun, perjalanan pulang ditempuh tanpa menginap, sedangkan pada perjalanan berangkat saya sempat menginap di Hongkong dan Toronto, masing-masing semalam. Setelah berpisah dengan teman-teman yang mengantar di Bandara Fredericton dan harus mengatur ulang isi tas kabin karena overloaded sementara pihak security bandara sangat ketat sekali dalam menerapkan batasan barang bawaan penumpang, saya melenggang masuk ke pesawat. Goodbye Fredericton, I'll be missing you.
Tidak ada cerita yang menarik dalam perjalanan menuju Toronto, dengan pesawat kecil, jarak antar kursi yang sangat sempit bahkan bagi saya, bagaimana pula bagi bule-bule yang tinggi-tinggi itu ya? Di Toronto kami sempat transit selama lebih dari 6 jam dan bersiap untuk perjalanan ke Hongkong. Pesawat Cathay Pacific berangkat dari Toronto sebelum tengah malam, berhenti sekali lagi di Anchorage Alaska selama sekitar 2 jam. Di dalam pesawat, di muka setiap tempat duduk, terdapat panel televisi yang menampilkan beberapa channel acara kartun, lawak, olah raga, film, dan musik. Saya memilih menonton channel yang memutar Mr Bean; tak pernah bosan meski telah berkali-kali melihatnya. Di panel tersebut terdapat pula informasi posisi pesawat serta jam; baik jam dari lokasi pemberangkatan, tempat tujuan, serta jam di lokasi pesawat sedang berada (posisi daratan di bawahnya).
Karena hari telah hampir pagi, dan sudah memasuki waktu subuh, maka saya segera sholat subuh di kursi pesawat. Seusai itu, saya kembali menekuni panel televisi sambil melihat jam yang menunjukkan waktu lokal. Terlihat sesuatu yang aneh pada jam tersebut. Setelah saya perhatikan, ternyata jam lokal - yang menunjukkan waktu lokasi daratan di bawah pesawat pada saat itu - berkurang satu jam demi satu jam. Mulai jam 5, 4, 3, 2, ... mmmm sangat menarik. Jam berbalik mundur! Ini terjadi karena kecepatan pesawat sedemikian pesat sehingga melebihi kecepatan rotasi bumi yang berputar dari barat ke timur. Selanjutnya ... 1, 12, 11. Jam berbalik mundur melewati hari sebelumnya...!!! Subhanallah. Sungguh suatu pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Saya jadi ingat perkataan seorang teman ketika menyesali tindakannya yang membuang-buang waktu ketika mendapati nilai ujiannya jelek semua. "Semua ini karena aku tidak mau memanfaatkan waktu yang ada selama kuliah", katanya. Dia memang terlihat lebih suka bersantai-santai daripada membaca buku dan materi kuliah. Semua dapat dipelajari satu-dua hari menjelang ujian, tukasnya meyakinkan ketika saya menegurnya. Tentu saja kata-katanya tidak terbukti. "Oh, andaikata saja waktu bisa berjalan mundur, tentu aku bisa belajar lebih banyak dan lulus ujian dengan nilai baik". Andaikata, memang sebuah kata yang mudah diucapkan, terutama ketika semua sudah terlanjur terjadi.
Kita memang sering tidak memanfaatkan waktu dengan baik, termasuk saya sendiri. Waktu diciptakan fix 24 jam sehari, tetapi kita sering merasa kekurangan waktu, sedangkan di saat agak luang, waktu kita buang-buang. Tentu saja kita selalu merugi. Allah berfirman, "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kebenaran dan nasehat-menasehati dalam menetapi kesabaran" (QS Al 'Ashr). Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk memanfaatkan waktu dengan baik, sabdanya, "Carilah yang lima sebelum datang yang lima, yaitu manfaatkanlah masa mudamu sebelum datang masa tuamu (dengan ibadah), gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu (dengan amal saleh), gunakanlah masa kayamu sebelum datang masa miskinmu (dengan sedekah), gunakanlah masa hidupmu sebelum datang masa matimu (mencari bekal untuk hidup setelah mati). gunakanlah masa senggangmu sebelum datang masa sempitmu.' (Al Hadits).
Saya tidak mengalami waktu mundur saat itu, tetapi hanyalah jam yang berjalan mundur. Jam adalah kesepakatan manusia, sedangkan waktu adalah makhluk Allah yang kita tak kuasa mengendalikannya.
Selanjutnya pesawat tiba di Hongkong dan berhenti untuk transit lagi. Ketika pesawat mendarat, jam kembali berjalan maju secara normal, 11, 12, 1, ... Kemudian yang terpikir oleh saya adalah: tadi saya sudah sholat subuh. Lantas, apakah saya mesti sholat subuh lagi ketika waktunya tiba? Suatu pertanyaan yang belum pernah sama sekali muncul di kepala saya, pun belum pernah mendengar di pengajian manapun. Segera otak bekerja, tadi ketika jam berbalik dari pukul 1 malam ke pukul 12, apakah hari berubah dari Selasa menjadi Senin? Ketika tiba di Hongkong, dan jam bergerak maju lagi melewati tengah malam, hari berganti menjadi Selasa. Jadi saya tiba di Hongkong hari Selasa? Ternyata jam di bandara Hongkong menunjukkan hari itu Rabu 30 Agustus 2000. Bagaimana mungkin? Ternyata dalam perjalanan dari Alaska ke Hongkong tadi, pesawat melampaui garis batas penanggalan di atas Samudera Pasifik, sehingga dilakukan koreksi tanggal dan mundur 1 hari. Kalau begitu subuh menjelang adalah subuh untuk hari yang berbeda dengan subuh yang saya alami tadi pagi (tadi pagi?, bukannya kemarin, tetapi kan sekarang lebih malam daripada tadi pagi? wah, ternyata membingungkan juga ya). Oleh karena itu saya segera sholat subuh lagi di Bandara Hongkong, sambil menunggu pesawat Garuda yang akan membawa saya ke Bandara Ngurah Rai di Pulau Bali. Selamat bertemu lagi Indonesia.
{2000 @ canada}
see other Culture Shocks
Tidak ada cerita yang menarik dalam perjalanan menuju Toronto, dengan pesawat kecil, jarak antar kursi yang sangat sempit bahkan bagi saya, bagaimana pula bagi bule-bule yang tinggi-tinggi itu ya? Di Toronto kami sempat transit selama lebih dari 6 jam dan bersiap untuk perjalanan ke Hongkong. Pesawat Cathay Pacific berangkat dari Toronto sebelum tengah malam, berhenti sekali lagi di Anchorage Alaska selama sekitar 2 jam. Di dalam pesawat, di muka setiap tempat duduk, terdapat panel televisi yang menampilkan beberapa channel acara kartun, lawak, olah raga, film, dan musik. Saya memilih menonton channel yang memutar Mr Bean; tak pernah bosan meski telah berkali-kali melihatnya. Di panel tersebut terdapat pula informasi posisi pesawat serta jam; baik jam dari lokasi pemberangkatan, tempat tujuan, serta jam di lokasi pesawat sedang berada (posisi daratan di bawahnya).
Karena hari telah hampir pagi, dan sudah memasuki waktu subuh, maka saya segera sholat subuh di kursi pesawat. Seusai itu, saya kembali menekuni panel televisi sambil melihat jam yang menunjukkan waktu lokal. Terlihat sesuatu yang aneh pada jam tersebut. Setelah saya perhatikan, ternyata jam lokal - yang menunjukkan waktu lokasi daratan di bawah pesawat pada saat itu - berkurang satu jam demi satu jam. Mulai jam 5, 4, 3, 2, ... mmmm sangat menarik. Jam berbalik mundur! Ini terjadi karena kecepatan pesawat sedemikian pesat sehingga melebihi kecepatan rotasi bumi yang berputar dari barat ke timur. Selanjutnya ... 1, 12, 11. Jam berbalik mundur melewati hari sebelumnya...!!! Subhanallah. Sungguh suatu pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Saya jadi ingat perkataan seorang teman ketika menyesali tindakannya yang membuang-buang waktu ketika mendapati nilai ujiannya jelek semua. "Semua ini karena aku tidak mau memanfaatkan waktu yang ada selama kuliah", katanya. Dia memang terlihat lebih suka bersantai-santai daripada membaca buku dan materi kuliah. Semua dapat dipelajari satu-dua hari menjelang ujian, tukasnya meyakinkan ketika saya menegurnya. Tentu saja kata-katanya tidak terbukti. "Oh, andaikata saja waktu bisa berjalan mundur, tentu aku bisa belajar lebih banyak dan lulus ujian dengan nilai baik". Andaikata, memang sebuah kata yang mudah diucapkan, terutama ketika semua sudah terlanjur terjadi.
Kita memang sering tidak memanfaatkan waktu dengan baik, termasuk saya sendiri. Waktu diciptakan fix 24 jam sehari, tetapi kita sering merasa kekurangan waktu, sedangkan di saat agak luang, waktu kita buang-buang. Tentu saja kita selalu merugi. Allah berfirman, "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kebenaran dan nasehat-menasehati dalam menetapi kesabaran" (QS Al 'Ashr). Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk memanfaatkan waktu dengan baik, sabdanya, "Carilah yang lima sebelum datang yang lima, yaitu manfaatkanlah masa mudamu sebelum datang masa tuamu (dengan ibadah), gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu (dengan amal saleh), gunakanlah masa kayamu sebelum datang masa miskinmu (dengan sedekah), gunakanlah masa hidupmu sebelum datang masa matimu (mencari bekal untuk hidup setelah mati). gunakanlah masa senggangmu sebelum datang masa sempitmu.' (Al Hadits).
Saya tidak mengalami waktu mundur saat itu, tetapi hanyalah jam yang berjalan mundur. Jam adalah kesepakatan manusia, sedangkan waktu adalah makhluk Allah yang kita tak kuasa mengendalikannya.
Selanjutnya pesawat tiba di Hongkong dan berhenti untuk transit lagi. Ketika pesawat mendarat, jam kembali berjalan maju secara normal, 11, 12, 1, ... Kemudian yang terpikir oleh saya adalah: tadi saya sudah sholat subuh. Lantas, apakah saya mesti sholat subuh lagi ketika waktunya tiba? Suatu pertanyaan yang belum pernah sama sekali muncul di kepala saya, pun belum pernah mendengar di pengajian manapun. Segera otak bekerja, tadi ketika jam berbalik dari pukul 1 malam ke pukul 12, apakah hari berubah dari Selasa menjadi Senin? Ketika tiba di Hongkong, dan jam bergerak maju lagi melewati tengah malam, hari berganti menjadi Selasa. Jadi saya tiba di Hongkong hari Selasa? Ternyata jam di bandara Hongkong menunjukkan hari itu Rabu 30 Agustus 2000. Bagaimana mungkin? Ternyata dalam perjalanan dari Alaska ke Hongkong tadi, pesawat melampaui garis batas penanggalan di atas Samudera Pasifik, sehingga dilakukan koreksi tanggal dan mundur 1 hari. Kalau begitu subuh menjelang adalah subuh untuk hari yang berbeda dengan subuh yang saya alami tadi pagi (tadi pagi?, bukannya kemarin, tetapi kan sekarang lebih malam daripada tadi pagi? wah, ternyata membingungkan juga ya). Oleh karena itu saya segera sholat subuh lagi di Bandara Hongkong, sambil menunggu pesawat Garuda yang akan membawa saya ke Bandara Ngurah Rai di Pulau Bali. Selamat bertemu lagi Indonesia.
{2000 @ canada}
see other Culture Shocks
Thursday, September 21, 2006
Patung Raja
You know, kebanyakan kita suka difoto, tak terkecuali dengan saya dan seorang teman. Pada kesempatan ke Bangkok untuk mengikuti sebuah workshop di Chulalongkorn University (I don't think I really needed that training. It was just a matter of a chance for me to go to Thailand), kami sempatkan untuk berfoto ria di sana-sini. Bangkok yang dikenal sebagai kota wisata, memiliki ratusan temple, ting trecek, menurut istilah dalam bahasa Jawa, karena saking banyaknya; seperti banyaknya musholla dan masjid di kota-kota di Indonesia. Seorang tourist guide menawari kami untuk mengunjungi 3 temple dalam satu rangkaian, di mana di dalamnya terdapat patung Buddha sedang duduk bersila, berdiri, dan tidur. Sorry, not this time, karena kami baru saja mengunjungi Wat Phra Kaeo (Temple of the Emerald Buddha) dekat istana raja, di sana ada patung Buddha dengan pakaian yang berganti-ganti ketika musim berganti. Kami tentu saja mengambil foto banyak sekali dengan latar depan kami sendiri ;-)
Kembali ke foto-fotoan tadi, sepulang dari Chulalongkorn University, kami berjalan kaki ke hotel sembari melewati sebuah taman dekat pusat pertokoan Siam Square. Ketika berfoto di sana dengan latar belakang sebuah patung, orang-orang yang lalu lalang di situ melihat kami, berhenti menghadap kami, dan kemudian menangkupkan kedua belah telapak tangannya di depan dada dan menundukkan kepala - memberikan penghormatan. Kami, dengan wajah penuh keheranan, secara refleks membalas dengan menganggukkan kepala dan tersenyum - "sungguh ramah orang-orang Thailand ini", fikir kami. Setelah hal tersebut berlangsung beberapa kali, naluri scientific muncul, dan kami pun mulai menyelidikinya - mengapa orang-orang itu berbuat seperti itu. Setelah kami perhatikan dengan seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, ternyata kami berdiri di dekat patung Raja Chulalongkorn (King Rama). Dan ternyata, orang-orang itu memberikan penghormatan pada patung raja, bukan kami, of course ;-) Orang Thailand sangat mencintai dan menghormati keluarga raja mereka. Menyadari hal itu, kami lalu dengan perlahan-lahan mundur agak menjauhi patung raja sekaligus mengubah posisi, karena sebelumnya kami berdiri membelakangi patung raja. Khawatirnya kami dianggap tidak menghormati raja mereka kan repot. Akhirnya kami lanjutkan foto-fotoan dengan latar belakang patung raja tetapi kali ini kami tidak membelakanginya.
{2004 @ bangkok}
see other Culture Shocks
Kembali ke foto-fotoan tadi, sepulang dari Chulalongkorn University, kami berjalan kaki ke hotel sembari melewati sebuah taman dekat pusat pertokoan Siam Square. Ketika berfoto di sana dengan latar belakang sebuah patung, orang-orang yang lalu lalang di situ melihat kami, berhenti menghadap kami, dan kemudian menangkupkan kedua belah telapak tangannya di depan dada dan menundukkan kepala - memberikan penghormatan. Kami, dengan wajah penuh keheranan, secara refleks membalas dengan menganggukkan kepala dan tersenyum - "sungguh ramah orang-orang Thailand ini", fikir kami. Setelah hal tersebut berlangsung beberapa kali, naluri scientific muncul, dan kami pun mulai menyelidikinya - mengapa orang-orang itu berbuat seperti itu. Setelah kami perhatikan dengan seksama dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, ternyata kami berdiri di dekat patung Raja Chulalongkorn (King Rama). Dan ternyata, orang-orang itu memberikan penghormatan pada patung raja, bukan kami, of course ;-) Orang Thailand sangat mencintai dan menghormati keluarga raja mereka. Menyadari hal itu, kami lalu dengan perlahan-lahan mundur agak menjauhi patung raja sekaligus mengubah posisi, karena sebelumnya kami berdiri membelakangi patung raja. Khawatirnya kami dianggap tidak menghormati raja mereka kan repot. Akhirnya kami lanjutkan foto-fotoan dengan latar belakang patung raja tetapi kali ini kami tidak membelakanginya.
{2004 @ bangkok}
see other Culture Shocks
Friday, September 15, 2006
Taksi Umum
Komunitas muslim di Fredericton bersifat sangat kekeluargaan, masing-masing akan dengan sigap membantu yang lain kalau memerlukan bantuan. Begitu juga dengan transportasi. Bagi kami yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan terbiasa berjalan kaki dari apartemen ke kampus yang berjarak hanya ratusan meter, setiap menjelang sholat Jum'at berdiri di luar kampus Head Hall menunggu mobil teman-teman yang akan membawa kami menuju masjid yang berjarak kurang lebih 3 km ke arah Saint John River.
Siang itu, saya mengikuti kuliah Predictive Control and Smart Sensor sampai selesai, sehingga terlambat ke luar kelas (biasanya saya keluar lebih awal). Menunggu di lobby Head Hall sendiri agak lama dan tetap saja tidak ada mobil yang biasa kami tumpangi lewat. Untuk berjalan menuju masjid tidak memungkinkan karena saat itu salju cukup deras menjatuhi bumi. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk menelepon taksi. Ini kali pertama saya naik taksi di sini. Beberapa saat kemudian sebuah taksi menghampiri dan masuklah saya ke dalamnya. Ketika taksi berjalan lagi, saya agak heran, mengapa arah taksi tersebut kok bukannya menuju sungai, malahan menjauhinya. Tak berapa jauh, di sekitar kampus St Thomas University, taksi berhenti di depan salah satu apartemen. Yang mengagetkan saya adalah tiba-tiba masuklah 2 orang mahasiswa ke taksi yang sedang saya tumpangi. Mereka menyapa saya dengan ramah dan saya hanya membalas dengan "hi" seadanya. Taksi kemudian melaju lagi ke arah sungai dan mengantarkan saya ke masjid (Beberapa kali saya naik taksi setelah itu saya baru tahu kalau masjid kami yang di sebelah sungai Saint John itu dikenal sebagai Multicultural Center, di kalangan taxi driver. Mungkin karena mereka sering mengantarkan banyak penumpang dari berbagai bangsa ke tempat itu, sehingga mereka mengira di situ adalah Pusat Multibudaya. Belakangan kami selalu menggunakan istilah itu untuk mempermudah menjelaskan tujuan kepada sopir taksi).
Semenjak saat itu, saya terbiasa berbagi tempat dengan penumpang taksi yang lain jika tujuannya sama atau berdekatan. Jadi saya bisa berhemat untuk uang transpor naik taksi? Oh, tentu saja tidak. Ini karena meskipun naik taksi yang sama, tetapi membayarnya sendiri-sendiri dan masing-masing membayar secara penuh. Misal, dari Regent Mall ke Magee House, ongkos taksinya adalah 4 CAD untuk taksi biasa dan 5 CAD untuk taksi yang lebih mewah (pengemudinya memakai dasi). Maka, jika saya berbagi taksi dengan 2 penumpang lain yang tidak bersama dengan saya, maka saya harus membayar penuh dan mereka juga harus membayar penuh. Kriteria yang digunakan adalah: jika naiknya atau turunnya tidak dari /ke tempat yang sama, maka harus membayar penuh. Tak mau kalah, jika naik taksi sendirian kemudian ada juga calon penumpang yang sedang menunggu taksi, maka tanyakan tujuannya padanya atau mereka. Jika tujuannya sama, maka kita pura-pura sudah saling kenal dan berangkat bersama, sehingga ongkos taksinya dapat dibagi ;-)
{1998 @ fredericton}
see other Culture Shocks
Siang itu, saya mengikuti kuliah Predictive Control and Smart Sensor sampai selesai, sehingga terlambat ke luar kelas (biasanya saya keluar lebih awal). Menunggu di lobby Head Hall sendiri agak lama dan tetap saja tidak ada mobil yang biasa kami tumpangi lewat. Untuk berjalan menuju masjid tidak memungkinkan karena saat itu salju cukup deras menjatuhi bumi. Akhirnya saya mengambil keputusan untuk menelepon taksi. Ini kali pertama saya naik taksi di sini. Beberapa saat kemudian sebuah taksi menghampiri dan masuklah saya ke dalamnya. Ketika taksi berjalan lagi, saya agak heran, mengapa arah taksi tersebut kok bukannya menuju sungai, malahan menjauhinya. Tak berapa jauh, di sekitar kampus St Thomas University, taksi berhenti di depan salah satu apartemen. Yang mengagetkan saya adalah tiba-tiba masuklah 2 orang mahasiswa ke taksi yang sedang saya tumpangi. Mereka menyapa saya dengan ramah dan saya hanya membalas dengan "hi" seadanya. Taksi kemudian melaju lagi ke arah sungai dan mengantarkan saya ke masjid (Beberapa kali saya naik taksi setelah itu saya baru tahu kalau masjid kami yang di sebelah sungai Saint John itu dikenal sebagai Multicultural Center, di kalangan taxi driver. Mungkin karena mereka sering mengantarkan banyak penumpang dari berbagai bangsa ke tempat itu, sehingga mereka mengira di situ adalah Pusat Multibudaya. Belakangan kami selalu menggunakan istilah itu untuk mempermudah menjelaskan tujuan kepada sopir taksi).
Semenjak saat itu, saya terbiasa berbagi tempat dengan penumpang taksi yang lain jika tujuannya sama atau berdekatan. Jadi saya bisa berhemat untuk uang transpor naik taksi? Oh, tentu saja tidak. Ini karena meskipun naik taksi yang sama, tetapi membayarnya sendiri-sendiri dan masing-masing membayar secara penuh. Misal, dari Regent Mall ke Magee House, ongkos taksinya adalah 4 CAD untuk taksi biasa dan 5 CAD untuk taksi yang lebih mewah (pengemudinya memakai dasi). Maka, jika saya berbagi taksi dengan 2 penumpang lain yang tidak bersama dengan saya, maka saya harus membayar penuh dan mereka juga harus membayar penuh. Kriteria yang digunakan adalah: jika naiknya atau turunnya tidak dari /ke tempat yang sama, maka harus membayar penuh. Tak mau kalah, jika naik taksi sendirian kemudian ada juga calon penumpang yang sedang menunggu taksi, maka tanyakan tujuannya padanya atau mereka. Jika tujuannya sama, maka kita pura-pura sudah saling kenal dan berangkat bersama, sehingga ongkos taksinya dapat dibagi ;-)
{1998 @ fredericton}
see other Culture Shocks
Thursday, September 07, 2006
Menyewa Kabel
Saat kedatangan saya pertama kali di Kanada untuk menempuh S2, saya langsung tertipu. Sebelum berangkat, di Indonesia, melihat di peta, Kanada terletak di lintang sekian-sekian jadi udaranya dingin. Oleh karena itu, saya pakai jaket tebal sejak di pesawat dari Hongkong - Anchorage - Toronto - Fredericton. However, ketika keluar dari pesawat. Ternyata udara panas sekali, 33°C, lebih panas dari udara Jogja di bulan Agustus itu. Bulan Agustus? Ah, kenapa saya lupa? Bulan Agustus kan masih bagian dari summer di negara ber 4 musim seperti Kanada. Lepas jaket deh.
Setelah dijemput oleh seorang teman dari BPPT dan tinggal di kostnya selama kurang lebih 3 hari, sampai tidak jetlag lagi, tiba saatnya untuk pindah mencari apartemen sendiri. Teman saya tadi bercerita bahwa sudah ada teman lain dari Departemen Kehutanan yang akan menyelesaikan studi masternya dan akan segera pulang ke Indonesia, sehingga saya dapat menempati apartemennya. Sambil menuju apartemen tersebut (Magee House, salah satu apartemen milik universitas untuk graduate student), saya bertanya: "berapa biaya per bulan yang harus saya bayar untuk menyewa apartemen tersebut?". Teman saya menjawab: "biasanya untuk kamar sekian CAD, sudah termasuk air, untuk telepon sekian CAD, internet sekian CAD, listrik sekian, lalu untuk menyewa kabel sekian". Sejurus saya terdiam keheranan lalu seperti biasa mengajukan ide yang cemerlang: "bagaimana kalau kabelnya beli sendiri saja, tidak usah menyewa?". Harapan untuk memperoleh pujian dari teman2 yang mendengar ide saya tadi berubah menjadi kebingungan ketika semua teman tertawa. Belakangan saya baru tahu kalau yang dimaksud dengan kabel adalah TV CABLE, bukan kabel listrik, jadi harus menyewa, tidak bisa membeli sendiri.
{1998 @ fredericton}
see other Culture Shocks
Setelah dijemput oleh seorang teman dari BPPT dan tinggal di kostnya selama kurang lebih 3 hari, sampai tidak jetlag lagi, tiba saatnya untuk pindah mencari apartemen sendiri. Teman saya tadi bercerita bahwa sudah ada teman lain dari Departemen Kehutanan yang akan menyelesaikan studi masternya dan akan segera pulang ke Indonesia, sehingga saya dapat menempati apartemennya. Sambil menuju apartemen tersebut (Magee House, salah satu apartemen milik universitas untuk graduate student), saya bertanya: "berapa biaya per bulan yang harus saya bayar untuk menyewa apartemen tersebut?". Teman saya menjawab: "biasanya untuk kamar sekian CAD, sudah termasuk air, untuk telepon sekian CAD, internet sekian CAD, listrik sekian, lalu untuk menyewa kabel sekian". Sejurus saya terdiam keheranan lalu seperti biasa mengajukan ide yang cemerlang: "bagaimana kalau kabelnya beli sendiri saja, tidak usah menyewa?". Harapan untuk memperoleh pujian dari teman2 yang mendengar ide saya tadi berubah menjadi kebingungan ketika semua teman tertawa. Belakangan saya baru tahu kalau yang dimaksud dengan kabel adalah TV CABLE, bukan kabel listrik, jadi harus menyewa, tidak bisa membeli sendiri.
{1998 @ fredericton}
see other Culture Shocks
Wednesday, September 06, 2006
Culture Shocks - Index
Halaman ini berisi republish cerita tentang pengalaman saya ketika mengunjungi berbagai tempat, yang penuh dengan keunikan kejutan budaya.
- Menyewa kabel
- Taksi umum
- Patung raja
- Subuh 2 kali
- Random Checking
- Dwi Bahasa
- Disangka Orang Asing
- Ramadhan@Canada
- Jangan Kemaruk
- Patuh pada Hukum
- Hotel Mahal
- Berlalu-lintas dengan Baik
- Terima Kasih
- Jagal Sapi
- Salju Membeku
- Garage Sale
- Ramayana >
- Lion Dance
- Pengumuman
- Awas: Diskriminasi
- Takut Gemuk
- Makan?
Subscribe to:
Posts (Atom)